Kabar yang menggembirakan untuk kita semua, bahwa minggu-minggu terakhir ini angka harian penambahan kasus Covid-19 di Indonesia terus melandai hingga di bawah 1.000. Padahal 2-4 bulan lalu, rumah sakit dan tenaga kesehatan kita sangat kewalahan akibat banyaknya korban berjatuhan. Pada saat itu angka kasus baru harian pernah mencapai di atas 50.000.
Penurunan kasus di negara kita ini telah mendorong Pemerintah mulai menerapkan pelonggaran Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM). Bentuk pelonggaran tersebut disesuaikan dengan level PPKM di masing-masing wilayah, antara lain berupa dibukanya tempat wisata, pusat pembelanjaan, perkantoran, sekolah, dan lain-lain.
Di tengah kebijakan pelonggaran PPKM ini, yang tentu telah meningkatkan mobilitas masyarakat, timbul kekhawatiran banyak pihak akan meningkatnya kembali kasus Covid-19. Banyak pakar kesehatan yang sudah mewanti-wanti tentang ancaman gelombang 3 virus SARS-CoV-2 ini.
Di balik aturan pelonggaran PPKM dan kekhawatiran bertambahnya kembali kasus Covid-19, timbul pertanyaan kita apakah sudah tepat jika sekarang di negeri ini diberlakukan pelonggaran? Apakah tidak sebaiknya menunggu lebih lama lagi hingga penularan Covid-19 sudah benar-benar terkendali?
Kita sering mendengar bahwa pemilihan kebijakan mengatasi Covid-19 selalu di antara pertimbangan melindungi kesehatan dan ekonomi masyarakat. Mana yang lebih didahulukan, kesehatan atau ekonomi?
Didalilkan, jika ingin melindungi kesehatan masyarakat dari risiko paparan virus yang meluas, diperlukan pengetatan mobilitas masyarakat. Aktivitas usaha, belanja, pertemuan tatap muka, rekreasi di luar, dan lain-lain yang dapat menimbulkan kerumunan harus dibatasi.
Namun demikian, jika kebijakan pengetatan itu dilakukan dalam jangka waktu lama, risikonya adalah kesulitan ekonomi masyarakat. Mereka tidak bisa leluasa beraktivitas. Usaha kecil sampai dengan besar pun terancam gulung tikar. Pengangguran bisa bertambah dan berbagai problematika sosial bisa bermunculan.
Terlepas dari dua pertimbangan mengatasi penyebaran Covid-19 yang harus memilih mengutamakan kesehatan dan ekonomi masyarakat di atas, marilah kita coba lihat sisi lain mengenai pembatasan masyarakat selama pandemi, yaitu mengenai masalah psikologis atau kesehatan mental masyarakat yang ditimbulkan oleh PPKM selama pandemi.
Pandemi Covid-19 yang sudah berlangsung sejak Maret 2020 terbukti menimbulkan tekanan psikologis yang luar biasa kepada masyarakat kita. Banyak orang mengalami gangguan kejiwaan, baik skala ringan, sedang dan berat.
Gangguan kejiwaan ini dapat berbentuk psikotik dan non-psikotik. Gangguan psikotik ini biasanya yang bersangkutan tidak bisa mengendalikan diri, sehingga kepadanya diperlukan bantuan ahli. Sedangkan non-psikotik, yang bersangkutan masih bisa mengendalikan diri dan untuk mengatasi gangguan tersebut tidak memerlukan bantuan orang lain.
Pandemi yang berkepanjangan telah menimbulkan berbagai penyakit kejiwaan, seperti cemas, depresi dan trauma. Rasa cemas biasanya terjadi karena yang orang merasa cemas dengan masa depan yang tidak pasti. Misalnya bagaimana hidup di masa depan jika covid tidak bisa diatasi, bagaimana biaya hidup bisa ditanggulangi, dan sebagainya.
Sebagian orang juga mengalami depresi yang ditandai dengan gangguan susah tidur, tidak bersemangat, mudah lelah, dan sebagainya. Sebagian lagi orang mengalami trauma, trauma terkait dengan peristiwa yang dilihat atau dialaminya sendiri karena Covid-19, seperti kehilangan orang-orang yang dikasihi, kehilangan sumber kehidupan, dan sebagainya.
Tekanan psikologis selama pandemi yang dialami oleh banyak orang ini tentu sangat berbahaya. Manusia memiliki batas daya tahan menghadapi stres, yang apabila batas tersebut terlampaui dapat menyebabkan akibat yang sangat buruk pada dirinya.
Dalam ilmu psikologi daya tahan terhadap stres ini dibagi dalam 3 tahap: 1). Tahap reaksi waspada, yaitu dengan menggerakkan tubuh; 2) tahap reaksi resistensi, yaitu tubuh memperbaharui energi, dan 3) tahap reaksi kelelahan, yaitu reaksi atas stres berkepanjangan yang mengganggu kinerja jantung dan pernafasan dan berisiko ke kematian.
Suatu survei masalah psikologis masa pandemi telah dilakukan oleh Persatuan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia. Survei ini diikuti 2.364 orang dari 34 Provinsi di Indonesia, dengan temuan bahwa 69% mengalami masalah psikologis. Dari 69% tersebut, 68 % mengalami kecemasan, 67% depresi dan 77% mengalami trauma psikologis.
Dengan memperhatikan risiko gangguan kesehatan mental masyarakat di atas, maka nampaknya pelonggaran PPKM sebaiknya diberlakukan saat ini. Dengan pelonggaran PPKM ini masyarakat dapat mengurangi stresnya, memperoleh energi baru, berupa harapan baru yang dapat mengurangi masalah psikologisnya.
Dengan adanya pelonggaran PPKM, masyarakat yang sudah bosan di rumah dengan berbagai pembatasan selama pandemi dapat mulai keluar dari area tekanan psikologis, bisa melakukan perjalanan wisata, berinteraksi lebih leluasa dengan kerabat/ rekan dan tentunya pelan-pelan menggerakkan kembali roda usahanya.
Namun demikian, tentu saja kewaspadaan juga perlu dilakukan. Pelonggaran PPKM perlu dibarengi dengan usaha-usaha untuk menurunkan risiko meningkatnya kembali kasus. Pemerintah dan juga masyarakat harus sama-sama mengatur agar pelonggaran tidak sampai meningkatkan kasus Covid-19 lebih besar lagi.
Program vaksinasi hingga mencapai target harus terus dilakukan pemerintah. Testing dan tracing diintensifkan, karena hal ini diyakini akan membantu memutus mata rantai penularan Covid-19. Di samping itu, tentu saja masyarakat juga harus aktif menjaga kewaspadaannya. Menahan diri dari kegiatan yang mengabaikan bahaya penularan Covid-19***