…sampai lupa nggak balikin kertas rekaman medis ke kasir.

Rawat Gigi Tak Lagi Bersensasi Ngeri

Saya pertama kali menjalani proses pencabutan gigi, saat usia dewasa, pada tahun 2008. Gigi geraham kanan, bagian atas. Sama sekali gak terasa sakit, padahal dokternya wanita, cantik pula.

Bayangan umum mencabut gigi sebaiknya dilakukan dokter gigi pria, saat ini tak berlaku lagi, karena kemajuan ilmu dan teknologi.

Tahun 1980-an, kegiatan menambal (plumbir) gigi, masih menggunakan jarum bor pelubang gigi yang diameternya sekitar 2-3 mm. Putarannya belum menggunakan listrik, tapi diengkol pakai pijakan kaki sang dokter gigi. Mirip mesin jahit.

Suara putaran bor gigi pun bukan mak ngiiiing, tapi sensasi menggema mak ‘krok-krok-krok’ pas kena gigi. Suasana dalam ruang praktik rawat gigi pun waktu itu, belum senyaman sekarang. Benar-benar tata ruang sebuah ruang klinik kesehatan, bertebaran aroma obat-obatan senyawa kimia organik, menghias pekat di seantero ruangan.

Pas hendak mencabut gigi tahun 2008 itu, saya dibius gusi, menggunakan jarum suntik plastik. Tak sakit, cuman terasa mak ‘ctik-ctik-ctik’. Rasanya malah geli di gusi. Geli salah tempat.

Gak lama beliau, sang dokter gigi cantik, mencabut gigi saya. Ada gema suara mak ‘krek’ dari dalam rongga mulut langsung ke gendang telinga. Sontak satu gigi geraham atas kanan saya pun tercabut sampai akar.

Plong!

Sudah kadung bayangin sensasi sakit yang begitu horor, ternyata nggak saya rasakan sama sekali. Saya sampai lupa nggak balikin kertas rekaman medis ke kasir.

Sehabis cabut gigi, saya memang diminta sama bu dokternya untuk minum atau makan yang dingin-dingin. Sepulang dari Rumah Sakit, pas lagi enak-enaknya andok es krim di sebuah mall bersama anak, tiba-tiba hp saya berdering nyaring. Saya angkat, ternyata petugas kasir RS tadi.

“Maaf pak, tadi belum bayar, ya?” Suara ramah wanita muda terdengar dari seberang telepon.

“Oh iya maaf lupa, keenakan...” Jawab saya demi menyenangkan mbak kasirnya.

Tapi saya baru balik senin, soalnya pas itu hari sabtu, besoknya hari minggu, jelas saya mager.



Berarti aroma tak sedap itu hanya saya yang membauinya.

Sinusitis Gara-Gara Sakit Gigi Bagian Atas

Pencabutan gigi saya pada kisaran awal tahun 2008, itu atas saran bu dokter gigi tersebut, pasca saya menjalani operasi sinusitis awal tahun yang sama, serta setelah dilakukan kajian atas kondisi syaraf gigi geligi hasil rontgen mulut.

Sebuah operasi besar yang harus saya lakukan setelah tiga hari, tiga malam saya terdera sakit luar biasa pada bagian kening dan mata, tepat menjelang malam tahun baru 2008.

Rupanya serangan sakit ngilu yang sempat membuat saya nyaris pingsan itu adalah puncak dari paparan dakota sinusitis yang saya derita lebih dari setahun sebelumnya, sewaktu saya sedang bertugas di salah satu perusahaan tambang terkemuka di Timika Papua.

Serangan pertama sinusitis yang saya alami berupa sensasi aroma tak sedap, mirip bau tletong kotoran sapi, yang tiba-tiba menembus, mengganggu indera penciuman saya.

Sempat waktu itu saya mengeluh dan bertanya ke teman-teman di dekat saya, apa di sekitar tempat bertemu bersama, ada tebaran kotoran sapi. Semua teman saya bilang tak ada. Berarti aroma tak sedap itu hanya saya yang membauinya.

“Kerusakan ada pada wilayah syaraf-syaraf indera penciuman saya.” Demikian saya langsung menyadarinya kala itu.

Karena belum terlalu mengganggu, hanya serangan aroma tak sedap pada jam-jam tertentu, yang sering kali muncul pada kisaran pukul 7 pagi hingga sehabis waktu Ashar. 

Keluhan sinusitis pun saya biarkan.



…hanya ada kesan cahaya putih menyilaukan, kurang lebih selama 5 menit saja.

Operasi Eksplorasi Sinusitis

Hingga, kisaran enam bulan kemudian, saya berkonsultasi dengan seorang dokter spesialis Telinga, Hidung dan Tenggorokan (THT) di sebuah Rumah Sakit grup terkemuka di Jakarta, atas penyakit yang saya keluhkan.

Dokter pria paruh baya tersebut, waktu itu menyarakan agar dilakukan tindakan operasi atas diri saya, guna menyembuhkan keluhan sinusitis.

Waktu itu saya menolak saran itu, karena dokter tersebut bakal menjalankan operasi bius lokal. Tak mau mengalami trauma pasca operasi besar tanpa bius total, saya menandatangani sebuah dokumen penolakan tindakan operasi, meski pada tahap periksa awal, konsultasi medis.

Baru setelah saya mengalami sakit luar biasa akibat saluran rongga sinusitis saya buntu karena akumulasi kotoran, maka awal tahun 2008 saya bersedia mendapat saran dari seorang dokter spesialis THT yang berbeda dengan dokter THT yang saya berkonsultasi medis sebelumnya.

Saya setuju, karena mendapat jaminan bahwa operasi besar sinusitis yang bakal dilakukan, tak akan berasa sakit, karena saya akan mendapatkan bius total.

Benar! Waktu operasi pun tiba. Dokter pria spesialis THT pilihan kedua saya pun mulai menjalankan operasi sinusitis atas diri saya, didampingi seorang dokter khusus anestesi bedah.

Tak sampai hitungan ke-10 pasca cairan anestesi masuk ke tubuh saya melalui selang infus, saya tak sadar dan hanya ada kesan cahaya putih menyilaukan, kurang lebih selama 5 menit saja.

Setelah tersadar, ternyata operasi sinusitis atas diri saya berlangsung selama 2,5 jam dan berhasil mengambil 2,5 liter cairan kotoran yang terbendung, menggumpal dalam rongga sinusitis saya, mengakibatkan sakit luar biasa di wilayah kening dan mata.

Operasi sinusitis yang saya alami meski tak sakit, namun perlu 5 harian proses recovery bagi tubuh saya, serta sensasi paling mengilukan adalah ketika proses pencabutan benang tampon pencegah pendarahan yang ditanam dalam kedua bagian rongga sinus saya.

Alhasil, proses penarikan benang tampon bekas pun melalui kedua lubang hidung saya, secara bergantian, masing-masing benang sekira panjangnya semeteran.

Duh, pas Pak dokter ahli THT menarik tampon keluar dari kedua lubang hidung saya satu per satu, saya jadi ingat acara sulap yang si pesulapnya menarik kain gulung dari dalam mulutnya, berlama-lama.



Jelas pinter. Nggak pinter, nggak jadi dokter.

Profesi Tabah Telaten dan Sabar

Terus, menginjak tahun 2022 baru bulan Juli kemarin saya cabut gigi lagi. Kali ini, giliran geraham depan bagian bawah sebelah kanan.

Sekali lagi, sama sekali gak sakit. Cuman, jarum suntiknya terbuat logam. Mungkin karena di klinik gigi dalam kawasan rumah tinggal, bukan di Rumah Sakit.

Setelah deretan gusi dibius bagian luar, setiap saya rasakan jarum suntik masuk gusi, bu dokternya selalu nanya sopan; “Sakit pak?”

Saya mesti menjawabnya cuman geleng-geleng kepala. Gak bisa bilang “Nggak”, soalnya saya lagi mangap.

Sukses!

Setelah berkali-kali menggema suara mak kruk-krek-krek-kruk di rongga mulut saya, maka gigi geraham saya pun tercerabut dari akar.

Heran saya juga, nggak di Rumah Sakit, nggak di klinik perumahan, dokter gigi wanita itu kok mesti cakep-cakep, good looking.

Pinter-pinter sisan. Jelas pinter. Nggak pinter, nggak jadi dokter.

Terus, saya pun memahami betapa profesi dokter gigi itu, ditekuni oleh sosok yang sangat sabar, telaten dan tabah.

Dokter gigi kudu sabar dan tabah. Soalnya setiap pasien, wanita ataupun pria, cakepnya selangit pun, kalo pas lagi mangap, mesti cakepnya mendadak pada ilang

Apapun, menjadi hal penting untuk rutin berkonsultasi kepada dokter gigi, guna merawat mulut dan gigi setidaknya enam bulan sekali.

Mari.