Pemahaman dan pengamalan keagamaan di Indonesia sangat beragam, bahkan terbilang banyak. Banyak aliran dan sekterian (firqah) dalam mewarnai dinamika keberagamaan di negara yang mayoritas beragama Islam ini. Begitupun Budaya-budaya lokal maupun munculnya budaya luar yang turut ikut andil dalam mempengaruhi pemahaman keagamaan yang diadopsi dalam masyarakat.
Banyaknya pemahaman dan aliran di dalam Islam itu tidak terlepas dari faktor internal itu sendiri. Tiga puluh tahun semenjak wafatnya Nabi besar Muhammad saw, terciptalah yang namanya perpecahan. Masing-masing saling mengklaim dan masing-masing saling menganggap yang paling benar sambil menyalahkan sebagian.
Bahkan diikuti dengan sikap tidak menghargai liyan, parahnya disertai dengan perang sesama muslim yang tak berkesudahan. Baik perang fisik maupun perang pemikiran (Ghawzul Fikr).
Ini tidak terlepas dari hadis tentang perpecahan umat Islam. Hadis nabi yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Kaum Yahudi terpecah menjadi tujuh puluh satu atau tujuh puluh dua golongan.
Sedangkan kaum Nasrani seperti itu juga. Dan umatku terpecah menjadi tujuh puluh tiga golongan." Dan dalam bab hadits tersebut juga diriwayatkan dari Sa'd dan Abdullah bin Amru serta Auf bin Malik. Abu Isa berkata; 'Hadits Abu Hurairah adalah hadits hasan shahih."
Dari hadis tersebut, sebagian ulama memahaminya secara tersurat, bahwa umat Islam memang benar-benar akan terpecah menjadi 73 golongan/sekte (firqoh). Sebagian lainnya memahaminya secara tersirat bahwa hadis itu merupakan peringatan keras agar umat Islam tidak terpecah belah seperti Yahudi maupun Nasrani.
Melihat hal ini, Nabi saw mewanti-wanti apabila terjadi demikian (perpecahan umat) maka yang harus dilakukan adalah tetap berada di barisan "jama'ah" atau berpegang teguh kepada sunnah nabi dan para sahabat nabi. Yang kemudian kita kenal dengan "ahlussunah wal jama'ah". Jadi, sunnah nabi/yang dilakukan oleh nabi merupakan pegangan ahlusunnah.
Setelah terjadinya perpecahan umat, dengan munculnya sekte Khawarij maupun Syiah, sikap golongan ahlussunah dalam menghadapi gerakan sempalan tersebut, kurang-lebih ada 5 ciri.
1. Memandang Islam sebagai agama yang sudah sempurna setelah wafatnya nabi saw, dengan dalih dalil QS Al-Maidah ayat 3.
2. Memandang agama dengan dua dasar sumber mutlak yakni Al-Qur'an dan As-sunah. Yang diambil dari hadis nabi saw "Aku telah tinggalkan kamu dua perkara, tidak akan tersesat selama-lamanya selama kamu masih berpegang teguh kepada keduanya, yakni Al-Qur'an dan Sunnah Rasulullah". Yang ditanggapi oleh ahlussunah dengan sikap berpegang teguh kepadanya dalam kondisi atau situasi apapun. Yang dalam artian memahami agama tidak sepotong-sepotong, harus secara utuh.
3. Namun, ahlussunah tidak hanya menggunakan dua sumber baku tersebut, hasil pemikiran dari para ulama (ahlu) dalam memahami dan menanggapi segala dinamika arus perkembangan zaman juga dijadikan sebagai bahan pertimbangan dalam memutuskan sesuatu (ijtihad).
Namun, ijtihad ini bersifat sementara, sesuai kondisi (relatif), dan beralasan kuat (dzhonni), yang dalam artian bukan merupakan kebenaran yang mutlak seperti Al-Qur'an dan as-sunah. Karena Al-Qur'an hanya Allah swt. yang mampu memahami dengan secara utuh, maka umat muslim hanya mampu memahami sebagian dengan latar belakang yang mengikuti.
Oleh karenanya, hasil ijtihad itu hanya bersifat sementara sampai ada ada landasan kuat setelahnya. Maka dari itu dari beberapa kitab, termasuk kitab kuning, selalu ditutup dengan ucapan "wallahu a'lam bisshowab".
4. Pemahaman yang mengharuskan adanya otoritas kerohanian, seperti ke-pendeta-an, imamah, waliyullah, dan lain-lain sebagainya dianggap sebagai sesuatu hal yang menyimpang karena diibaratkan dengan berhala-berhala baru.
Menurut ahlussunah, dalam memahami realitas zaman, memang Islam sangat menganjurkan pemikiran rasional dalam menyikapi segala hal, maka dari itu, disinilah fungsi para alim (ulama) sebagai pihak yang memberikan pencerahan, namun tentunya yang memiliki keilmuan yang luas dan mendalam. Serta dibarengi sikap tawadu, tidak memutlakan pendapatnya dan terbuka dengan pendapat lain.
5. Sikap ahlusunah sangat terbuka dalam mendakwahkan ajaran agama, tidak bersikap eksklusif, sangat toleran, dan tidak mengafirkan sesama.
Fakta sejarah tidak bisa dipungkiri bahwa setelah wafatnya nabi saw, sekte-sekte kemudian menjadi nyata adanya. Khawarij dan Syi'ah ada dua sekte pendahulu dan besar yang kemudian diikuti oleh subsekte lainnya dalam perkembangannya.
Yang kemudian menjadi pokok persoalan adalah pendefinisian terhadap gerakan-gerakan sekte/sempalan tersebut. Di dalam umat Islam, tidak dikenal yang namanya otoritas kelembagaan, yang membedakan antara yang satu dengan lainnya. Tidak ada pembedaan antara agama resmi dengan aliran tertentu.
Beda halnya bagi lembaga gerejani yang membedakan antara gereja resmi dan kelompok sekte (yang di luar gereja resmi). Yang dikenal dikalangan umat Islam adalah "kebhinekaan tinggal ika" atau keberagaman dalam keberagamaan. Inilah yang menjadi watak atau karakter umat Muslim seharusnya, yang berbeda paham, berbeda aliran, berbeda bangsa, dan suku tetapi masih dalam koridor satu Islam.
Ini terjadi karena memang pada dasarnya kita diberi kebebasan untuk berbeda pendapat selama tidak keluar dari esensi ajaran Islam itu sendiri. Ini sesuai hadis nabi saw, "Perbedaan pendapat (khilaf) yang terjadi pada umat ku adalah rahmat. Apabila berijtihad kemudian salah akan mendapat satu pahala dan pabila benar mendapat dua pahala".
Hal ini yang kemudian mendorong umat Islam mengupayakan ijtihad ilmiah (penalaran), karena dengan inilah kemudian membuka cakrawala keilmuan untuk menggali setiap jengkal nilai-nilai dari ajaran Islam itu sendiri, seperti toleransi dikalangan umat Islam, dan tidak memutlak-mutlakan pendapat.
Begitupun dengan persoalan teologis yang terutama menyangkut soal aqidah atau keimanan/keyakinan. Iman itu urusan hati, yang diakukan lewat syahadat. Jadi ketika seorang sudah bersyahadat, maka tidak pengucilan dirinya di dalam agama. Maka dari itu kita kenal yang namanya "persaudaraan Islam", yang menekankan pentingnya bersatu dalam satu keyakinan yakni Allah swt yang maha esa. Tiada Tuhan selain Allah.
Namun, persaudaraan Islam itu kemudian tergores oleh sikap-sikap segelintir orang saja, yang menjadikan permasalahan yang kecil menjadi besar, sehingga membentuk sebuah pemahaman atau aliran yang melawan dari apa yang sudah ada. Yang kemudian disebut dengan sekte/sempalan yang sudah bercabang-cabang sampai hari ini, yang membuat pusing umat Islam sendiri.
Penutup dari tulisan ini, bahwa sebenarnya yang mempengaruhi perpecahan umat muslim itu sendiri adalah lebih dominan faktor internalnya. Umat Islam terlalu sibuk mencari kebenaran yang sebenarnya sudah ada di hati, tidak perlu dicari lagi. Terlalu mudah menghakimi yang sebenarnya tidak pernah ada masalah yang sehingga harus dihakimi (dibuat-buat).
Yang penting terutama pada hari ini dan masa yang akan datang, setiap jengkal perbedaan itu adalah rahmat. Sekali mempermasalahkan perbedaan, berarti kita menjauhi rahmat yang diberikan oleh Allah swt. itu. Bukankah Allah swt. dalam Al-Qur'an telah mengatakan bahwa perbedaan adalah sebuah keniscayaan, andaikan Allah berkehendak menjadikan satu, kun fayakun apapun bisa terjadi. Jadi kesimpulannya adalah kepada diri kita sendiri, bagaimana menyikapi perbedaan yang diberikan itu.
Wallahu a'lam bisshowab.