Salah seorang punggawa Islam (Imam Syafii) pernah berkata, ilmu itu laksana buruan, sedang menulis laksana ikatan (tali) yang berguna untuk mengikat buruan (ilmu). Lantas apakah benar dengan seutas tali kita benar-benar mampu mengikat buruan?
Bukankah ikatan (simpul) yang hendak digunakan tanpa dibekali oleh ilmu dapat berujung lepasnya buruan atau menciderai, bahkan membunuh buruan? dan mempertahankannya sama saja dengan mengikat kebodohan?
Menyoal menulis tidak dapat dipisahkan dengan kemampuan bahasa, bahasa dibedakan menjadi dua di dalam optik Goenawan Mohamad. Pertama, bahasa sebagai komunikasi yang berarti pengaplikasiannya terikat dengan konvensi atau aturan.
Kedua, bahasa sebagai ekspresi berarti pengaplikasiannya mengikuti apa yang ada di dalam bahasa tersebut. Acapkali padanan bahasa yang ciamik dalam berkomunikasi melalui tulisan sama halnya dengan resep keluarga yang mencirikan keunikan setiap menu santapannya.
“Hidangan” boleh sama, namun resep menjadi keunikan juru masak terhadap masakannya― “topik” boleh saja sama, tetapi gubahan menjadikan keunikan penulis terhadap karya tulisnya.
Tulisan ini tidak melahirkan jawaban, hanya uraian keresahan dan undangan berpikir kepada pembacanya.
Pelajaran, Tantangan dan Paradoks dalam Menulis
Secara garis besar, tahapan menulis akan dimulai dari substansi (ide atau gagasan sebuah tulisan) dan prosedural (teknis yang menjadi acuan dalam menuangkan gagasan).
Menyoal ide lebih lanjut dapat didefinisikan sebagai sekumpulan informasi yang ditangkap oleh panca indera baik dengan melihat, mendengar dan lain sebagainya terhadap suatu objek yang kemudian diabstraksikan.
Masih teringat jelas senior saya memberikan wejangannya di meja kopi kala itu. Beliau berkata “menulis mengajarkan pembelajar hukum untuk dapat berpikir secara terstruktur dan sistematis, menulis menjadi alternatif belajar yang efektif agar dapat berpikir runtut dan memperkuat konsep argumentasi”.
Ternyata tidak melulu yang dikatakan sebagai alternatif merupakan perjalanan yang mudah untuk dilalui, menulis itu berat, sebab ia adalah perbuatan baik yang menghasilkan manfaat.
Sebagaimana nasihat KH. Sahal Mahfudh menyoal manusia bermanfaat “menjadi baik itu mudah, dengan hanya diam maka yang tampak adalah kebaikan. Yang sulit adalah menjadi bermanfaat, karena itu butuh perjuangan”.
Karena bermanfaat merupakan suatu perjuangan, tentu terdapat banyak tantangan dalam implementasinya. Seperti disrupsi teknologi saat ini yang menjelma bak pedang berbilah dua, disatu sisi ia mendatangkan manfaat bagi peradaban, namun di sisi lain juga membawa kemudaratan bagi peradaban.
Olehnya, informasi dan ilmu pengetahuan dapat dengan mudah diakses dan di sebarkan seantero dunia melalui internet, dengan atau tanpa dengan filterisasi yang memadai.
Banyaknya media saat ini, mulai dari media cetak hingga online, tidak semua memiliki redaktur yang memiliki kompetensi untuk mengukur substansi tulisan kolumnisnya.
Kerapkali media memberikan disclaimer “tulisan ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis” sebab sering dijumpai redaktur hanya mengerti perihal teknis dan selera media di tempat ia bekerja
Dewasa ini, teramat prihatin memperhatikan realita atas banyaknya kekeliruan pembelajar hukum, seperti keliru menggunakan istilah (terms) dan keliru dalam menerapkan prinsip-prinsip hukum itu sendiri. Padahal istilah dalam ilmu hukum menjadi hal yang teramat penting dalam mempelajari ilmu hukum lebih lanjut.
Ad recte docendum oportret primum inquirere nomina, quia rerum cognitio a nominibus rerum dependet (agar dapat memahami sesuatu, perlu diketahui dahulu namanya agar mendapatkan pengetahuan yang benar) (Hiariej, 2016).
Bagaimana bisa menganalisa kasus maupun isu hukum dengan cermat dan tepat agar dapat bermanfaat bagi masyarakat? jika sedari awal penggunaan istilah saja tidak menguasai penempatan dan penggunaannya. Terlebih memberikan pemahaman lebih lanjut mengenai prinsip-prinsip yang digunakan.
Lahirnya prinsip-prinsip dalam ilmu hukum melewati perdebatan yang panjang dengan penalaran hukum (ratio legis) dan dasar ontologis sehingga diterima sebagai bagian dari khazanah keilmuan.
Tipologi kasus dan isu hukum sangatlah ragam, untuk itu dibutuhkan prinsip sebagai instrumen yang tepat dalam menjawabnya. Analisa tanpa menggunakan instrumen yang tepat akan melahirkan kekeliruan pada saat penarikan konklusi, dan penyesatan ilmu hukum bagi masyarakat luas.
Variatif sekali kekeliruan yang kerap terjadi. Seperti istilah kriminalisasi yang keliru digunakan untuk memperkarakan seseorang.
Padahal istilah tersebut digunakan dalam proses politik hukum atau legal policy (kebijakan hukum). Kriminalisasi adalah proses pembentukan suatu ketentuan yang bukan peristiwa yang dilarang atau tidak diwajibkan menjadi dilarang atau wajib dilakukan.
Perkembangan bahasa yang sangat masif di era saat ini berada di luar konteks ketika telah menyentuh keilmuan tertentu, sebab bahasa dalam keilmuan tunduk terhadap keilmuan itu sendiri.
Sebagaimana Goenawan Mohamad di atas, bahasa dalam penggunaannya sebagai komunikasi tunduk terhadap konvensi atau aturan. Karena istilah yang digunakan merupakan alat untuk menyampaikan pengetahuan atas keilmuan tertentu maka ia tidak boleh digunakan secara serampangan.
Selanjutnya, asas audi et alteram partem (dalam persidangan kedua belah pihak haruslah mendapat kesempatan yang sama untuk didengarkan).
sering kali asas ini digunakan pembelajar hukum menyoal keadilan restoratif (restorative justice [RJ]) dalam hukum pidana yang dituangkan ke dalam tulisannya.
Terdapat dua kekeliruan dalam penerapannya. Pertama, asas tersebut merupakan asas dalam hukum perdata, bukan hukum pidana. Kedua, asas tersebut digunakan dalam persidangan, sedangkan penyelesaian RJ di luar sistem peradilan pidana dengan melibatkan pelaku, korban dan masyarakat.
Kemudian, Voosrtelling theory (teori pengetahuan) membuktikan kesengajaan (dolus) dalam bentuk kesalahan yang dilakukan oleh pelaku tindak pidana.
Salah seorang kolega pernah menggunakan teori ini untuk mengidentifikasi kekeliruan korban tindak pidana dalam membuktikan kesalahannya. Dan lagi-lagi ini merupakan kesesatan fatal terhadap ilmu hukum yang dipublikasikan oleh media-media baik cetak maupun online.
Kerap kali saya merenungi ketika tulisan yang seharusnya membawa kemanfaatan bagi orang lain justru memberikan kesesatan.
Apakah hanya demi kepuasan di publikasinya sebuah tulisan lantas kita melakukan cocoklogi secara membabi buta? Atau sedari awal perbuatan itu dilakukan karena mereka merupakan korban dari kesesatan tulisan sebelumnya?
Ataukah mereka teramat visioner sehingga memungkinkan suatu saat bisa saja penggunaan istilah dan prinsip tersebut diberlakukan sebagaimana tulisan mereka?
Teramat banyak alasan untuk mendebat dan membenarkan hal tersebut. Yang jelas, dapat dipetik satu hal, bahwa budaya menulis tidak lagi dapat dilihat sebagaimana perkataan Imam Syafii secara absolute, menulis memiliki wajah lain yakni merantai atau melenggangkan kebodohan.