Di tugas akhirku ini aku memilih ber-skripsi daripada membuat pameran. Sebab menjadi Pelukis begitu egois, ia yang minim aksara tapi yang lain dipaksa membaca. Sedang katanya menulis adalah jalan paling panjang untuk menjalani hidup yang singkat. 

Di skripsi, kusematkan naskah teater, cerita yang kubuat atas namamu. Pak Blonde sebagai Dosen penguji, dengan ngotot ingin mementaskannya. Dengan ancaman katanya ujianku ini belum selesai, jika ingin lulus maka dibikinlah pentas. Haha, siapa takut? 

Entah mengapa dua semester terakhir ini, semenjak aku mengambil mata kuliah teater dengan sadar aku merasa Pak Blonde selalu memperhatikanku. Seperti ada obsesi untuk terus melihatku sedang berproses apa. Seperti seorang ayah terhadap anaknya. Tahulah aku selalu gagal di kelas musik, haha. 

Naskah ini aku buat pentas tiga hari berturut-turut. Pentas teater yang cenderung kategori teater tubuh, sebab memang tidak banyak yang bisa kuutarakan, terlampau tidak masuk akal. Bercerita tentang kisah kasih yang berjalan tidak cepat. 

Betapa naas dan konyol bertahun-tahun aku mencintai sebuah ideologi. Mengganti namanya, memberi peran, dan memasang karakter. Membiarkannya hidup diantara konsep-konsep cerita pendek. Nafasnya bukan udara, ia bernyawa tanpa ruh, kekuatannya begitu berarti. 

Pementasan di hari pertama, drama musikal yang gemerlap menceritakan dua hati yang bertemu dan saling komitmen. Perempuan yang menyatakan perasaannya dibalas dengan tidak ada sebab untuk menolaknya. Pertama-tama memang pelik, pasrah sekali ia menyampaikan perasaannya yang entah, tapi di akhir adegan ada harapan yang bagus, bahwa mereka akan berjalan beriringan. 

Lengkap dengan adegan menari di bawah hujan, menimang-nimang bunga kering di taman. Pentas kedua ini memang outdoor. Tapi tidak dengan adegan smartphone yang tenggelam, aku ganti saja dengan tukang pos yang kecelakaan di perjalanan, burung merpati yang terjerat ranting di salah satu pohon hingga mati kelaparan, mana mungkin surat itu sampai. 

Astaga jika kemarin aku terbahak-bahak menertawakan diriku sendiri, mengingat aku begitu berani menyampaikan rasaku padanya lewat lukisan. Sekarang aku sedang menangis betapa cerita ini bengis mengambil separuh hatiku dulu. Duh Gusti, manusia bukan tempat untuk berharap. 

Terhadap rasa yang diciptakan, terima kasih sebagian Kau anugerahkan padaku. Sebagian rasa sakit, sebagian rasa suka, tidak kau berikan seutuhnya agar aku dapat mencicipi keduanya. Dan aku percaya dari keduanya adalah rahmat-Mu yang sempurna. 

Pentas-pentasku ini dibantu oleh teman-teman teaterku, Mas Bilqis sebagai pimpinan produksi dan aku sebagai sutradara ketiganya sekaligus. Aku ingin cerita ini murni dari aku tanpa ada campur tangan dari siapapun, sebab aku ingin rasa yang sampai juga utuh dariku bukan persatuan cuilan-cuilan ideologi orang-orang. 

Aku memilih sendiri siapa aktornya, tata panggung, tata cahaya, musik yang dipakai, tata rias, kostum aghrrrrr apa-apa aku yang pikirkan. Sebab, ini adalah ceritaku, aku sedang memberi nyawa dari yang sekian lama hidup di atas kepalaku kini harus tampil di atas panggung. 

Cerita terakhir kuberi nama 'Konferensi Meja Bundar'. Disana, aktor merespon meja bundar, mandi darah dan berserah serapah menceritakan betapa aku mati-matian harus berdamai pada takdir, kita tak lagi beriringan. Begitulah, cinta yang beda arah berujung pada hati yang patah-patah. 

Dipentas terakhir ini aku benar-benar mengamati setiap mahasiswa Akademi Jerapah siapakah yang pantas memainkan adegan puncak ini. Ada satu anak teater angkatan dua tahun di bawahku, ia amat tertutup dan dingin. Mati-matian aku memaksa dan membujuknya agar mau menjadi aktor naskahku. 

Ada banyak hal yang harus aku pertaruhkan, sebab dia hanya mau melafalkan dialog yang ia suka saja. Setengah mati aku berpikir gerak tubuh macam apa agar pesanku sampai tanpa merusak alur. Aku ingin seluruh dunia tahu salah satu manfaat mengungkapkan perasaan adalah rasa tenang. 

Lalu segera melanjutkan hidup seperti biasa, meski beberapa juga ada yang memilih untuk sakit hati (iya, kita juga bisa memilih untuk tidak sakit hati) hingga tidak karuan dan berantakan. Tapi toh kata Tulus konon waktu yang sembuhkan. Akan tetapi menyatakan perasaan setelah jadi karya adalah wujud bahwa jatuh dan patah hati itu tidak sia-sia. 

Hari ini aku bertemu banyak sekali manusia baru, memang sengaja menonton. Di masa-masa tugas akhir Akademi ini selalu terbuka untuk umum bagi yang ingin menikmati karya-karya kami. Manusia baru, yang mungkin sehari-dua hari atau bahkan selesai dari acara ini mereka sudah lupa aku. 

Oh iya, di antara manusia baru adakah kamu? Terang-terangan aku sampaikan bahwa aku mencintaimu sejak umur belasan. Di umur dua puluh ini aku putuskan tamat. Rasaku tetap kurawat harap-harap suatu saat kau datang menjadi teman sejawat atas rasa yang kutanam sendiri. 

"Hai Tuan yang sedang mengambil peran. Perkenalkan aku sosok gadis di ujung taman Yang mampu menahan kekaguman namun mencintaimu tak bisa ku lawan. Kau tak bisa kumiliki, maka rasa ini hanya peliharaan hingga puisiku lahir ribuan dan kaki siap beranjak melupakan ingat dan kenangan."

Tok... Tok... Tok... (ketuk palu konferensi meja bundar) tirai tertutup, lampu mati, riuh penonton tepuk tangan. Sudah.