Kementerian Perhubungan memastikan kebijakan Zero ODOL (Over Dimension dan Over Load) akan mulai diberlakukan secara penuh pada 1 Januari 2023. Kebijakan yang sempat ditunda hingga lima kali sejak pertama kali diluncurkan pada tahun 2017 ini akan menghentikan secara total operasional angkutan yang melebihi dimensi dan muatan. 

Kebijakan ini dilatarbelakangi oleh anggapan bahwa keberadaan angkutan tersebut menimbulkan berbagai dampak buruk serta merugikan pemerintah dan masyarakat.

Efek Positif Zero ODOL

Dampak negatif dari angkutan ODOL sangatlah bervariasi. Dalam sektor safety, angkutan ODOL adalah salah satu penyebab terbesar terjadinya kecelakaan lalu lintas. Menurut data pengawasan angkutan logistik Kemenhub, hingga November 2019 sudah tercatat ada 39% angkutan dari total 2.073.698 kendaraan yang melanggar aturan.

Keberadaan angkutan ODOL ini juga menyebabkan kemacetan di jalan tol dan non-tol mengingat truk yang berjalan lambat dikarenakan jumlah muatannya. Selain itu, angkutan ODOL juga dinilai sebagai salah satu penyebab polusi udara berlebih.

Anggaran pemerintahan pusat dan daerah juga mengalami dampak buruk dari angkutan ODOL dikarenakan banyaknya infrastruktur jalan, jembatan, serta pelabuhan yang rusak dan memerlukan perbaikan dan perawatan akibat kerap dilewati angkutan jenis ini.

Direktur Prasarana Transportasi Jalan Kemenhub, M Popik Montanasyah, mengatakan bahwa jumlah anggaran yang bisa dihemat bisa mencapai Rp 43 triliun per tahun. Popik juga menambahkan bawa keberadaan angkutan ODOL mengurangi daya saing internasional Indonesia karena angkutan tersebut tidak bisa melewati Pos Lintas Batas Negara (PLBN).

Dalam jangka panjang, kebijakan Zero ODOL ini sebenarnya memiliki dampak positif bagi pelaku industri itu sendiri. Kebijakan ini akan membantu perusahaan-perusahaan terkait untuk menekan pengeluaran operasional, terutama ongkos perbaikan kendaraan, mengingat kerusakan komponen kendaraan adalah salah satu ‘penyakit’ dari angkutan dengan dimensi dan muatan lebih.

Umur kendaraan juga dinilai akan menjadi lebih awet apabila mematuhi aturan dan persyaratan yang ada. Pelaku industri juga akan diuntungkan dalam segi operasional mengingat angkutan ODOL membutuhkan BBM yang lebih banyak.

Pergerakan ekonomi yang berkelanjutan di mana ada standarisasi angkutan yang jelas serta tidak melupakan pentingnya keamanan dan kesejahteraan lingkungan dirasa lebih bisa dicapai dengan adanya kebijakan Zero ODOL.

Suara-Suara Kontra

Menurut Surat Kementerian Perindustrian Nomor 872/M-IND/12/2019 perihal Kebijakan Zero ODOL tertanggal 31 Desember 2019, Menteri Perindustrian menginstruksikan penundaan kebijakan Zero ODOL 2021 untuk ditunda ke tahun 2023-2025 dengan harapan bahwa perusahaan-perusahaan terkait bisa mempersiapkan dan melakukan adjustment untuk ini. Awal 2020, Menhub menekan penundaan penerapan kebijakan Zero ODOL dengan alasan tambahan yakni situasi pandemi dan ekonomi nasional.

Namun, masih ada beberapa suara kontra yang disuarakan baik oleh yang berkecimpung di industri terkait maupun masyarakat umum.

Beberapa organisasi meminta pemerintah agar kebijakan Zero ODOL 2023 ini untuk diundur hingga 2025 dengan alasan utama bahwa kebijakan ini akan memberatkan dunia industri yang baru saja pulih dari hantaman pandemi Covid-19. Kebijakan ini juga dinilai akan semakin memperlambat upaya pemulihan total industri-industri tersebut.

Alasan ini sangatlah rasional, berbagai macam industri membutuhkan beberapa waktu untuk kembali mencapai tingkat operasional dan finansial pra-pandemi. Apabila telah mencapai tingkat tersebut, bisa dikatakan bahwa pihak industri memiliki kapabilitas yang lebih untuk menganggarkan berbagai perubahan demi mensukseskan kebijakan Zero ODOL ini.

Kebijakan ini juga jelas akan menyebabkan kenaikan biaya operasional industri karena akan membutuhkan biaya logistik yang lebih besar dari biasanya. Dengan lebih sedikit jumlah barang yang bisa diangkut tiap-tiap kendaraan, berbagai macam industri akan membutuhkan waktu lebih untuk loading dan unloading barang.

Industri yang sangat bergantung pada moda transportasi darat adalah yang paling merasakan dampaknya. Hingga saat ini, transportasi darat (jalan) mendominasi aktivitas logistik dengan 91%, ketidakseimbangan ini pula lah yang dianggap menyebabkan biaya logistik cenderung tinggi serta keberadaan angkutan ODOL itu sendiri.

Kenaikan biaya operasional dan kebutuhan hidup yang semakin tinggi namun tidak dibarengi dengan biaya ongkos pengiriman menyebabkan beberapa sopir truk di berbagai kota untuk melakukan protes terhadap kebijakan Zero ODOL ini. Menurutnya, kondisi yang ada lah yang membuat mereka terpaksa untuk menggunakan angkutan ODOL demi menekan biaya operasional.

Subsidi dan Regulasi

Berbagai macam bentuk sosialisasi sudah dilakukan pemerintah, termasuk pelaksanaan Zero ODOL di beberapa daerah tertentu seperti Tol Jakarta-Bandung serta beberapa pelabuhan. Direktorat Jenderal Perhubungan Darat juga secara bertahap telah memberlakukan toleransi kelebihan muatan yang tiap tahun angkanya semakin dikurangi, sehingga pelaku industri bisa mulai terbiasa dengan kebijakan ini dan Zero ODOL di awal tahun 2023 bisa tercapai.

Untuk tahun 2022, kendaraan bermuatan barang penting memiliki toleransi muatan 10% dan kendaraan bermuatan bahan pokok dengan 15%, muatan yang melebihi angka tersebut akan ditilang dan diproses untuk melakukan transfer muatan atau dilarang untuk melanjutkan perjalanan. Sosialiasi ke pelaku industri terkait dalam bentuk pembinaan dan pengarahan harus selalu digencarkan sehingga kebijakan ini bisa diterapkan dengan maksimal.

Berdasarkan data dari Direktorat Jenderal Perhubungan Darat Kemenhub, presentase angkutan ODOL mengalami penurunan yang cukup drastis dari 40.3% di tahun 2019 hingga mencapai 16.8% di bulan September 2021. 

Angka pelanggaran sempat mengalami sedikit kenaikan di tahun 2020 dengan 42.9%. Hal ini bisa mengindikasikan bahwa semenjak tahun 2020, pelaku industri semakin sadar untuk mematuhi regulasi terkait mengenai muatan dan dimensi angkutan. 

Data kecelakaan Tabrak Depan Belakang juga terpantau mengalami penurunan dari 367 di tahun 2019 ke 202 di tahun 2021.

Namun, tulisan ini berpendapat bahwa kesiapan industri untuk melaksanakan kebijakan ini masih belum optimal mengingat utilisasi industri sempat merasakan penurunan masif akibat dampak pandemi Covid-19. 

Maka, ada beberapa poin penting yang perlu dipertimbangkan juga oleh pemerintah agar semua aktor dapat mensukseskan kebijakan baru ini.

Pemberian subsidi ke pelaku usaha dirasa sebagai salah satu poin dan gestur positif yang bisa dilakukan oleh pemangku kebijakan karena peremajaan angkutan serta berbagai macam pembaruan lain demi menaati kebijakan baru ini membutuhkan dana yang tidak sedikit. 

Meski sudah digaungkan sejak 2017 dan sudah seharusnya industri mempersiapkan diri, pandemi Covid-19 kemarin membuat ekonomi industri nasional terpuruk dan tidak bisa beroperasi secara maksimal.

Dunia industri mengeluarkan segala usaha untuk bertahan di situasi pandemi, berbagai macam persiapan yang ada untuk Zero ODOL pun harus ditunda. Seperti sudah dibahas sebelumnya, industri perlu waktu untuk mencapai tingkat operasional normal pra-pandemi dan siap untuk melakukan berbagai perubahan.

Lebih lanjut, kebijakan Zero ODOL ini jelas akan mempengaruhi biaya pengiriman yang mana pada akhirnya juga akan berdampak pada harga barang di pasaran. Kenaikan ini akan melemahkan daya saing industri. Padahal, biaya logistik Indonesia sudah menjadi yang tertinggi di Asia Tenggara, yakni sebesar 24% dari Produk Domestik Bruto (PDB).

Tidak ratanya pembangunan sehingga konektivitas antara satu lokasi dengan lainnya belum bisa terbangun secara maksimal adalah salah satu penyebab hal ini. Dengan itu, perlu adanya pembuatan regulasi agar kebijakan Zero ODOL ini tidak menyebabkan kenaikan harga barang yang masif, sehingga dampak yang dirasakan masyarakat umum bisa sedikit ditekan.

Harapannya, pelaku industri dan pemangku kebijakan bisa bersinergi untuk mensukseskan kebijakan Zero ODOL ini dan memastikan distribusi logistik tetap berjalan dengan baik tanpa adanya ancaman safety serta kerugian infrastruktur.