Ani Hasibuan (AH) dipanggil pihak kepolisian beberapa hari yang lalu. Ia dipanggil sebagai saksi atas dugaan penyebaran informasi mengandung kebencian terkait meninggalnya ratusan KPPS.
Seperti yang diketahui bersama, jumlah KPPS yang meninggal dunia dan yang masih dirawat amat besar. Kita bersepakat ini di luar kelaziman. Tidak pernah terjadi sebelumnya.
Beragam kecurigaan dan asumsi telah muncul dua minggu terakhir. Media massa cetak dan elektronik terus memproduksi perdebatan penyebab peristiwa ini. Medsos tak henti-hentinya menjadi arena baku hantam para politisi. Konsentrasi publik tersedot ke dalam pusaran perdebatan tersebut.
Dalam situasi demikian, maka wajar bila pemanggilan AH oleh pihak kepolisian menghadirkan turbulensi dunia maya. Banyak netizen menyayangkan pemanggilan itu. Bahkan beberapa di antaranya menyebut ini sebagai pembungkaman kebebasan berpendapat.
Terlebih beberapa hari sebelumnya pemerintah berencana membentuk tim pemantau. Sebuah tim, yang bagi publik, berhadap-hadapan dengan hak kebebasan berpendapat.
Sedangkan yang lain beda lagi. Mereka mewajarkan pemanggilan itu mengingat sosok AH yang kontroversial. Di satu sisi, rekam digital menunjukkan bahwa AH pro salah satu paslon Presiden. Sedangkan di sisi lain, AH mendorong penyelidikan kasus kematian KPPS dengan statusnya yang netral: sebagai dokter.
Bagi kelompok ini, langkah AH adalah bias. Kecurigaan adanya agenda tersembunyi di balik langkah AH sudah semestinya muncul. Apalagi sebuah video menunjukkan AH menghadiri pertemuan dengan salah seorang politisi oposisi beredar luas di YouTube.
Pertanyaannya kemudian, bagaimana kita menyikapi peristiwa tersebut? Bagaimana mestinya menempatkan diri di tengah dua pusaran perdebatan ini?
Prinsip kita dalam melihat peristiwa tersebut harus jelas. Mendukung kebebasan menyatakan pendapat, sekaligus melawan penyebaran informasi bohong (hoaks). Setiap orang punya kebebasan mengeluarkan pemikiran. Tapi itu wajib berdasar pada kebenaran (fakta). Bukan kebohongan atau manipulasi. Bukan pula untuk menimbulkan keonaran.
Di sinilah sebagian kita keliru dalam merespon pemanggilan AH. AH dipanggil bukan karena pernyataannya di media massa atau TV, melainkan sebagai saksi adanya artikel yang berjudul dr Ani Hasibuan SpS: Pembantaian Pemilu, Gugurnya 573 KPPS Ditemukan Senyawa Kimia Pemusnah Massal yang dirilis salah satu "media" online.
Artikel itu "problematis" memang. Pertama, menempatkan judul provokatif dan tidak jelas. Kedua, ditulis tanpa memenuhi kaidah jurnalistik. Cenderung berdasarkan asumsi dan informasi gelap ketimbang fakta sahih. Ketiga, dan ini yang terpenting, ada usaha untuk menyesatkan kesimpulan pembaca.
Ide paragraf dan keterkaitannya dengan paragraf lain amburadul. Jika tak cermat, kesimpulan yang menakutkan akan hinggap di pikiran. Inilah pengalaman yang saya tangkap dari artikel itu.
Alasan-alasan tersebut yang membuat tepat bagi pihak kepolisian untuk menyelidikinya lebih lanjut. Caranya adalah tentu dengan memanggil AH sebagai saksi. Karena memang tokoh utama yang "dikutip" oleh artikel itu adalah AH.
Jadi jangan buru-buru dulu mengklaim bahwa pemanggilan AH adalah wujud pembungkaman kebebasan berbicara. Tidak begitu. Justru ini adalah langkah memerangi pembuatan dan penyebaran hoaks. Pihak kepolisian berupaya agar publik tidak disesatkan oleh berita tak bertuan.
Artinya, pemanggilan AH sebagai saksi sejalan dengan salah satu prinsip kita di atas, memerangi berita bohong. Ini hal pertama yang perlu digarisbawahi.
Namun demikian, hendaknya pihak kepolisian juga jeli. Apakah benar AH mengeluarkan pernyataan yang memicu timbulnya keonaran? Misalnya, KPPS meninggal akibat racun.
Menurut saya, betul bahwa artikel itu memuat informasi tersebut. Tapi selain sumbernya yang tak jelas, pun hal itu bukan berasal dari AH. Artikel itu hanya merangkai cerita sedemikian rupa sehingga "meninggalnya KPPS akibat racun", seolah-olah ada kaitannya dengan pernyataan AH di berbagai media dan TV. Padahal bukan.
Jadi dari mana sumbernya? Inilah yang gelap. Tak tahu sumbernya dari mana. Kutipan yang digunakan artikel itu hanyalah berupa, kurang lebih, "informasi yang beredar di dunia maya".
Maka dengan begitu, pada kasus ini, AH justru adalah korban. Pernyataan-pernyataannya dibungkus dan digunakan untuk tujuan politik tertentu. Dan tidak bisa dipastikan apa tujuan akhir dari artikel yang dimaksud.
Oleh sebab itu, pihak yang pantas untuk dipanggil kepolisian setelah AH adalah si penulis berita. Penting untuk menyelidiki langsung konten artikel kepada si penulis. Misalnya, dari mana sumber informasi yang ditulis; bagaimana metodologi yang digunakan sumber rujukan; siapa pihak yang mengumpulkan dan membuat informasi tersebut; hal-hal krusial lain dapat muncul selama proses penyelidikan.
Jadi, mari kita dudukkan persoalan ini dengan tepat. Pemanggilan AH adalah upaya memerangi hoaks. Ini bukanlah upaya pemerintah pembungkaman hak berpendapat.
Tetapi pihak kepolisian hendaknya juga jeli dengan menjadikan ini langkah awal penyelidikan persoalan sebenarnya. AH adalah korban, sehingga perlu diklarifikasi dan diperjelas sumber informasi yang digunakan oleh artikel yang dimaksud. Ini semua agar publik terlatih untuk mengutarakan pendapat berdasar fakta.
Selebihnya, tak ada yang perlu dikhawatirkan. Kita masih memiliki kebebasan dalam menyatakan pendapat. Asal hal itu berdasar pada fakta dan kebenaran. Bukan pula ditujukan untuk menciptakan keonaran. Karena hal ini dijamin dan diatur oleh konstitusi.