We don’t need no education,
We don’t need no thought control.
Penggalan lirik dari salah satu lagu di album The Wall karya Pink Floyd. Bersuara soal sistem pendidikan yang malah membuat siswa menjadi homogen dan jauh dari kata bebas. Kreativitas dan orisinalitas dipangkas atas nama “moralitas”.
Pemikiran yang berbeda, apalagi berkonotasi menentang, dimakan oleh rasa takut yang akut. Ibarat penonton musik, murid diminta lantang bernyanyi tanpa kuasa mengubah lirik.
Banyak tema menarik dalam diskografi Pink Floyd, mulai dari kritik sosial, hingga persoalan eksistensial. Pink Floyd lah–dan bukan guru-guru “pintar” di sekolah saya, apalagi dari setumpukan LKS dan buku paket–yang memberikan banyak kesadaran tentang hidup bagi saya ketika SMA. Pink Floyd menawarkan berbagai irama dalam menghadapi faktisitas, sementara sekolah justru membuat saya mengalami krisis identitas.
Beberapa waktu lalu, saya menonton film lama dengan spektrum isu senada, Dead Poets Society (1989). Film yang menceritakan betapa membelenggunya sistem sekolah dan bagaimana salah seorang guru–Keating–berusaha melepaskan para murid dari belenggu itu.
Sayangnya, perjuangan Keating dianggap bertentangan dengan tradisi sekolah. Memorable scene bagi saya salah satunya adalah ketika Keating meminta seluruh murid merobek bagian kata pengantar pada buku tentang teori memahami puisi. Sebuah simbolis akan kebebasan.
Film ini tak hanya mengkritik sistem sekolahan, tetapi juga parenting orang tua yang otoriter. Salah satu tokohnya–Neil–memilih bunuh diri karena merasa tidak dapat mengaktualisasikan dirinya dalam kehidupan yang berjalan dalam bayang-bayang sistem sekolah dan orang tua. Fase Identity difussion Neil sudah tersirat dalam puisi yang ia bacakan di awal pertemuan komunitas Dead Poets Society.
“I went to the woods because I wished to live deliberately, to front only the essential facts of life, and see if I could not learn what it had to teach, and not, when I came to die, discover that I had not lived.”
***
Cukup banyak alasan mengapa saya resah dengan guru-guru saya ketika sekolah. Namun, di satu sisi terkadang saya juga berempati. Dengan gaji pas-pasan, mereka tetap dituntut untuk memberikan lebih di bawah hegemoni “pahlawan tanpa tanda jasa”. Meminjam istilah Karl Marx, surplus value (unpaid labor time) para guru terhitung tinggi, apalagi guru honorer. Hmm… enyahlah hegemoni, pahlawan butuh tanda jasa!
Tuntunan hidup sendiri mungkin tidak akan saya tuntut kepada sekolah, apabila mereka tidak melakukan self proclaim bahwa jiwa pendidikan mereka adalah Ki Hajar Dewantara, karena Ki Hajar Dewantara sendiri menganggap hakikat pendidikan adalah tuntunan hidup. Ironis bukan? Ki Hajar Dewantara hanya hidup dalam slogan-slogan. Gagasan Ki Hajar Dewantara telah mati, sekolah yang membunuhnya. Tut Wuri Hangapusi!
Siapakah bapak pendidikan Indonesia? “Daendeles”, jawab orang-orang yang tidak menelan mentah-mentah doktrin sekolah dan buku sejarah. Bukankah patrap triloka sekolah kita sebenarnya adalah regering, tucht, dan orde?
***
Pink Floyd hingga Dead Poets Society nyatanya masih relevan dengan sistem pendidikan kita saat ini. Memproklamirkan diri sebagai kurikulum merdeka, tetapi rasanya kemerdekaannya perlu dipertanyakan kembali.
Hasil ngobrol dengan adik-adik di rumah belajar (pendidikan informal) yang saya naungi, saya mendapat sedikit cerminan bahwa kurikulum merdeka malah semakin membebani dengan banyaknya project dari tiap-tiap mata pelajaran, yang bahkan kadang tidak relevan.
Mereka bisa menceritakan keresehan dengan mata bergelora selama berjam-jam mengenai kurikulum saat ini. Menandakan bahwa, sekolah masih tidak baik-baik saja.
Apalagi baru-baru ini ramai soal RUU Sisdiknas. RUU yang terkesan tergesa-gesa, yang prosesnya minim keterlibatan publik. Perubahan substansial juga dirasa kurang.
Sama seperti yang sudah-sudah, perubahan kurikulum atau sistem pendidikan hanya soal kuantitas, bukan kualitas. “Ganti nama” adalah yang paling sering terjadi. Sementara, hal yang substansial ataupun filosofis, tidak terlalu tersentuh.
Lalu siapa yang harus disalahkan? Dan siapa yang harus bertanggung jawab? Saya mengutip pernyataan Eugenia Cheng dalam bab “Blame and Responsibility” dalam bukunya, bahwa “outcomes are always caused by the whole system, but we can still as individuals take responsibility for change.”
Sebelum menjawab siapa yang dapat berperan penting dalam mengambil tanggung jawab ini, ada baiknya kita memahami berbagai argumentasi filosofi sekolah yang ideal.
Argumentasi filosofi sekolah kental dengan analogi. Gene Bylinsky mengatakan sekolah mestinya seperti suatu oasis, suatu tempat teduh di tengah padang pasir, tempat melepas lelah dan dahaga.
Maria Montessori dan Jean Piaget hampir mirip dengan memakai kiasan kebun dalam mendeskripsikan sekolah ideal. Ki Hajar Dewantara sendiri juga menyebutkan taman sebagai kiasan. Sekolah juga bisa dikiaskan sebagai pabrik, sebuah mekanisme untuk memenuhi market economy terkait tenaga kerja.
Begitu banyak ragam analogi yang nyatanya tidak bisa disimpulkan secara mudah, “mana yang paling benar?”. Menurut Roem Topatimasang dalam bukunya Sekolah Itu Candu, hal ini menandakan bahwa substansi sekolah hanya bisa dipahami dalam kerangka kontekstualnya. Konklusinya, lembaga sekolah adalah suatu keabsahan yang nisbi benar. Artinya, ia tetap absah pula untuk diragukan dan digugat.
Dan itu artinya upaya mencari alternatif…
Di sini lah menurut saya, eksistensi lembaga atau komunitas yang bergerak di bidang pendidikan informal dapat mengambil peran penting dalam memperbaiki outcomes dari sistem pendidikan yang existing. Menjadi alternatif pendidikan. Sebuah alternatif dari sekolah pop. Komplementer, bukan substitusi.
Apabila berharap pada pemerintah dan sekolah formal sering kali berujung kekecewaan, kita dapat memperkuat pergerakan grass root ini.
Kita membutuhkan pendidikan alternatif, yang berorientasi pada humanisme misalnya, di mana pelajar adalah subjek pada dirinya sendiri, bukan sebagai objek, apalagi sekadar komoditas.
Sebuah pendidikan yang memanusiakan manusia, pada segala konteks dan skala, serta sesuai dengan kodrat masing-masing. Menghidupkan kembali marwah Ki Hajar Dewantara.
Kemerdekaan dalam pendidikan masih harus diperjuangkan. Merdeka belajar, merdeka berekspresi, dan merdeka menjadi diri sendiri.
Konsep guru dan murid juga perlu didiskusikan kembali, apakah masih relevan atau tidak. Mengutip kata-kata Kahlil Gibran dalam bukunya Sang Nabi, kita tidak dapat mengajarkan sesuatu. Yang kita bisa lakukan adalah membantu mereka mengalami proses belajar. Pemain musik boleh jadi berkisah lewat lagunya, namun tak dapat ia memberimu telinga penangkapnya, yang menjala irama itu. Ataupun suaranya, yang merekam gema itu.
Jadi konsep guru dan murid di mana guru mengajar dan murid belajar, atau guru memilih apa yang diajarkan dan murid menyesuaikan diri, perlu dipertimbangkan ulang. Hal-hal tersebut yang bisa disebut sebagai Banking education, kalau kata Paolo Freire, nampaknya perlu dihapuskan.
Dalam menciptakan karakter Pancasila misalnya sebagaimana dalam paparan RUU Sisdiknas merupakan salah satu fungsi pendidikan, perlu cara yang lebih variatif dan kontekstual. Nasionalisme bukanlah hal yang bisa ditanamkan dengan paksaan atau berdalih kewajiban.
Setiap anak harus menemukan jalannya masing-masing dalam menumbuhkan rasa cinta tanah air, yang alami. Rasa cinta yang nyata. Cinta yang berhening dalam akal budi dan bergerak dalam gelora rasa.
Jangan sampai, sekolah tidak lebih berguna daripada tongkrongan. Dalam tongkrongan, kita berbicara mengenai hal-hal yang dekat dengan kita, peristiwa nyata yang terjadi dalam keseharian hidup. Problem Possing Education, menurut sabda Paolo Freire dalam bukunya Pedagogy of The Opressed.
Apakah filosofi yang saya coba sampaikan di atas mutlak benar? Tentu tidak. Dalam pendidikan, Status Quo harus selalu di-challenge. Dialektika harus selalu dijaga. Antitesis selalu perlu mendapatkan ruangnya.
Oleh karena itu, pendidikan informal juga tak kalah pentingnya sebagai antitesis dari sekolah formal yang lambat akan perubahan filosofis dan substansial.
***
Beberapa pendidikan informal sudah bisa ditemui di beberapa tempat, umumnya di berbagai daerah pelosok atau daerah dengan kondisi ekonomi pra-sejahtera. Namun, sepertinya kita butuh lebih dari itu.
Semoga semakin banyak yang terlibat dalam perjuangan pendidikan. Dalam manifestasi apapun. Mulai dari memperkuat suatu perjuangan, hingga memperbanyak perjuangan itu sendiri. Dengan menciptakan berbagai pendidikan alternatif yang baru misalnya. Saya sepakat dengan Herry Sutrisna a.k.a. Ucok Homicide, bahwa dalam perjuangan, menjadi besar itu nggak terlalu penting, menjadi banyak itu penting!