Sejak penghujung tahun 2019, dunia telah dihebohkan dengan kemunculan virus corona. Virus corona pertama kali terdeteksi di Wuhan, China. Kemunculannya sontak menimbulkan kegemparan bagi semua orang di seluruh belahan dunia, tak terkecuali Indonesia. Berbagai gejala dan dampak dari virus corona pun mulai dialami oleh sebagian besar warga Wuhan, yang membuat banyak orang menjadi panik dan rusuh hati.

Tak hanya itu, penularan virus tersebut cenderung cepat, massive, dan berbahaya. Tak tanggung-tanggung, beberapa waktu kemudian virus corona telah menyebar ke berbagai negara, dan bahkan muncul virus dengan varian baru. Semua orang pun mulai berupaya untuk menanggulangi dan mencegah penularan, misalnya dengan menerapkan protokol kesehatan 3M dan mulai mengupayakan adanya vaksin.

Vaksin dipercaya menjadi salah satu solusi mutakhir dan mungkin terkahir untuk membuat penularan virus corona berakhir. Pemerintah Indonesia pun kini massive menggaungkan penyuntikkan vaksin walau rakyatnya masih lama berpikir. Bahkan, ada beberapa elemn masyarakat yang dengan lantang menolak untuk divaksin.

Pada bulan September 2020, Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, ITAGI, UNICEF, dan WHO mengadakan survei penerimaan vaksin covid-19 di Indonesia. Survei tersebut melibatkan lebih dari 115.000 responden berbeda dari 34 provinsi di Indonesia.

Berdasarkan survei tersebut, penerimaan tertinggi didapat dari Provinsi Papua Barat dengan persentase sebesar 74%. Sedangkan penerimaan terendah didapat dari Provinsi Aceh, yang notabene mayoritas masyarakat beragama Islam, dengan persentase sebesar 46%.

Apabila dilihat lebih jauh, secara umum responden Islam memiliki tingkat penerimaan yang lebih rendah dibandingkan dengan responden dari agama dan keyakinan lainnya. Lantas mengapa Provinsi Aceh mendapatkan tingkat penerimaan yang paling rendah? Apakah Aceh memang menolak untuk vaksin covid-19?

Menolak Vaksin: Apek Material, Kodrati-Kultural, dan Sosial

Rendahnya tingkat penerimaan vaksin yang berujung pada penolakannya bukan terjadi tanpa sebab. Penolakan itu dapat terjadi karena tiga alasan. Ketiga alasan tersebut ialah alasan material, alasan kodrati-kultural, dan alasan sosial.

Pertama, alasan material. Alasan material penolakan vaksin tidak terlepas dari keraguan, ketakutan, dan kekhawatiran akan efek samping dari vaksin covid-19. Mereka khawatir akan terjadi sesuatu yang tidak diharapkan. Tak hanya itu, efektivitas dari vaksin covid-19 juga menjadi alasan lainnya.

Kedua, alasan kodrati-kultural. Sebagai masyrakat yang tumbuh dan hidup ditengah daerah religius, penentuan keputusan tentunya tidak terlepas dari alasan tersebut. Situasi ‘keterlemparan’ itu mengharuskan ketaatan pada aturan agama. Oleh karena mayoritas masyarakat Aceh yang beragama Islam, maka tidak mengherankan apabila alasan keagamaan berupa kehalalan vaksin menjadi vital. Syariat Islam yang harus mereka pegang, dan peran dari beberapa tokoh keagamaan juga menjadi kemungkinan alasan mendasar rendahnya penerimaan.

Ketiga, alasan sosial. Keterbatasan informasi, lingkungan masyarakat, dan maraknya wacana-wacana yang beredar menjadi alasan sosial penolakan vaksin di Aceh. Salah satu alasan utamanya ialah dengan beredarnya hoax dan konspirasi di kalangan masyarakat, yang nyatanya mereka percayai begitu saja. Bahkan, kabar-kabar paslu itu bisa muncul dari para pemuka agama, peran sosial yang begitu dekat dan mereka percayai.

Melalui berbagai alasan di atas, nampaknya peran pemuka agama menjadi sangat vital. Banyak masyarakat yang memang lebih memercayai para pemuka agama ketimbang para ahli medis yang telah membuat vaksin dan memberikannya kepada masyarakat. Hal inilah yang menjadi sorotan, yakni kala mereka lebih percaya kepada pemuka agama yang mungkin belum paham benar soal vaksin ketimbang para ahli yang telah meracik vaksin dalam waktu yang tidak singkat.

Menolak Kepakaran: Matinya Kepakaran

Tom Nichols, seorang profesor U.S. Naval War College dan Harvard Extension School, memberikan gagasan tentang matinya kepakaran. Gagasan tersebut berangkat dari beragam fenomena yang terjadi di masyarakat. Salah satu alasan munculnya gagasan tersebut ialah maraknya hoax dan konspirasi yang beredar di masyarakat. Kebenaran pun kini menjadi harga yang bsia ditawar, dan dengan demikian mereka semua memiliki kebenarannya masing-masing.

Pada era pasca kebenaran, banyak orang yang telah tertipu dan bahkan menipu dirinya sendiri. Banyak dari mereka lebih memercayai pendapat yang mereka yakini, tanpa tahu kebenaran yang pasti. Mereka tidak lagi berangkat dari para pakar, tetapi lebih percaya pada prinsip yang mereka pegang, dan pada orang awam yang diangap sebagai “pakar”.

Kini, tak sedikit orang yang lebih percaya pada “kebenaran” yang disampaikan oleh orang-orang terkenal, ketimbang oleh para pakar. Mereka yang sebelumnya telah memiliki pegangan akan mencari pembelaan yang sesuai dengan itu. Sayangnya, sadar atau tidak sadar, banyak dari mereka yang malah mengalami sesat pikir, dengan percaya pada kabar yang belum pasti dari pada para pakar. Dengan demikian, kepakaran telah mati, dan pemujaan akan ketidaktahuan diri semakin menjadi-jadi.

Melalui hal di atas, penolakan vaksin dapat disebabkan karena mereka tidak lagi percaya kepada para ahli (medis), yang telah mempelajari dan meracik vaksin dengan hati-hati. Tentunya tidak mungkin vaksin yang akan disuntikkan pada masyarakat adalah vaksin yang belum teruji. Efek samping vaksin memang akan sangat mungkin terjadi, namun bukan berarti vaksin itu tidak layak diterima sebagai sebuah solusi.

Tidak salah memang memercayai pemuka agama. Akan tetapi, rasionalitas dalam hal ini tetap perlu dipertahankan. Para ahli tentunya memiliki keahlian tertentu dibidangnya, begitu pula dengan vaksin. Dalam hal ini, masyarakat perlu untuk menempatkan diri pada ranah yang tepat, sembari tetap memerhatikan nilai-nilai hidup mereka. Maka, apabila berbicara soal vaksin, sudah seharusnya mereka memercayai para ahli dan bahkan mungkin para pemuka agama yang memang telah memahami betul soal vaksin.

Peran Pemuka Agama: Sosialisasi Vaksin

Provinsi Aceh adalah salah satu provinsi di Indonesia, dengan mayoritas masyarakatnya beragama Islam. Hal tersebut membuat beberapa aturan kehidupan bersama tidak terlepas dari syariat Islam dan pemuka agama. Peraturan daerah di sana pun juga tidak terlepas dari dua hal tersebut. Bahkan, pemuka agama memiliki peran yang cukup besar dalam penentuan keputusan bersama.

Melihat rendahnya tingkat penerimaan vaksin pada masyarakat Aceh, yang berujung pada tingginya tingkat penolakan vaksin, penulis menilai bahwa sebagian masyarakat Aceh masih menerima dengan mentah berbagai informasi yang mereka terima dari internet, termasuk para pemuka agama.

Bukan berarti para pemuka agama memberikan informasi yang salah. Akan tetapi, tidak menutup kemungkinan adanya oknum-oknum yang memang menyebarkan wacana palsu agar masyarakat menolak vaksin. Apalagi, mereka benar-benar memercayai apa yang disampaikan oleh para pemuka agama, sebagai bagian dari kodrati-kultural mereka. Oleh sebab itu, untuk tetap menjaga kepercayaan dari masyarakat, perlu diadakan sosialisasi tentang vaksin covid-19 kepada para pemuka agama.

Sosialisasi itu bertujuan untuk mengupayakan peningkatan kesadaran, wawasan, dan kepercayaan ulama mengenai vaksin. Sebagai tokoh yang memiliki peran sentral dalam kehidupan bermasyarakat dan beragama, para pemuka agama perlu untuk memiliki informasi yang tepat seputar vaksin. Oleh karena itu, sosialisasi itu diadakan bersama dengan para ahli dibidang vaksin dan seputar covid-19.

Apakah sosialisasi itu berhenti pada pemuka agama? Tentu saja tidak. Sosialisasi diberikan kepada para pemuka agama agar mereka nantinya dapat memberikan informasi yang tepat seputar vaksin kepada masyarakat. Fokus pada para pemuka agama bertujuan untuk menghentikan informasi-informasi atau pemahaman yang kurang tepat terkait vaksin covid-19. Oleh karena mereka memiliki peran yang sentral, maka jasa mereka untuk andil dalam upaya peningkatan kesadaran dan wawasan masyarakat akan vaksin covid-19 menjadi sangat penting.

Dengan mengajak para ulama untuk lebih dalam mengetahui soal vaksin, maka informasi yang mereka sampaikan pun dapat lebih terpercaya dan terjamin. Meskipun mereka bukan pakar dalam bidang vaksin, setidaknya mereka telah belajar dari para pakar, sehingga informasi yang mereka berikan tidak jauh berbeda dengan para pakar. Dengan demikian, diaharapkan tingkat penerimaan vaksin dapat meingkat, dan kehidupan masyarakat dapat segera pulih.

Kesimpulan

Demikianlah analisis sosial terkait rendahnya penerimaan vaksin di Provinsi Aceh. Rendahnya tingkat penerimaan ini nyatanya disebabkan oleh banyak faktor, baik material, kodrati-kultural, sosial, dan termasuk karena menolak kepakaran. Mereka lebih percaya kepada informasi palsu yang disampaikan oleh tokoh-tokoh sentral, dan bukan para pakar.

Sebagai masyarakat yang memegang teguh syariat agama dan kuatnya peran para pemuka agama, solusi yang ditawarkan ialah dengan memberikan sosialisasi kepada para pemuka agama, dengan mengajak para pakar. Dengan sosialisasi tersebut, para pemuka agama akan memiliki informasi yang lebih tepat tentang vaksin, sehingga apa yang diterima masyarakat juga lebih tepat. Dengan demikian, diharapkan tingkat penerimaan vaksin menjadi meningkat.