Pada tanggal 25–28 Agustus 2016 lalu, Nasyiatul Aisyiyah (NA), organisasi otonom putri-putri Muhammadiyah telah menggelar Muktamar ke-13. Bertempat di Yogyakarta, muktamar kali ini mengusung tema Gerakan Perempuan Muda Berkemajuan untuk Kemandirian Bangsa.
Tema ini tentu bukan sekedar slogan dan hiasan semata. Melainkan, diharapkan dapat menjadi kristalisasi kesadaran, komitmen, serta perjuangan NA sebagai gerakan perempuan muda Islam dalam menjawab berbagai persoalan keummatan dan kebangsaan, khususnya terkait dengan permasalahan perempuan muda.
Harus diakui bahwa persoalan yang dihadapi oleh perempuan muda di Indonesia masih sangat banyak. Saat ini fenomena perdagangan perempuan dan anak masih begitu marak. Perekrutan perempuan dan anak untuk dijadikan pasukan gerakan extremis semakin nyata.
Begitu juga, jumlah anak perempuan yang putus sekolah juga masih tinggi. Kekerasan terhadap perempuan, KDRT serta fenomena kemiskinan berwajah perempuan juga masih menjadi persoalan yang hingga hari ini belum dapat dituntaskan. Selain itu, fenomena perkawinan di bawah umur juga menggelisahkan.
Soal perkawinan anak dibawah umur, misalnya, sungguh memprihatinkan. Jumlah anak perempuan usia 10-14 tahun yang sudah menikah yakni 4,8% atau sekitar 22.000 orang. Pada usia 15-19 tahun mencapai 41,9%. Bila dibandingkan dengan laki-laki pada usia yang sama, jumlah perempuan mencapai 11,7 % sedangkan laki-laki 1,6% (Riskesdas, 2010).
Di tahun yang sama, UNICEF melaporkan jumlah perempuan menikah di usia dibawah 19 tahun sekitar 34,5%. Sayangnya, Indonesia Demographic and Health Survey tahun 2012 menyebutkan bahwa 22% perempuan yang menikah di bawah usia 18 tahun berakhir dengan perceraian mencapai 50%. Serta 2 dari 7,2 juta perempuan Indonesia berusia di bawah 15 tahun sudah menikah dan putus sekolah.
Ulama Perempuan
Selain persoalan tersebut, hal lain yang harus mendapatkan perhatian besar oleh Nasyiatul Aisyiyah adalah persoalan langkanya ulama perempuan di Indonesia. Ulama berarti seseorang yang ahli atau pakar, senantiasa menempati posisi atas dalam struktur masyarakat kita, serta diberi otoritas keagamaan. Istilah ulama berasal dari bahasa Arab, bentuk jamak dari ‘alim’ dan kata kerja ‘alima’ yang berarti ‘mengetahui’ atau ‘berpengalaman tentang’.
Nabi Muhammad SAW senantiasa mengapresiasi kedudukan dan peran perempuan dalam urusan agama. Nabi pernah bersabda ‘ambilah setengah urusan agama kalian dari Humairah’ (Hadist at-Tirmidzi). Ini berarti nabi mengakui kapasitas keulamaan Aisyiyah (Humairah) sehingga meminta para sahabat belajar padanya.
Sukaynah binti Husein, Amrah binti Abd al-Rahman (w. 718 m), Hafsah binti Sirin (w. 718 m), Zainab binti al-Syari’i dan Sayyida Nafisa adalah beberapa nama ulama perempuan. Mereka merupakan ulama perempuan yang kritis. Mereka tak ragu menyalahi pandangan ulama laki-laki yang salah terhadap suatu hukum.
Faqihuddin Abdul Kodir dalam Menegaskan Ruang Ulama Perempuan, menarasikan bahwa Aisyah binti Abi Bakar ra setidaknya memiliki 299 murid, Ummu Salamah binti Abi Umayyah ra dengan 101 murid, Hafsah binti Umar ra punya 20 murid, Hajimah al-Wassabiyah ra dengan 22 murid, Asma binti Umais ra dengan 13 murid, Ramhlah binti Abi Sufyan ra dengan 21 murid, dan Fathiman binti Qays ra dengan 11 murid. Laki-laki adalah mayoritas murid mereka.
Kehadiran ulama perempuan memang senantiasa dinantikan, utamanya persoalan perempuan. Selain memiliki ilmu agama yang baik, berpengalaman tentang isu perempuan, ulama perempuan diharapkan memiliki kepekaan isu kesetaraan dan keadilan bagi perempuan dan laki-laki.
Sayangnya, ulama perempuan yang seperti itu masih langka. Umumnya, bila perempuan mengadu tentang KDRT atau dipaksa menikah oleh orang tuanya. Maka atas nama sabar dan kesabaran berbalas pahala dan surga, ulama meminta itu pada perempuan. Hampir tidak ditemukan ada ulama yang meminta perempuan untuk kritis dan menggugat ketidakadilan yang mereka alami.
Nasyiatul Aisyiyah sangat berkepenting terhadap persoalan tersebut dan senantiasa menyiapkan kader agar bisa menjadi ulama perempuan dan menjawab persoalan perempuan. Sejak berdiri tahun 1931, selama kurang lebih 85 tahun berkiprah, sudah banyak kontribusi yang dijalankan oleh organisasi ini bagi Islam dan Tanah Air. Program Pashima, Paralegal NA, Mother School, dan Kaderisasi Mubalighat adalah sebagian kecil penyiapan ulama perempuan.
Tantangan Kedepan
Estafet ulama perempuan harus diteruskan. Selain sarana untuk mempertanggungjawabkan program Pimpinan Pusat Nasyiatul Aisyiyah dihadapan semua wilayah, cabang dan ranting, Muktamar juga momentum untuk memilih ketua umum. Berangkat dari persoalan perempuan tersebut, dibutuhkan pemimpin yang peka terhadap persoalan perempuan.
Pemimpin atau qowwamun dalam bahasa Arab, selain bermakna pemimpin, kata ini juga berarti pelindung atau pendidik. Menjadi pemimpin berarti seseorang ditunjuk, dipercaya oleh organisasi atau komunitasnya untuk menjadi pelindung, pendidik, sekaligus menjadi contoh yang baik bagi orang yang dipimpinnya.
Kader potensial Nasyiatul Aisyiyah sangat berlimpah, dari Marauke hingga Sabang. Sehingga sebagai Ketua Nasyiatul Aisyiyah terpilih, memimpin 34 Pimpinan Wilayah Nasyiatul Aisyiyah. Maka dibutuhkan pemimpin yang open minded terhadap persoalan perempuan, berfikir kritis, progresif, berani mengambil sikap jika berhubungan dengan nasib perempuan dan anak sekalipun harus berbeda dengan Muhammadiyah sebagai organisasi induk, sedia meluangkan waktunya untuk memimpin Nasyiatul Aisyiyah, serta sedia mencetak makin banyak ulama perempuan. Semoga.