Mindset masyarakat terkait tabungan pelan-pelan tergerus revolusi teknologi. Konsep saving society pelan-pelan bergeser menuju investment society. Perkembangan teknologi menghadirkan kemudahan akses informasi. Karena kemudahan akses inilah masyarakat mulai sadar pentingnya meredefinisi ulang konsep "menabung".

Masyarakat makin melek literasi keuangannya sehingga sadar bahwa menabung secara konvensional di bank itu banyak ruginya. Selain bunga kecil yang jauh di bawah inflasi, tabungan merugikan karena banyak potongan ini-itu. Masyarakat yang biasa berharap tabungan akan bertambah karena adanya bunga, ternyata hanya bisa melongo pasrah. Tabungan dalam jumlah kecil yang notabene dimiliki masyarakat kelas ekonomi bawah justru makin habis.

Kesadaran masyarakat ini disadari Bursa Efek Indonesia. Situasi memprihatinkan yang berubah menjadi peluang ini ditangkap oleh Bursa Efek Indonesia untuk mengkampanyekan "paham" investment society. Tepatnya 12 November 2015 silam kata nabung pun dilekatkan langsung dengan kata saham menjadi "Yuk Nabung Saham" oleh Bursa Efek Indonesia dalam kampanyenya.

Bursa Efek Indonesia sengaja memilih kata nabung dan bukannya investasi dengan dalih investasi itu konotasinya mahal, butuh uang banyak dan miliknya orang berpunya. Selain itu, investasi terkesan rumit dan identik dengan orang-orang terpelajar.

Bursa Efek Indonesia sengaja tidak memilih kata main karena kata main identik main-main dan lebih parah kalau dikaitkan dengan kata judi yang konotasinya justru makin menjadi negatif. Kata nabung yang secara umum netral menjadi eksklusif bernada investment dengan sematan kata saham.

Gerakan terukur dan terencana pun dilakukan secara masif dan sinergis dalam berbagai program gerakan edukatif agar masyarakat makin melek investasi. Tepatnya 31 Oktober 2016 lalu, OJK meluncurkan kampanye "Ayo Nabung" sebagai kelanjutan kampanye-kampanye sebelumnya seperti gerakan "Ayo Investasi di Reksa Dana" dan "Yuk Nabung Saham". Goal dari gerakan ini adalah mengajak masyarakat untuk memanfaatkan industri keuangan yang ada untuk meningkatkan kesejahteraan seluruh masyarakat Indonesia.

Efek masivitas kampanye-kampanye ini pun mulai terasa. Hasil survei nasional literasi dan inklusi keuangan (SNLKI) menemukan indeks literasi keuangan Indonesia pada 2016 sudah naik sebesar 7,72% menjadi 29,66% dibandingkan dengan 2013 yang sebesar 21,84%. Selain itu, untuk indeks inklusi keuangan Indonesia pada 2016 naik 8,08% menjadi 67,82% dibandingkan dengan 2013 yang sebesar 59,74%.

Dengan gerakan yang tak mengenal lelah bukan tidak mungkin investment society itu akan terwujud. Perlu dicatat di sini, penulis tidak sedang menggembosi perbankan dengan produk tabungan dan depositonya yang jelas-jelas memberikan bunga jauh di bawah inflasi, tetapi diam saja tentu tidak cukup saat melihat ketidakdilan yang dilakukan perbankan Indonesia.

Memelekkan literasi keuangan masyarakat adalah tanggung-jawab semua pihak. Masyarakat berhak atas informasi yang mencerdaskan, termasuk soal keuangan. Sebagai sebuah gerakan mencerdaskan, ini jelas terkait dengan bom waktu terkait tercerahkannya nalar masyarakat. Memang tidak mudah alias tidak seperti membalik telapak tangan.

Pada waktunya, masyarakat akan terbuka bahwa cara pandang dalam mengelola keuangan dalam perspektif saving society itu  sudah usang. Pelan tapi pasti masyarakat akan mengubah mindset saving menuju investment karena kita hidup di zaman dengan perubahan yang bisa berlangsung cepat berkat teknologi.