Ada artikel menarik yang ditulis kawan Farhan Donganta berjudul “Mengenai Kita dan Humanisme: Apakah Kita (Manusia) Sudah Merasakan Nilai Kemanusiaan?” beberapa waktu lalu di Qureta. Ia membahas mengenai humanisme sebagai antitesis dari otoritarianisme. 

Menarik sekali untuk membahas humanisme di tengah keadaan masyarakat baik di dalam negeri maupun luar seperti sekarang. Keadaan dan peristiwa tersebut seperti sekarang memberikan kita beberapa pertanyaan untuk membahas relevansi gagasan dan cita-cita humanisme saat ini.

Pertama-tama, mari kita mengurai apa itu humanisme

Humanisme secara sederhana adalah pemahaman yang menempatkan manusia dan nilai-nilai yang relevan dengan kemanusiaan itu sebagai tema utama kehidupan. Humanisme itu menjadikan manusia sebagai pertimbangan yang mendasar dalam persoalan politik, moral, filsafat hingga keagamaan.

Sederhananya, humanisme menempatkan persoalan manusia sebagai hal yang paling mendasar pada hidup. Segala hal yang bersifat baik bagi manusia, seperti kebahagiaan, kebebasan, kesejahteraan serta hak asasi harus menjadi perhatian penting dalam segi kehidupan.

Selain itu, karena humanisme juga menekankan perlindungan atas kehidupan tiap-tiap individu. Kekerasan serta ancaman adalah hal-hal yang berusaha ditentang gerakan humanis internasional dalam pendekatan-pendekatan apapun. Adanya rasa aman pada setiap orang, keadilan, serta perdamaian merupakan tujuan yang berusaha dicapai oleh humanisme sebagai sebuah ideologi.

Saat ini, per Maret 2022, kita sedang menghadapi ancaman-ancaman terhadap nilai-nilai humanisme pada banyak hal. Invasi Rusia atas Ukraina serta konfrontasi Tiongkok terhadap Taiwan menunjukkan bahwa beberapa negara telah mengabaikan dan membuang pendekatan kemanusiaan pada kebijakan luar negeri mereka. Pendekatan yang bersifat kekerasan melalui agresi dan intervensi militer yang tentu akan dan telah mengorbankan banyak jiwa dengan percuma adalah pengkhianatan besar terhadap cita-cita humanisme.

Karena jika humanisme adalah roh, maka demokrasi adalah badan

Penulis sepakat dengan kawan Farhan bahwa antitesis dari humanisme adalah otoritarianisme. Otoritarianisme itu banyak wujudnya, termasuk di dalamnya fasisme, imperialisme hingga neo-imperialisme. Fasisme mengarah ke dalam, dengan tujuan mengekang kebebasan individual atas nama kepentingan yang bersifat bersama. Imperialisme atau neo-imperialisme mengarah ke luar, untuk mendikte bangsa-bangsa lemah untuk menuruti kebijakan luar negeri bangsa-bangsa kuat.

Fasisme dan imperialisme (atau kini neo-imperialisme) tidak pernah terpisahkan. Sejarah menunjukkan dua ideologi ini selalu hadir berdampingan. Negara-negara fasis, seperti Jerman, Jepang dan Italia, merupakan agresor, sosok antagonis pada Perang Dunia II. Kini, Rusia yang dikuasai kelompok neo-fasis di bawah Vladimir Putin menunjukkan perilaku serupa, dengan mencoba menjadi kekuatan imperialis baru dan mendikte negeri-negeri lemah di Eropa untuk menuruti hawa nafsunya.

Sehingga, satu-satunya sistem politik yang relevan dengan humanisme adalah demokrasi. Untuk mencapai cita-cita kemanusiaan memerlukan demokrasi sebagai instrumen perjuangannya. Akan tetapi, demokrasi yang seperti apa untuk mewujudkan gagasan tersebut?

Hanya demokrasi yang menghargai nilai-nilai perseorangan yang dapat memajukan humanisme tadi, suatu demokrasi yang utuh dan bulat, mengakar mendalam hingga ke aspek kehidupan sehari-hari, tidak semata soal acara pemilihan belaka. Di sini penulis tidak sepenuhnya bisa sepakat dengan pemikiran demokrasi permufakatan seperti yang disampaikan kawan Farhan.

Demokrasi yang diperlukan untuk mencapai humanisme haruslah demokrasi yang keluar dari diktum deliberasi atau permufakatan. Humanisme demokratis hanya dapat tercapai melalui penghargaan pendapat dan nilai-nilai perseorangan, dan itu harus keluar jauh-jauh dari “atas nama kepentingan bersama”. Ini gagasan yang cukup radikal memang, karena menempatkan daya kritis individual di atas segalanya.

Mengapa perlu kemampuan kritis tersebut dalam berdemokrasi?

Sejarah membuktikan bahwa masyarakat yang tidak mampu menyadari kekuasaannya dalam suatu tatanan demokrasi dapat menyerahkan kekuasaan itu terhadap sosok pemimpin tunggal yang otoriter. Napoleon Bonaparte, Hitler, Park Chung-hee, Putin dan diktator-diktator lain lahir karena mereka dipilih pada awalnya, sebelum kemudian merampas kebebasan masyarakatnya atas nama “kepentingan bersama”.

Persoalan di atas tersebut telah dibahas oleh Erich Fromm, pinisepuh dunia psikologi sosial, pada bukunya berjudul Escape from Freedom (1941). Fromm percaya bahwa manusia terlahir dengan kebebasan, namun tidak semua mau menerima kebebasan tersebut. Rasa takut untuk mengendalikan nasib sendiri sama rasanya dengan keadaan seseorang sendirian.

Ada beberapa orang yang lebih memilih kegiatan yang seharusnya dilakukan oleh dirinya sendiri dilakukan orang lain. Bisa saja bentuknya seperti mengupahkan mencuci pakaian, membuat makanan, atau paling purnanya, mengatur kehidupan berpolitik. Bentuk paling purna tersebut, yakni menyerahkan nasib sendiri pada seseorang atau suatu kelompok dalam mengendalikan kehidupan bernegara, akan melahirkan rezim otoriter dari rahim demokrasi.

Kita kadang merasa bahwa ada orang yang lebih baik daripada kita untuk melakukan sesuatu untuk kita. Perasaan berpasrah separuh manja inilah yang akan membuat kita memilih autokrat-autokrat untuk mengatur hidup kita alih-alih menentukan untung nasib kita sendiri. Apabila kita memiliki kesadaran yang muncul pemahaman kritis atas diri sendiri dan orang lain, maka kita akan melepaskan kepasrahan itu jauh-jauh dan mengambil alih kembali nasib kita.

Bagaimana mencapai kesadaran kritis tersebut?

Tidak ada tokoh yang paling menyadari bahwa kesadaran kritis hanya mampu ditumbuhkan dari pendidikan selain Paulo Freire, tokoh pedagogi asal Brazil. Freire menyimpulkan bahwa pendidikan itu harus membebaskan. Pembebasan ini dapat tercapai apabila seseorang tidak hanya belajar hanya untuk sekadar hapal, melainkan untuk memahami bagaimana dunia bekerja dalam suatu relasi kekuasaan antara satu dengan yang lainnya.

Dalam bukunya, Pedagogy of the Oppressed, Freire menggunakan istilah yang diciptakan Fromm, yakni ketika individu merasakan “ketakutan akan kebebasan” (fear of freedom), maka ia akan menerima perannya dalam ketertindasan, seakan tiada lagi jalan keluar untuk kepelikan hidup. Untuk itulah, transformasi dengan jalan pendidikan akan membuat manusia keluar dari ketakutan tersebut. Sederhananya, pendidikan harus membunuh perasaan fatalisme pada diri seseorang.

Alih-alih mencapai pembebasan tersebut, pendidikan kita, yang dalam konteks ini adalah pendidikan Indonesia, masih berorientasi kepada kepatuhan. Betul jika pendidikan tinggi kita telah mendidik manusia-manusia Indonesia ke arah berpikir kritis. Namun, keadaan pendidikan menengah kita masih sangat meresahkan.

Guru bagaikan pusat alam semesta pada dunia pendidikan. Sekolah-sekolah berlomba agar siswa mereka mencapai target yang telah ditetapkan oleh mereka sendiri. Sistem ini sudah berlangsung cukup lama dan tampaknya tidak ada perubahan yang berarti saat ini. Ada tuntutan baik pada guru itu sendiri maupun pada siswanya agar siswa menyelesaikan target pencapaian tersebut dalam setahun.

Cacatnya sistem seperti ini terbuka dengan jelas saat masa pandemi. Ketika guru mau tidak mau hanya bisa memberikan siswa tugas di rumah, tanpa bisa bertemu langsung, mereka kehilangan “kendali” dan “kekuasaan” tradisional mereka yang dulu bisa dilakukan di ruang kelas. Siswa banyak yang menunda tugas mereka hingga mendekati akhir semester.

Artinya, apabila relasi ini melemah dalam keadaan belajar yang bersifat maya (virtual), maka relasi seperti ini akan berakhir setelah siswa keluar sekolah, alias lulus. Pelajaran yang mereka dulu hapalkan dan kuasai akan mengalami reset secara dramatis saat kuliah atau bekerja.

Kepintaran serta kepandaian itu akan hanya bersifat situasional dan saat situasi belajar ortodoks tersebut berakhir, maka berakhir pula kepintaran tersebut. Kita sudah menemui beberapa anak yang prestasi akademiknya mentereng saat sekolah, namun menjadi biasa saja saat kuliah dan kebalikannya, anak yang tidak menunjukkan kegemilangan apapun saat sekolah berubah menjadi seseorang yang kritis dan cerdas saat kuliah.

Kebebasan dari ketakutan adalah puncak dari memanusiakan manusia

“Si tou timou tumou tou”, kata mendiang Sam Ratulangi, yakni manusia hanya dapat menjadi manusia jika ia sudah mampu menjadikan manusia lain sebagai manusia. Mencapai kemanusiaan yang utuh inilah, yakni kesadaran bahwa kita sebagai manusia menentukan nasib kita sendiri di dunia, harus tumbuh permulaannya sejak dalam pikiran, seperti yang pernah dikatakan Pramoedya Ananta Toer.

Ada jalan panjang menuju cita-cita humanisme demokratis tersebut, apalagi jika itu harus ditempuh dalam nuansa pendidikan nasional kita yang masih serba konservatif dan ortodoks. Bukan mustahil, namun secara realistis masih susah.

Pada masyarakat yang kapitalistis, pendidikan berorientasi kepada manusia sebagai sumber daya yang bersifat kompetitif dalam pasar. Pada masyarakat yang komunistis, pendidikan berorientasi pada pembentukan individu secara ideologis oleh partai penguasa. Pada masyarakat yang tradisional, pendidikan berorientasi pada kepatuhan dan ketundukan pada tatanan sosial yang ada.

Dalam pendidikan yang humanis, pendidikan harus berorientasi pada kesadaran individual, tiada yang lain. Kesadaran yang bersifat meta tersebut yang akan menjadikan manusia sebagai subyek, bukan obyek kehidupan. Apabila manusia telah mencapai kesadaran ini, maka utuhlah dia sebagai manusia, yakni sebagai manusia yang adil dan juga beradab.

Hanya manusia yang mencapai kesadaran yang utuhlah yang akan dapat mewujudkan dunia yang damai, adil dan demokratis tanpa penindasan. Transformasi global berakar dari transformasi individual.

REFERENSI

Fromm, E. (1941/1969). Escape from Freedom. New York: Avon Books.

Freire. P. (1970/1993). Pedagogy of the Oppressed. New York: Continuum.