Perkembangan keilmuan di Barat sangat cepat dan mencapai peradaban modern yang sangat hebat, namun berbanding terbalik dengan Islam (Timur) yang mengalami masa-masa kemunduran.

Dengan melihat berbagai kemajuan yang telah dicapai oleh Barat, para sarjana Muslim tidak diam saja melihat hal tersebut, namun mereka berusaha untuk mengadopsi kemajuan Barat untuk mendekonstruksi pemikiran-pemikiran Islam yang sedang mengalami masa kemunduran.

Salah satu sarjana Muslim yang belajar dan mengadopsi keilmuan modern Barat untuk mendekonstruksi pemikiran Islam ialah Muhammad Arkoun. Sebagai seorang pemikir, Arkoun tidak muncul secara tiba-tiba. Ia dipengaruhi oleh tokoh-tokoh sebelumnya seperti Paul Ricoeur, Ferdinand de Saussure, Michael Faucault, Jacques Lacan, dan Roland Barthes.

Sejarah Munculnya Metode Dekonstruksi Arkoun

Di dalam diskursus yang ditekuninya, telah ditemukan berbagai tatanan pemikiran Islam klasik dan motologi-mitologi yang menyesatkan. Arkoun menilai bahwa pemikiran Islam belum membuka diri pada kemodernan pemikiran, sehingga tidak mampu menjawab tantangan yang dihadapi umat Islam kontemporer.

Menurut Arkoun pemikiran yang model tersebut dianggapnya naif karena dalam mendekati agama hanya atas dasar kepercayaan langsung dan tanpa kritik. Oleh karena itu, Arkoun melalui pendekatan dekonstruksi berusaha membongkar tatanan-tatanan yang dianggap baku oleh umat Islam.

Pemikiran baku yang dimaksud ialah pemikiran ortodoks yang ditulis dalam kitab-kitab klasik dan merombaknya dengan memberikan suatu tatanan pemikiran baru. Atau dengan bahasa yang lebih sederhananya bahwa Arkoun telah membentuk paradigma baru.

Pendekatan dekonstruksi yang digunakan Arkoun dalam mengkritik pemikiran-pemikiran ortodoks karya-karya ulama' dan Fuqaha yang disinyalir oleh Arkoun sebagai pemikiran dogmatik yang diiringi dengan memberikan kategorisasi kesahehan.

Metode Dekonstruksi Arkoun

Teori dekonstruksi dalam pemikiran Arkoun diadopsi dari Jacques Derrida, seorang filosof postmodern Prancis. Menurut teori dekonstruksi, teks (termasuk teks agama) merupakan simbol yang tidak mengandung makna utuh tapi menjadi arena pergulatan yang terbuka.

Teori ini juga membongkar teks-teks yang sudah mapan, yang mengakibatkan lahir sebuah paradigma inklusivisme seperti terbongkarnya konsepsi agama Islam sebagai satu-satunya agama yang selamat.

Adanya pandangan yang meyakini Islam sebagai satu-satunya agama yang diridhai oleh Allah SWT bukan agama lain, bagi Arkoun merupakan bentuk dari pemikiran ‘beroposisi binner’. Konsep oposisi binner ini yang dibongkar oleh dekonstruksi.

Arkoun yang menggunakan dekonstruksi Derrida itu tidak sepakat dengan konsep oposisi binner. Ia membongkar konsep tersebut, alasannya, yang pertama (subjek) dianggap superior sedangkan yang kedua (objek) hanya representasi palsu dari kebenaran atau sesuatu.

Konsep bahasa yang demikian menimbulkan pemikiran yang berpotensi untuk ‘menguasai’ kepada yang lain (the other). Atau mengharuskan ada kebenaran tunggal dan melegitimasi universalitas doktrin. Pandangan inilah yang ditolak postmodern. Tugas dekonstruksi adalah menghilangkan pandangan seperti itu.

Dekonstruksi pertama-tama dialamatkan kepada konsep wahyu yang berlanjut kepada fenomena tradisi (turâts) Islam dan konsep-konsep pokok lain yang berkaitan dengannya. Turâts beserta metodologinya, bagi Arkoun, adalah produk imajiner sosial. Jadi, fikih, tasawuf, ilmu tafsir, ilmu hadis menurutnya merupakan produk sejarah yang bersifat relatif.

Di sinilah otoritas ulama itu ikut terbongkar. Hal ini tentunya menjadi persoalan. Sebab setiap subjek ilmu memiliki otoritas. Seperti halnya ilmu matematika, kedokteran, kimia, fisika, dan lain-lain yang memiliki otoritas dalam ilmu Islam juga memiliki otoritas, yaitu ulama'. Sebuah subjek ilmu tidak memiliki nilai ketika otoritasnya dijatuhkan.

Penerapan Metode Dekonstruksi terhadap Isu-Isu Ke-Islaman Kontemporer

Arkoun dalam perjalanan ilmiahnya sangat genderung untuk mengupas isu-isu yang berkaitan dengan ke-Islaman yang diyakini telah terhegemoni oleh ortodoksi. Artinya, dia memahami bahwa ortodoksi sudah mengumpal dalam anyaman sejarah peradaban Islam.

Ortodoksi tersebut berimbas pada pola pikir dalam bidang pendidikan, sosial, hukum, etika, dan filsafat, serta berkecenderungan ke arah tekstual. Dengan itu, dia percaya bahwa metode yang ditawarkannya dapat menahan lajunya virus ortodoksi lebih luas ke berbagai bidang, dengan usaha pembongkaran (dekonstruksi).

Tujuan dekonstruksi Arkoun hanya diarahkan pada satu target, yaitu menghancurkan konsep ortodoksi, bahkan diperluas kepada membongkar akar-akar tradisi keilmuan pemikiran Islam yang dianggap terpengaruh oleh pola berpikir Ariestotelian.

Yang menjadi ganjalan dalam benak Arkoun sendiri adalah tentang kuatnya ortodoksi yang tercermin dalam kalam Asy’ariyah, fiqih syafi’iah, dan tasawuf Ghazaliah, sementara di Barat diskursus pengetahuan dalam berbagai bentuknya telah mengalami perubahan yang sedemikian rupa.

Ternyata setelah dianalisa dapat ditemukan bahwa hal itu semua bisa terjadi karena ortodoksi seperti itu selalu tetap berkaitan dengan kekuasaan politik. Bukti konkret dari itu semua adalah adanya pelembagaan agama dalam bidang Syari’ah.

Hal ini tidak hanya dilakukan oleh kelompok ortodok (ulama’), tetapi juga pemerintah yang disebut dengan pelembagaan agama (Institutionalized religion). Dan ini juga yang membuat Arkoun menganggap penting adanya dekonstruksi.

Menurut Arkoun, teks selama ini menempati posisi paling sentral di tengah-tengah masyarakat. Ia mampu mempengaruhi cara pandang dan menjadi rujukan tingkah laku mereka dalam beragama, sehingga setiap praktik keberagamaan tidak bisa lepas dari teks yang ada dan penafsirannya yang menurut dia telah dilembagakan.

Bahkan kitab suci yang dianggap mengatasi semua sejarah kemanusiaan harus didekonstruksi atau dilucuti. Dan alat untuk melucuti itu semua adalah ilmu pengetahuan modern atau pendekatan-pendekatan sosio-historis.

Pada dasarnya Agama Islam merupakan agama yang dinamis karena setiap zaman memiliki kebudayaannya sendiri.