Perdebatan antara filsafat, agama dan sains sudah berlangsung dalam rentang waktu yang cukup lama. Tetapi pada era Dawkins, Harris, Dennet, dan Hitchens (four horseman) yang secara terbuka dalam karya-karyanya menyoal logika religius yang banyak ditemukan di kredo agama dan postulat-postulat filsafat, perdebatan ini kembali muncul ke permukaan dengan wajah yang kian terang benderang.

Efek perdebatan ini, akhirnya sampai juga di Indonesia. ketika pandemi menerjang seluruh penduduk bumi, sebagian orang di Indonesia disibukkan dengan polemik antara sains versus agama dan filsafat. Sebuah polemik yang saat itu sangat produktif.

Masih dalam semangat yang sama, Pojok Inspirasi Ushuluddin (PIUSH) mengusung tema “Jiwa dalam Konteks Materialisme”. Muncul sebagai pemateri, adalah Dedy Ibmar, salah seorang mahasiswa pascasarjana di Ural Federal University, Rusia, dengan fokus program studi: filsafat.

Banyak hal yang dipaparkan Ibmar dalam presentasinya, termasuk para tokoh yang mungkin melahirkan konsep dan teori yang disinggung Ibmar. Tetapi di antara banyak pemaparan tersebut, ada beberapa hal yang menarik perhatian saya, sehingga mengarahkan saya untuk menulis catatan terhadapnya. Salah satunya ketika Ibmar menyinggung berbagai temuan sains dan neurosains serta kaitannya dengan materialisme.

Artikel ini setidaknya akan membahas tiga hal yang dianggap perlu diverifikasi lebih jauh. Tiga hal itu akan dibagi ke dalam tiga sub-bab, yaitu sebagai berikut:

Materialisme Bergantung Pada Fisika?

Salah satu pembahasan yang menarik bagi saya adalah pertanyaan yang diajukan Ibmar terkait apakah materialisme selamanya bergantung pada fisika? Jika tidak, selesai persoalan. Namun jika iya, lantas bagaimana jika fisika jatuh pada logika religius? Apakah materialisme akan tetap memilih menjadi kacung tanpa tapi?

Menjawab pertanyaan ini, yang katanya menjadi pertanyaan dalam tesis yang tengah disusunya, Ibmar memberikan dua opsi. Pertama, andai fisika jatuh ke dalam lubang logika religius, maka materialisme bisa menjadi perangkat yang mengkritik, atau kedua, materialisme bisa sepenuhnya melepas diri dari fisika: materialism without physic (istilah yang agak aneh, memang).

Dalam konteks ini, saya ingin menyebut bahwa secara kemungkinan, pengandaian Ibmar terhadap fisika yang akan jatuh pada logika religius buta, sejatinya cukup mustahil terjadi. Pasalnya begini. Fisika merupakan suatu cabang dari natural sciences yang dibangun dalam metodologi ilmiah. 

Temuan baru dalam fisika atau sains secara umum, akan melewati berbagai tantangan berupa review sebelum akhirnya mendapat afirmasi. Bahkan sebelum itu, metode eksperimen dalam sains termasuk di dalamnya fisika, memiliki metode yang sangat ketat, sehingga sangat mampu untuk menghalangi sains jatuh dalam logika religius buta.

Tetapi sebaliknya, materialisme dengan segala doktrin filsafatnya, yang justru sangat mungkin jatuh ke dalam lubang logika religius. Sebagai doktrin, metode yang digunakan dalam materialisme tentu diperuntukkan sebagai bangunan dari postulat atau doktrin tersebut. Secara sangat sederhana, kita bisa menyebut metodologi atau eksperimen yang ada dalam materialisme menjadi hamba dari doktrin atau postulat materialisme itu sendiri.

Pada titik ini, saya ingin mengutarakan jawaban terhadap pertanyaan Ibmar tadi. Apakah materialisme bergantung pada fisika? Jawabannya adalah: iya dan harus! Sebab hanya fisika yang secara metodologi dapat menghalangi dirinya dari kebenaran semu. Materialisme, tidak.

Sains dan Ketidaktahuannya

Lalu muncul pertanyaan turunannya: jika fisika memungkinkan kita mengetahui mengenai alam fisik lebih baik dari materialisme, maka apa pula guna cabang filsafat yang bernama materialisme ini?

Ibmar menjawab bahwa sains yang di dalamnya terdapat fisika, tidak mampu mengetahui segala macam hal. Dia menyebut entitas kesadaran sebagai misal. Sains hingga hari ini, menurutnya, belum mampu memberikan perbedaan tegas antara pikiran dan kesadaran sebagai sebuah entitas. Maka di sinilah ruang eksplor bagi materialisme atau filsafat secara umum.

Sekadar informasi, sains sangat mengafirmasi argumen yang menyebut bahwa sains tidak mengetahui seluruh pengetahuan di muka bumi ini. Masih banyak pertanyaan yang belum mampu dijawab oleh sains. Seperti, apa yang terjadi sebelum Big Bang? Tetapi ketidaktahuan ini tidak berarti bahwa sains sudah menyerah tanda tak mampu. Melainkan sains butuh waktu.

Sayangnya, seperti yang dikatakan Lukas Luwarso, kita kurang berminat dengan jawaban yang mewajibkan menunggu. Oleh karenanya, kita memilih instrumen yang memberikan jawaban secara lebih instan: filsafat dan agama.

Kembali kepada ketidakmampuan sains dalam menjawab berbagai soal, sejatinya hal ini sudah menjadi tantangan sains sejak lama. Dalam kehidupan zaman masyarakat pemburu/pengumpul, Homo Sapiens dan homo-homo yang lain tentu belum mengenal apa itu bakteri. Atau pada masyarakat abad pertengahan, mungkin belum mengenal apa penyebab wabah. Sehingga kesimpulan mereka, sains yang saat itu ada tetapi belum berkembang, dianggap tidak akan mampu untuk menjawab persoalan-persoalan pelik tersebut.

Tetapi yang terjadi hari ini?

Sains modern melahirkan berbagai teknologi serta banyak terobosan dalam dunia kesehatan. Bahkan tak hanya dalam dunia kesehatan, sains modern juga melahirkan temuan dan pengetahuan baru bagi umat manusia melalui cabang-cabang keilmuannya. Mulai dari fisika, kimia, atau biologi. Artikel ini tentu akan “lebih muatan” jika harus menyebutnya satu persatu. Jika Anda ingin contoh, lihat sekeliling, dan fokus saja pada barang elektronik yang meringankan pekerjaan Anda. Yap! Itulah produk sains modern.

Atau dalam contoh yang lebih mencengangkan, yaitu doktrin doktrin yang melihat kematian sebagai sebuah keniscayaan atau ketetapan Yang Maha Kuasa. Pikiran sejenis ini mulai dijungkirbalikkan oleh sains yang melihat kematian sebagai problem teknis-biologis sebagaimana mesin motor yang mati.

Sains saat ini sudah mulai mengembangkan bagaimana cara menaklukkan kematian. Memang belum berhasil, tetapi hal ini bukan berarti tidak akan pernah berhasil. Sehingga jangan heran apabila muncul beberapa lembaga yang menyediakan jasa penampungan mayat untuk dihidupkan ulang nanti setelah sains berhasil mengalahkan kematian. Hal ini dikenal dengan projek Gilgamesh.

Pembahasan dalam sub-bab ini sejatinya hanya ingin menunjukkan bahwa apa yang tidak diketahui oleh sains hari ini, belum tentu menjadi ketidaktahuan selamanya. Bagi sains, ketidaktahuan hari ini adalah misteri yang akan di ungkap pada suatu nanti. Lagipula, jika melihat ketidaktahuan sains sebagai sebuah kelemahan, maka apa kabar materialisme yang postulat-postulatnya berdiri di atas bangunan fakta empiris fisik hasil temuan sains?!

Filsafat Sebagai Isme, Masih Relevankah?

Di bagian akhir diskusi, Ibmar lagi-lagi menyebut bahwa kendati cakupan kajian filsafat semakin menyempit,  filsafat (salah satunya, materialisme) akan selalu mendapat ruang sebagai sebuah cabang keilmuan.

Jika Ibmar mendefinisikan filsafat sebagai ilmu tentang bagaimana berpikir benar, saya sepakat dengan argumennya. Sampai kapan pun filsafat akan terus dibutuhkan. Tetapi jika melihat filsafat sebagai isme (sebagaimana materialisme), atau filsafat sebagai produk sebagaimana Fahruddin Faiz sebut, agaknya cukup naif jika tidak mengafirmasi bahwa disiplin keilmuan ini harus bergantung pada temuan sains.

Bagaimana tidak, temuan-temuan sains yang saat ini kita nikmati manfaatnya tidak bisa lahir jika hanya melalui eksperimen pikiran sembari duduk di kursi belaka. Perlu eksperimen dan metodologi lain yang menopangnya. Nahasnya, hal itu hanya ada dalam sains. Sehingga bagi saya, materialisme (sebagai contoh filsafat sebagai isme) tidak lagi relevan di kehidupan dewasa ini tanpa ditopang fisika, kimia, biologi, serta turunan-turunannya.

Maka di tengah kajian PIUSH yang dilangsungkan secara online pada Minggu (17/09/2022) itu, saya bertanya kepada Ibmar: jika kita sudah punya kimia, punya fisika, punya biologi yang dapat menjelaskan berbagai fenomena dengan sebaik mungkin kepada kita, lalu untuk apa kita kembali mengetengahkan materialisme (lebih-lebih Ibmar yang menjadikannya kajian tesis) kecuali sebagai sejarah ideologi atau jejak pemikiran umat manusia?

Ibmar memberikan jawaban tak terduga. Dia bilang bahwa alasan dari upayanya untuk mengetengahkan kembali materialisme tentu saja untuk memenuhi persyaratannya menjadi seorang filsuf.

Pada titik ini, saya tak mampu lagi berdebat. Kendati kehadiran filsuf bagi saya hanya menambah ragam kebingungan dalam kehidupan, tetapi selera ya tetap selera. Keinginan ya tetap keinginan. Ia adalah urusan kepala masing-masing. Saya hanya berharap, jika Ibmar sudah bergelar filsuf, semoga ia tidak menjadi filsuf yang menolak berkhidmat pada sains.

Sekian. (Bung)