Majelis Ulama Indonesia mulai masuk pada usia hampir setengah abad. Pada 26 Juli kemarin, MUI tepatnya berusia 47 tahun. Sebagai lembaga nasional untuk umat Islam Indonesia, MUI berperan penting untuk menyeru dan mengawal persoalan-persoalan keislaman baik dari segi aqidah, sosial, politik maupun ekonomi.
Dalam merayakan usia baru ini, MUI meluncurkan program Waqaf, Infaq dan Sedekah ala pesantren atau Wis-Pren. Selain itu, MUI juga akan memberikan award bagi beberapa tokoh yang dinilai berperan dalam menjaga dan mengembangkan keislaman dan kebangsaan.
Melansir Kompas.com, Ketua MUI Bidang Dakwah Cholil Nafis berharap pada Milad kali ini, MUI bisa mendapatkan masukan dan kritik dari masyarakat. Pernyataan Cholil Nafis didukung dengan diselenggarakannya call papers 6th annual conference on fatwa studies.
Bagi Cholil Nafis masukan dan saran dari masyarakat bisa menjadi novelty bagi arah gerak MUI ke depan. Menyerap dan mengambil masukan masyarakat merupakan langkah yang sangat konstruktif demi meningkatkan kemajuan dalam tubuh MUI. Mengingat peran MUI dalam menyeru, membimbing dan menasehati soal-soal keislaman lewat fatwanya, sangat signifikan di Indonesia.
MUI dari Pelayan Negara ke Pelayan Umat
MUI adalah ruang berkumpul dan bermusyawarah para ulama, dzuamma' dan cendekiawan muslim Indonesia. MUI secara resmi didirikan tahun 1975 dan merupakan bagian dari Departemen Agama. Saat itu Indonesia dipimpin oleh Presiden Soeharto, MUI menjadi bagian dari rencana politik Soeharto untuk mengontrol umat Islam.
Berdirinya MUI tidak lepas dari peran para ulama yang berasal dari 26 provinsi Indonesia dan sebagian perwakilan dari ormas Islam yang berhaluan Islam sunni.
Sebagai tempatnya para ulama, MUI berfungsi sebagai: Wadah yang memberikan tuntunan dan bimbingan kepada umat Islam Indonesia lewat nasihat dan fatwa; Menjadi penghubung antara pemerintah dan ulama; Serta meningkatkan relasi kerjasama antar organisasi lembaga Islam dan cendekiawan muslim.
Selama masa pemerintahan orde baru MUI digunakan oleh pemerintah untuk melancarkan agenda-agenda politiknya. MUI menjadi alat untuk melegitimasi dukungan bagi stabilnya pemerintahan Soeharto.
Pada era reformasi, lewat Musyawarah Nasional tahun 2000, MUI mendeklarasikan diri sebagai organisasi yang mandiri. MUI menyodorkan pertimbangan tentang bagaimana re-organisasi dan bagaimana langkah selanjutnya untuk merealisasikan slogan khadim al-ummah (Pelayan umat). (Ichwan 2017, 105) Inilah langkah awal MUI untuk melonggarkan hubungan dengan pemerintah-- yang dulunya tidak bisa dipisahkan.
Visi khadim al-ummah, menandai pergeseran sikap MUI dari pendukung kebijakan pemerintah menuju pada lembaga independen yang memprioritaskan pelayanan bagi umat muslim Indonesia.
Pergeseran sikap dan peran MUI semakin terang, setelah dibuatnya lima peran utama MUI, yang termaktub pada dokumen “Wawasan Majelis Ulama Indonesia’’, yakni: Pertama, sebagai pewaris para nabi (waratsat al-anbiya’), merupakan gambaran tradisional tentang peran ulama); Kedua, sebagai pemberi fatwa; Ketiga, sebagai pembimbing dan pelayan bagi umat (khadim al-ummah); Keempat, sebagai gerakan islah wa tajdid; Dan Kelima, sebagai penganjur yang baik dan pencegah yang munkar (penegak al-amr bi al-ma‘ruf wa al-nahy ‘an al-munkar). (Ichwan 2017, 105).
Kendati ingin merealisasikan visi khadim al-ummah, tidak sepenuhnya MUI melepaskan hubungan dengan pemerintah, MUI kerap kali membangun kerja sama dengan beberapa kementerian yang ada di Republik ini.
Kemudian, setelah mendeklarasikan diri sebagai pelayan umat, MUI sangat gencar mengeluarkan fatwa yang menandakan dirinya sebagai lembaga yang otoritatif dalam membahas soal keislaman.
Fatwa-fatwa yang dikeluarkan MUI sangat problematik, di antaranya adalah: Sesatnya pluralisme, sekularisme dan liberalisme. Selanjutnya, MUI mengecam dan melarang ajaran dari kelompok yang dianggap menyimpang.
Kegiatan inilah yang telah menjadi pekerjaan favorit dari MUI. Misalnya tahun 2005 berbarengan dengan dikeluarkannya fatwa tentang Sipilis yang merupakan akronim dari sekularisme, pluralisme dan liberalisme, MUI mengeluarkan fatwa tentang kesesatan dan penyimpangan ajaran dari Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI).
Harapan Baru untuk MUI
Di usia yang ke 47 tahun ini, harus ada harapan-harapan baru terhadap MUI. Setidaknya harapan ini bisa menjadi pekerjaan rumah bagi MUI untuk menata hubungan antara MUI dan masyarakat Indonesia. Dan bagaimana keberadaan MUI seturut dengan realitas sosiologis Indonesia yang sangat plural. Apalagi di perayaan Milad ini, MUI mengangkat tema ‘’Merajut Kesatuan dan Kekuatan dalam Bingkai Kebhinekaan”.
Di bawah ini merupakan harapan-harapan bagi MUI yang akan menuju usia setengah abad. Pun harapan sekaligus kritik di bawah ini mengejar apa yang telah disampaikan oleh Cholil Nafis bahwa MUI membutuhkan saran dan masukan dari masyarakat.
Pertama¸ selaku (khadim al-ummah) dan sebagai tenda bagi muslim Indonesia, MUI harus mengeluarkan tausiyah maupun fatwa yang sesuai dengan realitas objektif Indonesia. Fatwa yang mengajak umat Islam untuk menerima, mengakui dan terlibat aktif dalam keragaman Indonesia. Peran MUI sangat siginifkan dalam menjaga kerukunan, keharmonisan, kedamaian antar pemeluk agama yang ada di Indonesia. MUI akan lebih mengakar serta lebih dekat dengan berbagai kalangan;
Kedua, melakukan restrukturisasi dalam kepengurusan MUI dari tingkat pusat hingga ke daerah. MUI bukan hanya dikuasai oleh muslim yang berhaluan sunni atau muslim arus utama. Personalia dalam MUI harus terbuka bagi semua komunitas muslim Indonesia yang sebelumnya tidak pernah mengisi struktur dalam MUI, seperti Ahlulbait Indonesia (ABI), Ikatan Jamaah Ahlulbait Indonesia (IJABI), JAI, Gerakan Ahmadiyah Indonesia (GAI) dll.
Dengan ini MUI secara terang menjadi lembaga bagi semua umat muslim di Indonesia. Di dalam kelompok muslim IJABI, ABI, JAI maupun GAI di atas, pasti mempunyai ulama dan cendekiawan yang ahli dalam Islamic studies;
Ketiga, sudah saatnya MUI mencabut fatwa-fatwa yang telah menjadi legitimasi bagi intoleransi dan diskriminasi terhadap kelompok minoritas seperti JAI dan Syiah di Indonesia. Fatwa MUI tahun 2005 mengatakan bahwa Ahmadiyah berada di luar Islam, sesat dan menyesatkan.
Setelah fatwa ini dikeluarkan persekusi mulai dialami oleh Jemaat Ahmadiyah-- pada tahun yang sama tepatnya di bulan September Jemaat Ahmadiyah di Kabupaten Cianjur diserang oleh massa yang menggunakan kendaraan mobil dan motor. Akibatnya, Masjid dan beberapa rumah di perkampungan PTPN VIII Kabupaten Cianjur mengalami kerusakan.
Selanjutnya, tahun 2007 telah terjadi intoleransi di Manislor, Kabupaten Kuningan, Provinsi Jawa Barat. Akibat penyerangan ini 14 rumah dan dua Musholah rusak berat. Bahkan hingga tahun 2021 Jemaat Ahmadiyah terus mengalami intoleransi. Masjid mereka di Desa Balai Harapan, Kabupaten Sintang, Provinsi Kalimantan Barat dihancurkan oleh kelompok Islam garis keras—Penyerangan ini mengakibatkan masjid Jemaat Ahmadiyah hancur dan menyisakan trauma bagi anak-anak Jemaat Ahmadiyah
Berdasar pada fakta-fakta di atas, bisa menjadi preseden bagi MUI untuk mencabut atau pun menarik kembali fatwa-fatwa yang mengancam kebebasan beragama dan berbahaya bagi kelangsungan hidup kelompok minoritas di Indonesia. Bahkan, MUI harus bertanggung jawab atas apa yang dialami oleh Jemaat Ahmadiyah.
MUI harus bersikap adil, tidak egois dengan mementingkan kepentingan segelintir orang. Semua komunitas muslim harus diakui dan dirangkul oleh MUI. Sikap seperti inilah yang akan membuat MUI menjadi pelayan yang baik bagi seluruh umat muslim Indonesia, tanpa tebang-pilih.
Harapan yang perlu ditambahkan lagi, MUI harus berani bersuara kepada pemerintah, jika ada kebijakan pemerintah yang merugikan masyarakat. Mesti lantang bersuara jika ada korporasi yang se-enaknya diri menghisap alam Indonesia.
Bahkan melampaui itu, MUI bisa membela mereka yang lemah dan rentan secara akses ekonomi dan politik tanpa memandang agama dan keyakinannya. MUI akan menjadi ruang dan tempat bernaung bagi semua kalangan dan mengalami pergeseran menuju kemajuan, jika harapan ini dipikirkan dan dimulai dengan tindakan nyata.
Kepustakaan:
Moch Nur Ichwan, Menuju Islam Moderat Puritan: Majelis Ulama Indonesia dan Politik Ortodoksi Keagamaan, dalam CONSERVATIVE TURN: Islam Indonesia dalam Ancaman Fundamentalism, Moch. Nur Ichwan dkk (Mizan; Bandung, 2014).