Presidential threshold merupakan produk hukum yang sering kali digugat di Mahkamah Konstitusi (MK) oleh berbagai pihak, baik itu sebagai personal (warga negara) maupun itu sebagai lembaga atau institusi (DPD dan partai politik) sepanjang sejarah produk legislasi di Indonesia. 

Normanya, jika ada produk legislasi digugat di MK, itu artinya ada indikasi kuat bahwa produk legislasi itu inkonstitusionalitas atau bertentangan dengan UUD 1945.

Ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden atau presidential threshold ini genap 30 kali digugat di MK. Meski demikian, berkali-kali presidential threshold digugat di MK, berkali-kali juga presidential threshold ditolak oleh MK. 

Alasan MK menolak atau tidak dapat menerima permohonan dari berbagai pihak tentang presidential threshold setidaknya ada beberapa alasan:

Pertama: pemohon tidak memiliki legal standing dalam mengajukan uji materi atau judicial review presidential threshold (putusan MK nomor 53/PUU-XX/2022 menolak gugatan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dengan alasan tidak memiliki legal standing).

Kedua: pasal-pasal yang digugat di MK adalah pasal-pasal yang sudah diputuskan oleh MK sebelumnya atau ne bis in idem dan memiliki kekuatan hukum tetap dan mengikat. Ketiga: presidential threshold merupakan kebijakan hukum terbuka atau open legal policy pembentuk undang-undang, sehingga presidential threshold dikembalikan ke DPR dan pemerintah sebagai pembentuk undang-undang. 

Artinya, jika kita melihat secara kritis, presidential threshold ini merupakan kebijakan hukum "semau gue" DPR dan pemerintah. Lebih jauh lagi, kebijakan hukum presidential threshold ini merupakan kebijakan hukum "pesanan" partai-partai politik besar untuk mengamankan kekuasaan.

Pada saat yang sama, kebijakan hukum presidential threshold membuka celah terjadinya politik transaksional, tukar tambah jabatan, bagi-bagi jatah dan terjadinya money politics. Hal ini terjadi karena dalam mengusulkan calon presiden dan wakil presiden, partai politik tidak lagi demokratis. Siapa yang punya modal besar, itulah yang akan berpeluang besar menjadi calon presiden dan wakil presiden.

Tiga alasan di atas cukup jelas untuk melihat posisi MK, apakah MK menguji undang-undang berdasarkan konstitusi atau UUD 1045 atau MK mengamankan kepentingan kelompok tertentu melalui presidential threshold?

Dalam sejarahnya, presidential threshold itu hadir untuk memperkuat sistem presidensil dan melakukan penyederhanaan partai politik. Presidential threshold pertama kali diterapkan pada pemilu 2004 melalui UU 23/2003 tentang pemilihan umum presiden dan wakil presiden. 

Pasangan calon presiden dan wakil presiden hanya dapat diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik yang memperoleh sekurang-kurangnya 15 persen jumlah kursi DPR atau 20 persen dari perolehan suara sah nasional dalam pemilu anggota DPR.

Pada pemilu 2009, ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden berubah. Pasangan calon presiden dan wakil presiden dapat diajukan oleh partai politik atau gabungan partai yang memiliki sekurang-kurangnya 25 persen jumlah kursi di DPR atau 20 persen suara sah nasional dalam pemilu legislatif (UU 42/2008).

Sementara pada pemilu 2014, ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden tidak berubah, tetap pada ketentuan UU 42/2008 tentang pemilihan umum presiden dan wakil presiden. 

Namun, pada pemilu 2019 ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden kembali berubah. Pasangan calon presiden dan wakil presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20 persen dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25 persen suara sah secara nasional pada pemilu anggota DPR sebelumnya (UU 17/2017).

Pemilu 2004, 2009 dan 2014 pemilu presiden dan wakil presiden dilaksanakan secara berbeda dengan pemilu legislatif. Pemilu presiden dan wakil presiden dilaksanakan setelah pemilu legislatif.

Pemilu presiden dan wakil presiden dan pemilu legislatif dilaksanakan secara serentak pada pemilu 2019. Korelatif dengan putusan MK nomor 14/PUU-XI/2013, maka presidential threshold dengan sendirinya tidak berlaku. Karena tidak ada yang menjadi acuan pada pemilu legislatif sebelumnya dalam mengusulkan calon presiden dan wakil presiden.

Betulkah presidential threshold itu hadir untuk memperkuat sistem presidensil dan menyederhanakan partai politik?

Pertama: menyederhanakan partai politik. Dalam konstitusi, setiap orang mempunyai kedudukan yang sama dan kesempatan yang sama di hadapan hukum dan politik. 

Tidak boleh kebijakan hukum itu menguntungkan kelompok tertentu atau orang-orang tertentu di satu sisi dan merugikan kelompok tertentu atau orang-orang tertentu di sisi lain. Kebijakan hukum harus adil dan mendudukan setiap orang atau kelompok tertentu itu sama di hadapan hukum dan mempunyai kesempatan yang sama dalam politik.

Kebijakan hukum presidential threshold itu tidak mendudukan orang atau kelompok orang itu sama di hadapan hukum dan mempunyai kesempatan yang sama dalam politik. Kebijakan hukum presidential threshold hanya untuk partai-partai politik besar yang memenuhi syarat 20 persen kursi di DPR dan 25 persen suara sah nasional pada pemilu legislatif sebelumnya, yang bisa mengusulkan calon presiden dan wakil presiden.

Sementara partai-partai politik kecil yang tidak memenuhi ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden terpaksa harus "ngekor" pada partai-partai politik besar. Mau tidak mau, suka tidak suka, partai-partai politik kecil terpaksa harus berkoalisi dengan partai politik lain untuk memenuhi ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden. Di sini, partai-partai politik besar menjadi pemain tunggal dalam pencalonan presiden dan wakil.

Di sisi lain, partai-partai baru tidak bisa mencalonkan presiden dan wakil presiden. Sebab, partai politik baru belum memenuhi ambang batas pencalonan presiden dan wakil pada pemilu legislatif sebelumnya. 

Kenyataan politik ini harus diterima oleh partai politik baru sebagai konsekuensi dari kebijakan hukum presidential threshold yang "menguntungkan-merugikan", tidak adil, tidak sama di hadapan hukum, tidak mempunyai kesempatan yang sama dalam politik dan inkonstitusional.

Kedua: memperkuat sistem presidensil. Dalam sistem presidensil, eksekutif bukan bagian dari parlemen. Pemilihan presiden dan wakil presiden dan anggota legislatif dipilih dalam pemilu yang berbeda. Pemilihan presiden dan wakil presiden dipilih secara langsung oleh rakyat. Parlemen tidak bisa menjatuhkan presiden dan wakil presiden. 

Kehadiran presidential threshold ini telah mengacaukan sistem presidensil, yang dalam mengusulkan calon presiden dan wakil presiden tidak terkait dengan hasil pemilu legislatif sebelumnya, sebagaimana pengaturan dalam presidential threshold.