Kini dunia telah sampai pada tahun 2022 dan Indonesia pada Agustus tahun ini akan menginjak usia merdeka selama 77 tahun. Dan pada usia merdeka 77 tahun tersebut, masyarakat kelas menengah ke bawah akan mempertanyakan: apa yang dimaksud dengan merdeka dan di mana wujud nyatanya?.

Karena di usia merdeka yang sudah bisa dikatakan dewasa dengan tumpukan sejarah penuh makna, tetapi definisi merdeka itu sendiri belum didapatkan dan ditemui oleh masyarakat republik ini. Hal ini yang kemudian membuat kita sampai pada suatu kesimpulan bahwa hari ini harapan dan kenyataan sedang berbenturan.

Jika para politisi atau pemangku kebijakan lainnya yang telah menjadi penerus para founding person kita gagal dalam menyebarkan nilai-nilai keadilan (value of justice) maka sangatlah tidak pantas mereka disebut sebagai pengemban amanah karena mereka memang tidak amanah. Hal ini bisa dibuktikan dengan banyaknya kasus korupsi dan sialnya para pemangku kebijakan adalah mayoritas pelakunya.

Segala keluh dan kesah masyarakat republik ini tidak ada yang digubris, masyarakat meminta keadilan pangan tetapi permintaan tersebut dibalas dengan tindak pidana korupsi, masyarakat meminta kenyamanan tempat tinggal tetapi yang tiba adalah penggusuran (kolusi), masyarakat meminta pekerjaan yang layak agar dapat pendapatan yang juga layak dan yang hadir adalah nepotisme dimana orang dalam yang menentukan pekerjaan.

Sesuatu yang sangat sukar dan mengherankan itu terjadi di negeri yang katanya telah merdeka.

Hal-hal seperti ini telah membuat rakyat republik ini menjadi kaum papa di negerinya sendiri.

Tentu saja persoalan kesejahteraan yang adalah harapan tidak pernah tidak diucapkan. Tetapi kenyataan berkata lain, karena banyak oknum di negeri ini memanfaatkan kemiskinan ekonomi masyarakat. Agar ia tetap duduk di kursi kuasa maka jalankan ide teori haram, yakni: money politics. Ide yang telah merusak citra politik itu sendiri.

Pada dasarnya banyak harapan yang tidak sesuai dengan kenyataan. Tetapi yang mengherankan adalah, harapan akan kesejahteraan tetap tumbuh di republik ini, karena banyak masyarakat yang bekerja berkebun mencari makan sendiri, seolah menunjukkan bahwa pemimpin memang tidak mampu memimpin.

Adalah sangat tepat jika negeri ini dikatakan sedang ada pada fase "crisis of leadership" karena memang begitulah adanya. 

Politik yang oleh Aristoteles dipergunakan sebaik mungkin untuk membawa peradaban pada arah yang lebih baik dan kemudian hal itu kita kenal dengan nama teori politik Aristoteles telah dilecehkan oleh para politisi di negeri ini, di tengah ketidaksejahteraan melanda rakyatnya, para politisi masih sempat-sempatnya mengusulkan ide perpanjangan masa jabatan Presiden dan Penundaan Pemilu yang membuat banyak Mahasiswa di republik ini bergerak guna menggagalkan hal tersebut.

Para Politisi telah menunjukkan dirinya tidak memahami arti politik sebagai sesuatu yang baik.

Belum lagi persoalan Papua. Dimana rakyat di tanah surga itu tidak merasakan ruga tiba di tanahnya, akibat konflik yang belum mampu diselesaikan oleh para pemimpin dan kesenjangan sosial yang sangat terlihat kontrasnya. Sementara Papua adalah bukan sekadar tempat tetapi Papua juga adalah hal yang membanggakan. 

Warga Papua tidak pernah meminta kekuasaan, yang saya lihat warga Papua hanya menginginkan kesejahteraan, tidak kurang tidak lebih.

Apa yang terjadi di Papua adalah bentuk ketidakmampuan para pemimpin untuk melaksanakan problem solving.

Dari segala kenyataan yang adalah permasalahan membuat saya teringat pada sosok gagah Bung Karno. Dimana ketika ia berkeliling bumi Priangan ia bertemu dengan seorang petani gurem ia bercakap-cakap dengan pelaku tani tersebut, dari percakapan itu ia merasakan apa yang dirasakan oleh petani-petani di negeri ini pada masa itu.

Ketidakadilan dan ketidaknyamanan tinggal di negeri sendirilah yang terlihat dari percakapan antara petani tersebut dengan Bung Karno. Dan momentum tersebut melahirkan suatu ide besar, anak kandung pikiran Bung Karno, yaitu: Marhaenisme. Dimana nama ide tersebut diambil langsung dari nama petani yang ditemui oleh Bung Karno, yakni: Marhaen.

Dari sejarah singkat Bung Karno jika dibandingkan dengan para pemangku kebijakan sekarang, saya merasa tidak yakin ada yang mampu menjadi Bung Karno atau setidaknya seperti Bung Karno. Karena yang terlihat dilakukan oleh para pemangku kebijakan tersebut adalah semakin "men-cilik-kan wong cilik."

Hal-hal seperti ini membuat kita rindu pada Bung Karno dan teman-temannya seperti Sjahrir dan Hatta. Kita merindukan leader yang sesuai dengan harapan. 

Dari segala hal yang terjadi mengingatkan kita pada Bung Hatta yang mengatakan: "Pahlawan yang setia itu berkorban, bukan buat dikenal namanya tetapi semata-mata membela cita-cita."

Dari perkataan Hatta tersebut kemudian muncullah pertanyaan, apakah saat ini para pemimpin memikirkan Pancasila yang adalah cita-cita dari negeri ini?.

Perjuangan serta perkataan Bung Karno dan Bung Hatta adalah tamparan telak bagi para pemimpin di negeri ini saat ini, karena ketidaksesuaian yang mereka lakukan dengan harapan.

Harapan dan kenyataan adalah dua wujud berbeda, tentu saja dan sangat wajar jika jika warga negara berharap besar kepada negara, karena pada dasarnya kekuasaan yang dimiliki negara adalah berasal dari warga negara. Dari hal tersebut kemudian kita dapat melihat bahwa warga negara adalah pemilik asli negara.

Dan semua sila Pancasila dengan segala maknanya adalah hak bagi warga negara dan kewajiban bagi negara untuk memberikannya, hal ini sesuai dengan prinsip etis demokrasi: dari, oleh, dan untuk rakyat. 

Segala hal buruk yang terjadi memang harus diselesaikan, hal ini adalah konsekuensi karena kita tinggan di bumi manusia dengan segala persoalannya. Dan hal buruk juga yang telah mengingatkan kita pada pepatah Itali yang mengatakan: Bila akal sehat tertidur, maka para monsterlah yang menguasai malam. Dan meminjam kalimat Rocky Gerung: “marilah merawat Republik dengan akal sehat, agar para monster tidak menguasai malam, agar kita dapat nyenyak sepanjang malam".

Hanya dengan merawat harapanlah akal sehat tetap tumbuh dan kenyataan yang diharapkan pasti akan tiba kendati kita belum tahu pasti kapan tibanya hal baik tersebut.