Menjelang peringatan hari kemerdekaan, saya baru saja membaca ulang sebuah buku antologi sejarah berjudul Gelora Api Revolusi yang diterbitkan pada tahun 1986. Buku ini merupakan hasil siaran radio BBC London Seksi Indonesia sepanjang April hingga Desember 1985 untuk memperingati 40 tahun kemerdekaan Indonesia yang berisi naskah dari para ahli sejarah hingga pelaku sejarah yang mengiringi kisah perjuangan dalam mendapatkan dan mempertahankan kemerdekaan (hal.xi). Selepas membaca berbagai tulisan yang ada, sebagai guru sosiologi, saya jadi belajar bahwa seiring berjalannya waktu semenjak peristiwa kemerdekaan banyak terjadi perubahan sosial di masyarakat yang bila dirasa perlahan memudarkan pemaknaan terhadap semangat kemerdekaan. Oleh karena itulah, perlu upaya untuk membangkitkan wacana kritis tentang bagaimana mengkonstruksi realitas sosial yang dapat merawat kesadaran historis masyarakat.
Keunikan Narasi Sejarah
Beberapa sejarawan indonesianis terkemuka sebut saja Peter Carey, Ruth McVey, Anthony Reid, John Ingleson, Harold Crouch hingga Ben Anderson menjabarkan banyak sisi unik dari peristiwa sejarah pergolakan semasa revolusi. Tak lupa, para tokoh penting seperti Adam Malik, Syafruddin Prawiranegara, dan A H Nasution turut menyumbang ingatan-ingatan riil mereka tentang perjuangan yang telah mereka lakukan. Semua naskah sama sekali tak ada yang membosankan untuk dibaca.
Saya merangkum beberapa tulisan sejarah yang menjelaskan bahwa perjuangan dari mendapatkan sampai mempertahankan kemerdekaan ditempuh dengan tidak melulu sekaku seperti yang dipelajari secara linier dalam kurikulum mata pelajaran sejarah di level sekolah. Inilah menariknya belajar sejarah, meski peristiwanya telah usai namun masih banyak hal detil yang bisa dieksplorasi lebih dalam dan akhirnya sedikit demi sedikit menguak tabir apa yang sebenarnya terjadi pada masa itu.
Sedikitnya ada tujuh pola perjuangan yang saya temukan. Perjuangan secara umum dilakukan melalui peperangan dan diplomasi lalu perjuangan melalui medium radio dan pers, kemudian, sastra dan pendidikan, dan ini yang paling menarik, memanfaatkan mitos yang berkembang di masyarakat. Adapun dari total 35 tulisan bernas mengenai sejarah revolusi, saya menemukan tiga tulisan menarik yang akan saya beri gambarannya.
Pertama adalah tulisan dari Peter Carey yang menuliskan narasi berjudul “Mitos, Pahlawan, dan Perang”. Ini adalah bagian paling favorit dan paling menggugah untuk dibaca oleh saya. Ia menjelaskan bagaimana masyarakat di era penjajahan membutuhkan satu alasan untuk terus berjuang sekaligus memiliki semangat untuk berperang untuk merebut kemerdekaan, tiada lain dengan memanfaatkan mitos-mitos yang dipercaya oleh masyarakat setempat.
Peter Carey menuliskan ada empat unsur yang mempengaruhi pertumbuhan kesadaran nasional: bahasa Indonesia, munculnya sejarah “Nasional”, gambaran yang berpengaruh sejak zaman animisme dan terakhir adalah ramalan-ramalan Jayabaya (hal.8). Seperti yang kita pelajari sejak di bangku sekolah bahwa sejarah Indonesia sebenarnya tidak selalu membahas hal-hal menyedihkan melainkan juga ada narasi-narasi hebat dari sebuah peristiwa sejarah yang terjadi pada masa lampau. Inilah tepatnya yang dimanfaatkan para founding fathers dan kelompok-kelompok gerakan sosial di era kebangkitan nasional.
Ambil saja contoh ramalan Jayabaya yang dipercaya di kalangan masyarakat Jawa tentang Sang Penyelamat yang datang dari rakyat yang spesifikasi tubuhnya kerdil, warna kulitnya kuning dan akan menaklukan pulau Jawa namun kekuasaannya tak akan berlangsung lama. Kita tahu objek yang dimaksud merujuk pada kepemimpinan Jepang di Indonesia. Peter Carey menemukan fakta bahwa Bung Karno salah satu orang yang paling efektif menggunakan kejayaan masa lalu untuk membakar semangat rakyat Indonesia pada saat itu (h.11-12).
Kedua, tulisan dari Colin Wild, Kepala BBC Seksi Indonesia, berjudul “Pengaruh Radio Dalam Perjuangan”. Di sini dikisahkan bagaimana radio menjadi sarana yang apik dan masif untuk menyiarkan apapun yang berkenaan dengan informasi penting di masa kekosongan kekuasaan Jepang karena kalah pada perang Pasifik.
Pada tulisannya ini, kita akan mempelajari ringkasan terbentuknya RRI atau Radio Republik Indonesia serta aplikasinya oleh para tokoh nasional seperti Bung Tomo untuk menggelorakan semangat pemuda di Surabaya. Sebetulnya, kesuksesan radio pada masa pergerakan ada andil dari kesalahan fatal Jepang yang berawal untuk memonopoli serta melakukan pengawasan ketat terhadap siaran radio dan sialnya bagi mereka adalah mereka tak akan bisa mengoperasikannya tanpa bantuan orang Indonesia (Hal. 164). Jadi ini membuka kesempatan bagi para pejuang untuk mengkonstruksi sendiri sistem siaran radio untuk kepentingan gerilya.
Bukankah ini mengingatkan kita pada kesialan penjajah Belanda yang menginisasi program Politik Etis pada tahun 1901, kala mereka memperkenalkan sistem pendidikan Barat malah justru menimbulkan keuntungan besar bagi rakyat Indonesia.
Terakhir, adalah tulisan dari H.B Jassin, seorang sastrawan Indonesia yang menjelaskan bahwa sastra juga bisa mendorong kesadaran nasional serta membangkitkan gelora semangat bagi para pembacanya. Secara fokus dan teratur, H.B. Jassin menjelaskan perkembangan ringkas sastra Indonesia dari awal kebangkitan hingga setelah peristiwa Sumpah Pemuda dimana Bahasa Indonesia resmi menjadi bahasa nasional yang digunakan oleh rakyat.
Ia memberikan banyak rekomendasi novel hingga puisi seperti “Layar Terkembang” yang dibuat Sutan Takdir Alisjahbana yang membahas perjuangan pemuda menciptakan persatuan bangsa melalui jalur pengetahuan dan pendidikan, lalu sajak Chairil Anwar berjudul “Siap Sedia” dan “Dipenogoro” yang menjelaskan bahwa perjuangan belum usai dan penting untuk tetap merawat semangat mempertahankan kemerdekaan.
Sampai di sini, kita tentu menyadari bahwa terdapat problem kebangsaan yang signifikan dihadapi secara berbeda dari pra kemerdekaan hingga pasca kemerdekaan. Bila para pendiri bangsa serta para pejuang mengabdi diri untuk melawan musuh nyata seperti penjajah, kita sekarang berhadapan pada problem sosiologis seperti rongrongan disintegrasi bangsa, ancaman krisis ekonomi karena pandemi, dan public distrust terhadap aktor politik. Karenanya, saya ingin menekankan pada paragraf awal bahwa dibutuhkan perspektif alternatif untuk merawat kesadaran historis kita tentang kemerdekaan tidak dengan cara-cara konvensional. Pilihan solusi dari saya adalah melalui produksi film misalnya.
Film jelas fiktif. Namun, sama fungsinya seperti radio, kita butuh satu medium yang relevan, kontekstual dan bisa menjangkau banyak tipe masyarakat dari berbagai kelas. Dari film, kita bisa mengembangkan satu imaji, narasi tentang kebangsaan dalam kemasan cerita visual menarik pula. Sudah banyak film Indonesia berlatar sejarah yang tidak membosankan untuk dilihat seperti Guru Bangsa: Tjokroaminoto (2015), Enam Djam di Jogja (1951), Battle of Surabaya (2015).
Bukan sekedar mensosialisasikan nilai-nilai perjuangan yang bisa diambil dari film namun juga penyadaran alternatif bahwa selalu ada cara untuk bisa mempertahankan kemerdekaan selain berperang fisik.