Bangsa ini masih belum selesai dengan pergulatan simbol dan identitas. Pergulatan inilah yang kemudian memicu sikap sikap intoleransi masyarakat terhadap simbol yang kemudian diasosiasikan dengan identitas tertentu.
Keberagamaan Indonesia sejatinya merupakan anugerah bagi negara kepulauan yang kaya akan budaya, agama ras dan adat istiadat ini. Pada dasarnya gagasan Bhineka Tunggal Ika bukanlah mimpi siang bolong seorang Soekarno. Namun ianya memang berangkat dari sisi kesadaran historis bahwa Indonesia dibangun diatas pilar keberagaman yang menghormati setiap perbedaan yang ada.
Tidak heran kemudian bila para pendahulu kita, tidak asing dengan keberagaman di setiap sendi kehidupan bangsa ini. Justru kemudian setiap perbedaan mewujud melalui semangat toleransi dan saling tenggang rasa dalam bingkai Bhineka Tunggal Ika.
Pada tataran praktek di lapangan, founding father kita tidak hanya berhasil meletakan gagasan dalam merawat keberagaman, namun juga berhasil menyatukan ragam perbedaan untuk bersama menegakan sang saka merah putih melalui darah dan air mata ketika mengusir penjajah dari bumi pertiwi. Upaya tersebut dilakukan tanpa memandang suku, agama maupun ras dan antar golongan.
Namun kondisi hari ini, masyarakat Indonesia dihadapkan pada situasi dimana kebhinekaan tidak lagi dianggap sebagai sebuah anugerah. Bahkan kebhinekaan itu sendiri oleh sebagian kalangan dianggap sebuah bencana bagi peneguhan simbol dan identitas tertentu dari sebagian golongan yang kerap mengklaim sebagai golongan mayoritas.
Mereka beranggapan, sebagai penduduk dengan populasi tergendut, sudah selayaknya umbul umbul simbol maupun identitas mereka dirayakan dengan penuh gegap gempita oleh negara .Bagi sebagian golongan , mereka mengakui kebhinekaan hanya sebatas konsep di atas kertas serta ucapan manis di bibir. Namun ada praktiknya mereka sendiri tidak dapat menerima adanya golongan berbeda dari mereka yang eksis dalam praktik berbangsa dan bernegara.
Persoalan rapuhnya toleransi kemudian kian mengkhawatirkan ketika sebagian masyarakat kita kini justru tanpa malu malu lagi semakin vulgar dalam mengumbar kebencian terhadap sesama anak bangsa melalui ragam media komunikasi. kondisi Kebhinekaan Indonesia yang mulai tercerabik ini tak pelak kian mengancam keutuhan bangsa ini.
Situasi riil yang terjadi dawarsa ini, adalah timbulnya kondisi penolakan sebagian masyarakat kita terhadap simbol simbol yang bukan berasal dari golongannya. Terjadi pertarungan simbol dalam rangka meneguhkan identitas sebagian pihak di atas pihak lain. Yang tampak kepermukaan kemudian adalah pertarungan simbol mayor dengan simbol minor.
Gagasan utamanya adalah: simbolisasi identitas golongan mayoritas haruslah haruslah selalu diutamakan, atau lebih tepatnya, haruslah dikondisikan untuk selalu istimewakan dari simbol simbol yang diasosiasikan dengan identitas minoritas.
Pergulatan simbol dan identitas inilah yang kemudian memicu sikap sikap intoleransi masyarakat terhadap simbol simbol tertentu. Pertarungan simbol yang paling menguras energi tentunya ketika pada Pilkada DKI tahun 2017. Dimana para kontestan yang ada diyakini mewakili simbol dan identitas golongan tertentu.
Wacana pengharaman maupun aksi boikot terhadap kontestan yang diasosiasikan dengan simbol dan identitas minoritas tertentu kemudian dianggap sebagai peneguhan identitas simbol dari sebagian golongan masyarakat yang mendaku sebagai mayoritas.
Karena demokrasi menempatkan mayoritas sebagai pemegang kunci, mereka meyakini sudah selayaknya simbol dan identitas mayoritas harus berdiri setegak tegaknya diatas bumi pertiwi. Tak peduli meski untuk menegakannya harus diatas puing puing kebhinekaan yang mulai rapuh.
Mereka seakan lupa, bahwa demokrasi bukan hanya berbicara legitimasi kekuasaan mayoritas semata. Namun demokrasi juga berbicara bagaimana menghadirkan beragam kepentingan kelompok sosial yang ada di masyarakat dalam sistem yang didominasi oleh suara dan kepentingan mayoritas. Sebagaimana uraian Burkens (dalam Hadjon, 1999: 3) tentang demokrasi, bahwa prasyarat minimal demokrasi adalah penghormatan terhadap mereka yang diposisikan sebagai minor dalam demokrasi.
Ketika kemanusiaan diasosiasikan dengan simbol dan identitas
Gejala umum yang tiap tahun terjadi, sebagian masyarakat kita masih saja mengidap gejala phobia terhadap simbol simbol yang dinilai mewakili identitas tertentu.Tentu belum lekang ingatan kita, dimana beberapa waktu sempat viral sajadah yang dianggap mirip dengan simbol simbol agama tertentu. Sehingga dinilai ada upaya pemurtadan terselubung dengan kehadiran perangkat ibadah tersebut.
Kasus intoleransi terhadap simbol yang kemudian diasosiasikan terhadap identitas tertentu belakangan terjadi di Provinsi Aceh. Tepatnya di Kabupaten Pidie Jaya. Terjadi sebuah kasus yang memicu reaksi publik di provinsi yang merupakan satu satunya daerah di Indonesia yang secara legal diberi kewenangan menjalankan Syariat Islam ini.
Pangkalnya adalah bermula dari seremoni pembangunan gedung pendidikan Akademi Komunitas Negeri (AKN) di Gampong Baro Blang Dalam, Kecamatan Bandar Baru, Pidie Jaya oleh Yayasan Budha Tsu Chi pada Senin (12/2/2018). Sebelumnya Yayasan Buddha Tzu Chi Indonesia menyatakan kesediaannya untuk membangun satu unit ruang kuliah dan ruang praktikum pasca gempa yang melanda pidie jaya tahun 2016.
Namun naluri kemanusiaan untuk membantu pembangunan gedung pendidikan tersebut kemudian harus terusik ketika berhadapan dengan reaksi dari sebagian masyarakat setempat yang menilai bantuan tersebut sarat dengan simbol simbol agama maupun budaya tertentu.
Meskipun proses peletakan batu pertama itu juga dilaksanakan secara Islami dengan adanya pembacaan Quran, peusijuek (Tepung tawar) serta pembacaan doa. Namun prosesi seremonial yang juga mengikutsertakan budaya tionghoa ketika mengaduk semen pada prosesi peletakan batu itu rupanya memantik reaksi sebagian pihak yang kemudian tegas menolak rencana pembangunan kampus tersebut. Mereka keberatan dengan kehadiran semacam tugu berhias huruf tionghoa dalam prosesi seromonial.
Meski Pemkab Pidie Jaya dan pihak terkait telah menjelaskan panjang lebar kepada masyarakat melalui media, bahwa pembangunan gedung tersebut tidak ada kaitannya dengan agenda misionaris agama tertentu. Namun kabar pembangunan gedung yang dinilai telah mengikutsertakan simbol simbol budaya tionghoa itu telah menjadi viral serta perbincangan panas di warung kopi dan media sosial.
Klimaksnya, Pemkab akhirnya memutuskan terpaksa tunduk dan “menyerah” dengan keinginan massa,dengan menghentikan sementara pembangunan kampus tersebut untuk waktu yang tidak dapat ditentukan. Tampaknya pemkab tidak menginginkan situasi semakin tidak kondusif jelang Pilkada di wilayah tersebut.
Merajut kebhinekaan, melawan hegemoni simbol dan identitas
Meski sudah lebih dari separuh abad Indonesia merdeka, namun bangsa ini masih belum selesai dengan pergulatan simbol dan identitas.
Kasus pembangunan kampus AKN Pidie Jaya adalah salah satu contoh mutakhir terkait persepsi masyarakat kita yang masih belum dapat toleran terhadap simbol simbol yang diasosiasikan tidak mewakili identitas mayoritas masyarakat setempat. Naluri kemanusiaan sekalipun masih harus senantiasa tunduk pada keinginan peneguhan simbolisasi identitas mayoritas.
Gejala intoleransi terhadap simbol merupakan sebuah gejala akut bangsa ini yang setiap saat dapat meledak dan memicu aksi yang justru dikhawatirkan kontraproduktif dengan semangat kebhinekaan yang digagas founding father kita.
Intoleransi terhadap simbol dan identitas sepatutnya harus dilawan bangsa ini dengan cara menolak hegemoni simbol maupun identitas. Bangsa ini harus berhenti bermuka dua, mengistimewakan simbol dan identitas tertentu namun justru di saat yang sama intoleran terhadap simbol dan identitas lainnya.
Intoleransi simbol dan identitas merupakan ancaman bagi kebhinekaan Indonesia. Sebab dapat menjadi bibit bagi tumbuh dan bersemainya benih benih ekstrimisme di Indonesia. Gerakan ekstrimis pada dasarnya berangkat dari bersemainya bibit intoleran terhadap simbol dan identitas lain selain simbol dan identitas dirinya.
Tentu kita tidak ingin, gejala intoleransi yang terjadi kedepan semakin akut. tidak hanya terjadi terhadap simbol dan identitas pihak lain yang dioposisikan sebagai minor. Namun justru pertarungan yang terjadi kedepan adalah intoleransi terhadap simbol dan identitas pemersatu Indonesia itu sendiri, yaitu Pancasila.
Di sinilah kemudian Pancasila sebagai simbol kebhinekaan Indonesia perlu diterjemahkan ke dalam konteks yang lebih praktis. Perlu upaya merajut kebhinekaan dengan menyadari bahwa Pancasila merupakan simbol dan identitas pemersatu bangsa ini ditengah masyarakat yang plural.
Tanpa adanya kesadaran bahwa pancasila merupakan konten pemersatu bangsa, bukan tidak mungkin kedepan kebhinekaan Indonesia tinggal catatan dalam buku pelajaran.Hanya indah di atas kertas. Namun sungguh sulit,alih alih hampir mustahil, mewujudkan dalam konteks realitas kekinian.[ ]