Masyarakat Indonesia dihebohkan dengan rencana pembunuhan empat tokoh nasional. Tidak hanya rencana pembunuhan tersebut yang membuat suasana gaduh. Lebih dari itu, pemberi perintah untuk mencari ekskutor pembunuh empat tokoh nasional yakni Kivlan Zen berhasil membuat huru-hara di tengah masyarakat.
Kivlan Zen ditetapkan sebagai tersangka atas perbuatan makar dan kepemilikan senjata api ilegal. Mestinya, Kivlan sudah tidak begitu menggegerkan jika ia melakukan tindakan kriminal, sebelumnya, ia juga telah disebut-sebut sebagai dalang dalam kasus kerusuhan Ambon hingga Poso. Meski hal tersebut tidak secara gamblang disebutkan, tetapi penyebutan ‘Mayjen Kunyuk’ oleh Gus Dur merujuk pada nama Kivlan.
Selain itu, Kivlan juga sempat tersangkut kasus dalam pelengseran mantan Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok dalam Aksi 411. Dalam kasus tersebut, Kivlan melontarkan pernyataan kontroversial ketika menjadi pembicara dalam aksi tersebut. Dalam beberapa kasus, nama Kivlan Zen kembali dikait-kaitkan.
Kini diusia senjanya Kivlan harus berurusan dengan kasus hukum terkait rencana pembunuhan empat tokoh nasional. Memang sangat disayangkan, seorang Purnawirawan Mayor Jendral TNI harus tersangkut masalah makar dan pembunuhan.
Kivlan tentu sudah melewati masa-masa bakti terhadap bangsa dan negara selama puluhan tahun. Terkait permasalahan makar yang menyandra dirinya, benar-benar tidak mencerminkan seorang Purnawirawan TNI. Apakah hal ini berkaitan dengan post power syndrom?
Seorang Purnawirawan seperti Kivlan tentulah sangat dihormati dan dibanggakan negara. Setelah mengabdikan dirinya untuk negara selama puluhan tahun, rasanya jika hal ini dikaitkan dengan hausnya kekuasaan tentu sangat tidak logis.
Mengapa seorang Kivlan harus melakukan tindakan kriminal hanya untuk mendapatkan kekuasaan? Dia secara instan telah mendapatkan kekuasaan dengan menjadi Purnawirawan TNI. Apakah definisi kekuasaan itu ketika kita menjadi presiden, Menkopolhukam, Ketua BIN, atau Petinggi badan survei saja? Tentu tidak kan?
Seorang purnawirawan yang telah mendapatkan berbagai jabatan dalam masa tugasnya tentunya sudah waktunya pensiun dalam berbagai tugas dan urusan politik. Seorang Kivlan seyogianya tinggal menikmati masa pensiun dan berkumpul serta bersenda-gurau bersama anak cucu.
Namun nampaknya harapan tersebut sirna ketika Kivlan memilih menyibukkan diri dengan tersangkut masalah kriminal yang juga mengacaukan kedamaian bernegara. Masyarakat Indonesia pastinya sangat kecewa dengan seorang Jendral yang sepatutnya memiliki jiwa nasionalisme tinggi sekaligus sebagai contoh teladan, malah membuat onar dan tidak merefleksikan jiwa seorang purnawirawan yang pancasilais dan setia kepada NKRI.
Meski begitu, ada baiknya kita menilik secara kasar kehidupan pensiunan seorang Jendral TNI. Purnawirawan TNI meski ia telah pensiun pastilah masih mendapatkan penghormatan dari junior-junior. Tidak hanya ketika pensiun, suatu kehormatan menjadi seorang purnawirawan akan dibawa sampai ke liang kubur.
Kehormatan seorang purnawirawan akan selalu diagungkan oleh rakyat karena telah berjasa untuk bangsa dan negara. Dengan demikian, suatu kehormatan seorang purnawirawan akan selalu melekat pada jiwanya tanpa diminta.
Jika pelaku makar adalah seorang yang bukan abdi negara mungkin tidak akan seheboh ini. Karena, jika bukan abdi negara bisa ditoleransi tindakan bodohnya (karena mungkin memang orang bodoh) karena melawan pemerintah yang berdaulat. Tetapi toleransi disini berarti bukan dibebaskan dari jerat hukum. Sama sekali bukan.
Tetapi lebih kepada toleransi pada tindakan bodohnya. Kemudian untuk masalah hukum tetap berjalan sebagaimana yang telah ditetapkan. Tetapi, karena ini yang melakukan perbuatan makar adalah seseorang yang pernah mempertahankan NKRI dan menjadi benteng keamanan negara, tentu tidak dapat ditoleransi. Ya, semua itu karena kebodohannya sudah kelewat batas.
Bagaimana tidak? Pada proses pendidikan kemiliteran pastinya Kivlan telah diajarkan dan ditanamkan bagaimana mencintai negeri ini segenap jiwa dan raga. Bagaimana menjaga negeri ini dari ancaman internal maupun eksternal. Tidak siapapun, pasti menjadi suatu kehormatan dan kebanggaan bisa memperoleh kesempatan untuk melindungi negeri ini.
Itu Kivlan Zen yang dulu. Kivlan Zen yang dielu-elukan tempo dulu. Sekarang, ia menjadi musuh negeri ini. Berkhianat pada kedamaian bernegara.
Namun, sepertinya kita semua sepakat jika bisa jadi Kivlan kecewa dengan perbuatannya setelah rencananya gagal total. Rasanya, saran ‘Think before you act’ tidak pantas kita hujamnkan pada Kivlan. Kembali lagi pada status sosialnya, Kivlan seorang purnawirawan.
Ya, seorang purnawirawan. Dengan menyebutnya saja pasti terlintas jika Kivlan ini orang yang bijak dan futuristik. Artinya, dalam berbagai hal tentu Kivlan yang seorang pensiunan militer itu selalu memiliki rencana yang matang agar misi berhasil. Atau jika ia bijak, punya pilihan untuk mengubah rencana.
Maksudnya disini adalah, penulis ingin memberi tahu bahwa setiap rencana jahat tidak akan berjalan mulus. Jikalaupun rencana jahat tersebut berhasil, pasti akan ada efek buruknya terhadap kita. Maka dari itu, ubahlah rencana buruk tersebut untuk kemaslahatan diri sendiri dan orang banyak.
Jangan seperti Kivlan, menghabiskan masa tua dibalik dingin dan pengapnya jeruji besi. Oh ya, ditambah lagi dimusuhi seluruh rakyat Indonesia. Ih serem.