Setiap tahun kita melewati musim haji. Rutinitas ritual umat Islam dengan segudang problematika teknisnya bagi muslim Indonesia, selalu menyisakan pertanyaan substansial, apakah kita benar-benar sudah berhaji? Barangkali sudah, sebatas prosedur. Ihram, Wukuf, Tawaf, Sa’i dan Tahallul semua tertib dijalankan.
Apa itu cukup? Apakah sebanding dengan jutaan duit yang telah dibayarkan dengan tujuan esensial Haji? Jika masih ragu, mari renungi bersama Ali Syariati.
Sebelum itu, sejenak kita singkirkan bias madzhab kita. Entah Sunni, Syiah atau yang lainnya. Kita pandang Ali Syariati sebagai manusia utuh dengan segudang keilmuannya. Meski faktanya, sebagai cendekiawan muslim, sosiolog, dan filsuf, beliau lahir dan besar dari lingkungan Syiah Iran. Keilmuannya dari timur sampai Barat.
Ia lulus doktoralnya dari Sorbone University, Perancis tahun 1964. Aktif dalam pergerakan politik, mengkritik pemerintahan Shah Iran yang totaliter, bolak-balik masuk bui, akhirnya ia dibunuh di London oleh Savak, polisi rahasia pemerintah Shah Iran. Ia adalah seorang pemikir sekaligus pejuang kaum marhaen, ploretar, dan kaum teraniaya lainnya.
Bagi Syariati, Haji lebih dari sebuah ritus agama. Bukan pula semata-mata karena hukumnya fardlu ain bagi setiap orang yang mampu secara finansial maupun mental dan fisik. Haji dimaknainya secara filosofis. Sebagai simbol-simbol pesan humanitas.
Dalam bukunya berjudul Al-Hajj diceritakan dengan rigid setiap simbolik ritus haji adalah proses manusia menjadi makhluk progresif. “Haji adalah pemberontakan melawan nasib malang yang disebabkan oleh kekuatan-kekuatan jahat”, begitu katanya.
Ihram dan Dekonstruksi Identitas
Mengawali haji kita diharuskan memakai pakaian ihram. Kain putih dan tanpa dijahit, bagi laki-laki. Kita tanggalkan pakaian yang biasa kita pakai. Bagi Syariati, pemakaian kain Ihram sama halnya penanggalan identitas sosial kita. Sunni atau Syiah, pejabat atau rakyat jelata, majikan atau buruh semua menjadi manunggal dalam satu identitas sama yakni manusia.
Pakaian, bagi Syariati, selama ini melambangkan pola, preferensi, status, dan pembedaan identitas-identitas tertentu. Kita dapat mengenali status sosial seseorang dari tampilan pakaiannya. “Pakaian menciptakan ‘batas’ palsu yang menyebabkan ‘perpecahan’ di antara manusia”, menurutnya dalam buku Al Hajj. Barangkali, ini salah satu kekuatan jahat yang dimaksud Syariati.
Dengan ihram, manusia dileburkan identitas sosial yang selama ini melekat, menjadi bentuk baru sebagai hamba Allah tanpa diskriminasi. Sikap ego rasial, sektarian dan kecenderungan identitas sosial lain dikubur dalam-dalam menjadi kesatuan dalam bingkai solidaritas kemanusiaan.
Maka, apa yang disebut dengan haji mabrur ialah membawa nilai-nilai kesetaraan ihram sepulang dari haji. Bukan sebaliknya, justru malah melebarkan jarak sosial dengan kejumawaan gelar ‘pak haji’ atau ‘bu haji’.
Memperadabkan Manusia
Kemudian kita akan berpindah, kita diharuskan singgah (wukuf) sejenak di padang Arafah dan dilanjutkan bermalam di Mina. Menarik, Ali Syariati mengartikan tiga istilah utama dalam rangkaian ini. Arafah berarti pengetahuan dan sains, Masyar (tempat berkumpul) sebagai kesadaran dan pemahaman, dan Mina berarti cinta dan keyakinan.
Ketiganya adalah perangkat wajib bagi umat manusia untuk menjadi manusia yang beradab. Lantas kembali ke Makah sebagai simbol bahwa siklus hidup ini pasti kembali pada Allah.
Ketika status sosial benar-benar kita tanggalkan sejak Ihram, maka kita siap menunaikan ritus berikutnya. Tawaf, mengelingi ka’bah, tanpa ada sekat antara laki-laki dan perempuan. Bagi Syariati, tawaf adalah simbol mekanisme alam semesta. Dimana, Allah adalah pusat eksistensi, Dia adalah titik fokus dari alam raya ini.
Sedangkan manusia hanya bagian kecil partikel sementara, yang terus bergerak dan berkembang. Lantas pada akhirnya akan sirna, kembali pada sang Khalik.
Tawaf berarti hidup bukan untuk hidup itu sendiri melainkan demi menuju Allah. Sa’i, sebaliknya. Ia ritual menyerap kisah perjuangan Hajar untuk hidup dan menghidupi anaknya. Maka Sa’i adalah berupaya sebisanya hidup bukan untuk diri kita tetapi untuk manusia lain. lain dengan Tawaf, Sa’i bejalan maju, inilah yang disebut Syariati sebagai hidup yang progresif.
Di sela-sela tawaf kita akan menemukan simbol-simbol. Maqam Ibrahim, merefleksikan sebuah pengorbanan – perintah menyembelih Ismail, anaknya - yang harus ditempuh dalam hidup. Antara ‘cinta’ dan ‘kewajiban’, dua hal yang kerap kita hadapi.
Maka kita akan belajar tanpa ada hal yang dikorbankan, tak ada kemuliaan. Sederhananya, mengorbankan waktu bersantai kita, individualitas kita untuk berpartisipasi dalam pembangunan peradaban ialah sekian dari contoh pelajaran yang kita dapat dari kisah Nabi Ibrahim dan Ismail.
Maka haji sejak dari Ihram bertujuan mengikis ego individualistis. Bukan menjadi manusia destruktif, puritan, dan anti kemajuan.
Memperbaiki Individu, Memaksimalkan Peran Sosial
Pada akhirnya, haji harus membentuk individu yang berkualitas. Rendah hati, ramah terhadap perbedaan, memiliki peran aktif dalam membangun nilai-nilai kemanusiaan. Bukan hanya sebagai perintah Allah semata, tapi kewajiban individu sebagai manusia utuh.
Walaupun pada akhirnya kita akan mempertanggung jawabkan tugas kemanusiaan kita secara pribadi di akhirat, tapi sebagai muslim yang telah berhaji, kita dituntut memerankan potensi kolektif kita sebagai manusia yang beradab.
Ali Syariati sangat menentang praktik-praktik teologis-individualis, semata-mata untuk akhirat. Sehingga dia mengambil jarak dari manusia, sembari bergumam, “aku seorang haji, dan mereka belum haji, aku berbeda dengan mereka”. Bagi dia, orang yang demikian itu menghianati spirit haji itu sendiri. Orang seperti itu di akhir buku Al Hajj dikatakan:
“Mereka berbahagia karena (mengira) memperoleh kenikmatan akhirat itu, sehingga mereka terlena di atas lantai berdebu serta hangat di dapur para perampok yang mereka abdi, dan hidup dari sisa santapan tuan-tuan mereka tersebut”.
Sekali lagi, haji bukan soal mentereng dan ajang berbangga-bangga an. Bukan soal gelar, apalagi soal menaikkan derajat sosial. Haji adalah ibadah yang harus dipertanggung jawabkan secara sosial. Jangan sampai menjadi golongan yang merugi. Seperti yang berulang-ulang disitir Ali Syariati; Wal ‘asri inna lafii husr, ”demi masa, sungguh dalam kerugian.
Lalu, apa kabar pak haji dan ibu haji kita?