Perhelatan akbar Piala Dunia Qatar, 2022 berakhir sudah, dan ini sekaligus menandai berakhirnya perdebatan tak kunjung usai siapa pemain terbaik dunia Messi versus Ronaldo.
Messi berhasil menggondol tropi piala dunia, Ronaldo pulang dengan tangan hampa. La Pulga merayakan selebrasi usai mengalahkan Perancis melalui drama adu pinalti, CR7 dirundung pilu lantaran langkah Portugal hanya mentok di perempat final.
Dengan sederet capaian fantastis, bejibun gelar individu, lalu dipungkasi dengan kesuksesan mengantarkan La Albiceleste juara dunia 2022, Messi sangat absah menyandang status GOAT (Greates of The Time).
Jika jauh di era sebelumnya ada Pele dan Maradona yang ditahbiskan sebagai nabi sepakbola, maka saat ini La Pulga sudah menyamai kedua legendaris besar tersebut dalam mencapai misi profetik di dunia sepakbola.
Pele menjuarai piala dunia tiga kali (1958, 1962 dan 1970). Pele tidak mungkin memecahkan rekor itu kalau bersikukuh keluar dari Tim Selecao. Di babak kualifikasi Piala Dunia 1970, Pele sempat menolak membela Brazil. Setelah FIFA menerapkan aturan lebih ketat terhadap pelanggaran keras, Pele mengubah keputusannya.
Kembalinya Pele yang memang masih sangat dibutuhkan membuat langkah Brazil tidak terbendung. Berduel lawan Italia di partai final, pesepakbola bernama lengkap Edson Arantes do Nascimento ini mencetak gol pembuka dan menorehkan dua assist.
Maradona tampil memukau di Piala Dunia 1986. Gol tangan tuhan Maradona ke gawang Inggris mungkin tidak akan heboh seandainya Maradona gagal mempersembahkan gelar. Gol kontroversial itu bukan dinilai aksi permainan culas, tapi menjadi bagian tak terpisahkan dari penampilan Maradona yang meledak.
Messi menjadi episentrum sepakbola di Piala Dunia, Qatar, 2022. Messi mendapat kehormatan mengenakan jubah kebesaran bangsawan Arab. Tidak hanya koleganya di atas panggung, tapi semua orang menunggu detik-detik paling monumental saat La Pulga mengangkat tropi piala dunia.
Momen sangat bersejarah ini diabadikan Messi dalam akun instagram pribadinya, dan menjadi postingan yang paling banyak disukai sepanjang sejarah plafform media sosial. Di samping tropi piala dunia, penghargaan Golden Ball yang diraih untuk kedua kalinya makin mengukuhkan Messi sebagai episentrum sepakbola.
Piala Dunia Qatar digadang-gadang menjadi perjamuan terakhir Messi di lapangan hijau. Tapi Messi menyatakan tidak ingin pensiun. Kalaupun Messi masih ingin terus bermain, kita tidak perlu menuntut banyak padanya.
Sepanjang karirnya, dia sudah meraih segalanya. Sepakbola bukan lagi suatu yang menantang. Cabang olahraga yang paling banyak digemari sekolong jagat ini sudah ditaklukannya.
Kalau sampai pengagum berat Messi membikin tagline “Messi lahir untuk sepakbola, dan sepakbola ada untuk Messi”, rasanya tagline itu tidak janggal, tidak pula berlebihan. Kita tidak bisa memalingkan muka dari hamparan realitas bahwa Messi yang punya bakat alami luar biasa dan visi permainan jenius telah berhasil “menjinakkan” sepakbola.
Sebaliknya, sepakbola menyediakan panggung yang mempertahankan dan memperkokoh dominasi Messi. Kompetisi La Liga, Copa del Ray, Liga Champion, semua kompetisi itu menjadi pentas yang membesarkan namanya. Turnamen Piala Dunia Antarklub, Copa America, Piala Dunia, semua turnamen itu menjadi ajang yang melanggengkan superioritasnya, menggerek reputasinya.
Jatuh Cinta
Orang Eropa boleh bangga, kesebelasan asal Benua Biru lebih banyak mengoleksi tropi piala dunia. Mereka mengoleksi 12 gelar (Jerman 4, Italia 4, Perancis 2, Inggris 1, Spanyol 1). Sementara gelar piala dunia yang diraih Brazil, Argentina dan Uruguay, kalau diakumulasi berjumlah 10 tropi. Tim asal Amerika Latin terpaut dua poin.
Tapi orang Eropa pasti cemburu kenapa nabi sepakbola tidak lahir di Benua Biru. Kenapa Pele, Maradona lahir di Benua Amerika Latin. Kenapa Messi yang telah menapaki jejak profetik seperti keduanya lahir di Argentina.
Masyarakat di negeri Ratu Elizabeth lebih-lebih lagi. Mereka mungkin akan melayangkan gugatan kenapa nabi sepakbola tidak lahir di Inggris, tempat kelahiran sepakbola.
Diam-diam, saya sebagai fans garis keras Brazil mengidap kecemburuan seperti mereka. Lho kok bisa? Bukankah Pele, Maradona dan Messi berasal dari benua yang sama? Tapi kan Messi tidak lahir di Brazil.
Berarti Argentina punya dua nabi sepakbola, Brazil baru satu. Dalam konteks sepakbola, apapun yang berbau Brazil saya suka, tapi apapun yang beraroma Argentina saya tidak cinta. Itulah kenapa saya sulit jatuh hati kepada Messi.
Saat Messi membela Barcelona, dia tampil bagai pesolek dan penari. Dia menyolek sepakbola menjadi suguhan yang mempesona, dan menari di lapangan hijau begitu indahnya.
Dia sangat menikmati irama permainan Barca yang dikemas dari skema umpan-umpan pendek. Taktik tiki-taka merangsang Messi mengeluarkan daya magisnya. Kombinasi attraktif Messi, Iniesta dan Xavi Hernandes mengudang decak kagum dunia.
Saat itu saya tidak bisa menutupi rasa takjub pada Messi. Tapi hanya sebatas takjub saja, tidak sampai jatuh cinta. Saya justru mulai kepincut pada Messi saat dia berlabuh ke PSG.
Kehadiran Messi menyebabkan timbulnya dua matahari di tubuh PSG. Kylan Mbappe yang sudah menjadi ikon klub akan merasa tersaingi. Kalau Messi menjadi matahari, sinar Mbappe sebagai pemain muda berbakat akan redup.
Sebaliknya, mega bintang sekelas Messi tentu tidak mau berada di bawah bayang-bayang Mbappe. Dalam bayangan saya, keduanya akan saling menegasikan. Sulit dibendung kalau Messi dan Mbappe bersekiras menonjolkan egonya masing-masing. Keretakan tim akan jadi korbannya.
Tapi apa yang saya bayangkan jauh dari kenyataan. Messi bisa meredam egonya. Dalam penampilannya bersama PSG, Messi tidak terlihat menjadi sosok yang egois. Messi berusaha menyelami tentang betapa vitalnya seorang pemain berperan pelayan dalam tubuh tim.
Peran inilah yang diartikulasikan Messi di PSG. Dengan peran ini, Messi mampu menjalin kerjasama secara apik dengan Mbappe dan Neymar. Peran ini berkorelasi positif dengan kontribusi assist yang dicetak Messi.
Sepanjang membela PSG dari musim 2021-22 hingga sekarang (musim 2022-23 masih bergulir), Messi lebih banyak menyumbangkan assist ketimbang mencetak gol. (29 assist, 23 gol).
Meredam emosi, menyelami peran sebagai pelayan tentu tidak mudah bagi pemain besar seperti Messi. Tapi dia mampu melakukannya. Inilah yang membuat saya tidak bisa berpaling dari Messi.