Sedikit bercerita soal sosok Ferdy Sambo yang sejak beberapa bulan yang lalu kian terdengar ditelinga dan sering kali membuat mata kita 'melek' layar membaca berita, entah itu sekedar lewat di beranda medsos atau betul-betul kita sering dibuat kepo akan perkembangan kasusnya.

Biasanya, seperti kasus-kasus yang telah lalu bagi warganet atau masyarakat secara keseluruhan menjadi tidak peduli soal kasus besar seperti yang kita bahas sekarang ini, setelah peristiwa berlalu cukup jauh terlebih lagi jika fase penyidikan berakhir demikian pula ketika kasus dan perkara telah mencapai titik finalisasi.

Bagi saya, titik finalisasi kasus dan perkara boleh dikatakan ada jika segala aspek mengenai kasus atau setidaknya hampir memenuhi unsur keakuratan dan proses sepenuhnya dari aktivitas sidik-menyidik telah usai dilaksanakan oleh pihak berwenang, itu berarti final dalam arti yang sempit. Akan tetapi dalam arti luas, ketika berbicara soal akar permasalahan dan dampak jangka panjang yang ditimbulkan dari kasus dan perkara tersebut.

Di media massa dan media online saat ini, berbincang banyak soal internal keluarga sambo di mana istri diisukan mengalami gejala gangguan psikis yang berat, juga tentang anak-anak sambo yang masa depannya menjadi objek empati banyak kalangan seperti misalnya kak Seto, dan tokoh-tokoh publik lainnya. Ini adalah dampak jangka panjang yang tentu dikhawatirkan ke depannya, tentu menjadi fokus untuk dikawal oleh banyak pihak yang ingin berbuat baik.

Rumah tangga dan karier sambo ibaratnya sebuah bangunan yang telah lama dan terlihat sangat baik dan sempurna dan tiba-tiba diledakkan dengan 'bom' yang berkekuatan dahsyat, seperti itu kira-kira pandangan masyarakat umum apalagi 'bangunan' sambo itu jika dibandingkan dengan kehidupan masyarakat pinggiran seperti kaum pengangguran, anak yatim, kaum dhuafa tentu jauh berbeda dan teramat sayang jika dihancurkan.

Dalam tulisan ini, saya bermaksud membahas mengenai akar permasalahan dari sisi internal diri sambo sendiri, yang sebenarnya kadang-kadang mirip dengan akar permasalahan diri pelaku kasus kekerasan yang juga bengis, bahkan lebih gila lagi kalau saya mengatakan bahwa akar permasalahan 'sambo' ini mirip dengan kita ini sebagai manusia. Dan saya yakin pasti banyak yang protes soal ini, semua ogah untuk disamakan dengan sambo, apalagi kaitannya dengan kasus dan kebengisan.

Langsung ke pembahasan akar permasalahan, sisi ego dalam diri manusia itu menyentuh sisi spiritual yang tidak terkontrol dalam situasi tertentu utamanya ketika merespon realitas yang rancu dan tidak sesuai ekspektasi dilingkungan sekitar, orang beragama mengaitkan ego itu sebagai bentuk syahwat yang harus dikendalikan dengan bertumpu pada pedoman-pedoman ilahiyah atau ketuhanan, misalnya, orang muslim cenderung melawan ego atas diri dengan membaca ta'awuds, yaitu memohon perlindungan dari sumber ego negatif yaitu iblis yang diyakininya.

Bagaimana iblis dapat dikatakan sebagai sumber ego yang berdampak negatif dalam pandangan agama islam? Hal tersebut dapat dikaitkan dengan argumentasi teks ayat-ayat al-Qur'an yang secara historikal mengutarakan konsep peristiwa tentang sosok iblis itu sendiri. 

Dalam QS Al-baqarah :30-46  pada intinya mengkonsep sosok iblis yang taat lalu kemudian tidak mampu melawan kekuatan ego yang telah lama tertanam dalam dirinya dibalik ketaatannya dalam masa yang lama, sedangkan ego wujud iblis ketika itu adalah keengganannya untuk mematuhi perintah Allah sang pencipta ketika diperintahkan untuk sujud di hadapan nabi Adam.

Prof. Dr Quraish Shihab dalam bukunya membumiķan Al-Quran (2010) menjelaskan bahwa ketika itu nabi Adam A.S diutus kebumi untuk menjadi khalifah dengan berdasar pengetahuan dan memiliki sifat khusus untuk membawa bayang-bayang surga ke bumi, akan tetapi sebelum itu proses dialog terjadi antara Allah, malaikat, dan juga iblis terkait penciptaan nabi Adam A.S, proses dialog tersebut memunculkan puncak ego salah satu diantara mereka yaitu iblis yang didasari kesombongan karena ia diciptakan dari api yang membara demikian pula ketaatannya dalam masa yang sangat lama, juga ilmunya yang luas. Hal tersebut menyebabkan murka Allah yang berdampak selamanya, yakni iblis masuk kekal ke dalam neraka.

Bisa kita saksikan kisah nyata yang menjadi pelajaran dari sosok iblis, betapa ego itu sangat berdampak cukup jauh dan selama-lamanya menjadi penyebab keburukan bagi diri yang tidak mampu untuk mengontrolnya. 

Bisa dipastikan sudut pandang moralitas 'sambo' tidak sekedar diukur dari kadar ego atau aspek kontrolitasnya, melainkan unsur realitas yang berada jauh diluar ekspektasi dan standar idealitas hati nurani juga berperan dalam peristiwa yang naas tersebut.

Seorang rohaniawan bernama Frans Magnis Suseno atau biasa akrab dipanggil Romo Frans pernah mengutarakan dalam sebuah pembahasan mengenai ego itu sendiri dimana dalam diri manusia ada sesuatu hal yang lebih dalam dan lebih sulit disentuh daripada etika itu sendiri, yaitu ego. 

Dimana ego atau super ego berperan penting dalam perkara moralitas. Akan tetapi diatas etika dan moralitas menurut Frans, ada suara hati yang menuntun untuk mengontrol tindakan antara yang baik dan yang buruk.

Lalu bagaimana dengan kita, Apakah kita sama dengan sosok 'sambo' tersebut? Tentu kita berbeda karena kita adalah entitas atas diri kita sendiri diantara sekelumit realitas yang carut-marut dalam proses kehidupan kita, meski kesamaan sifat dan kecenderungan ego dapat dikatakan memiliki asas yang sama, berkaitan dengan etika dan standar moralitas, namun berbeda dari kapasitas pengontrol ego dan kekuatan spiritual.

Kontrol ego dan kekuatan spiritual itulah yang membedakan diri kita dengan sosok-sosok bengis seperti 'sambo' dalam merespon realitas.

Kekuatan spiritual itu muncul dipengaruhi oleh keinginan kuat dari dalam diri dan membiasakan untuk lebih dekat dengan unsur-unsur ketuhanan, hati nurani, dan standar norma agama dan norma sosial.

Bagaimana kontrol ego dan kekuatan moralitas itu bekerja, ketika terjadi situasi di luar kendali yang 'memaksa' kita untuk sangat kecewa dan menggoda kita untuk berlaku di luar standar moralitas kewajaran dan melanggar norma agama dan norma sosial masyarakat. 

Anggaplah misalnya, jika benar dugaan bahwa terjadi perselingkuhan antara sosok  B.J dengan istri 'sambo' kemudian sambo geram dan berada di luar kendali standar moralitas kemanusiaan dengan melakukan kekerasan dan membunuh, tentu dasarnya adalah realitas yang tidak sesuai dengan standar moralitas dari dalam diri 'sambo', akan tetapi dampaknya adalah menimbulkan penyimpangan moralitas yang lebih parah lagi.

Diri kita bagaimana jika berada dalam situasi tersebut? Anggaplah misalnya ketika ada sesuatu hal yang berada di luar ekspektasi kita atau berada jauh dari standar moralitas diri kita, menyebabkan kita menjadi geram dan cenderung tergoda untuk berlaku 'jahat' oleh sosok sumber ego yaitu iblis dalam pandangan agama. Apakah kita sama seperti sambo?

Pada intinya, dari awal kehidupan manusia pembahasan moralitas masih menjadi fokus pengkajian yang tidak mencapai titik finalitas dari setiap peristiwa-peristiwa yang berdampak besar. Bahkan dalam fase kecanggihan teknologi dan kemajuan ilmu pengetahuan tidak mampu untuk mengesampingkan peran agama dan nilai-nilai spiritual masih sangat diperlukan untuk menuntun umat manusia kearah yang lebih baik.

Sumber Referensi :

Al-Quran

Quraish Shihab. Membumikan Al-Quran. (2010)

Siaran Youtube Circles Indonesia ; Frans Magnis Suseno : Suara Hati, Super Ego dan Rasionalitas.