Ketika mengkritik A bukan berarti mendukung B. Dan ketika mengkritik A bukan berarti membencinya.

Bupati Pati, Jawa Tengah, mengawali persembahan mawar merah ini. Ia mewakili suara petani di daerahnya yang tengah merayakan musim panen. Ia menyampaikan pesan masyarakat kepada pemerintah pusat bahwa petani tengah bergembira. Hasil panen melimpah.

Pencapaian panennya tidak hanya untuk wilayah mereka sendiri, tetapi juga dapat dirasakan oleh daerah lain. Mereka akan semakin berbahagia bila gabah tersebut dapat terserap oleh Bulog dengan harga yang lebih baik.

Sayangnya, kegembiraan harus ternodai dengan “gosip” impor beras dari Thailand dan Vietnam. Suatu noda yang memberanikan Bupati menyampaikan kepada pemerintah bahwa ia dan para petani menolak impor beras.

Selain Kabupaten Pati, Kabupaten Sragen ikut mempersembahkan mawar merah. Pemda beserta seluruh petani secara tegas menolak impor beras.

Tentu saja Sragen menolak. Wilayahnya termasuk lumbung padi Nasional. Walaupun daerah pertaniannya menyusut 200-an hektar karena diikhlaskan menjadi jalur tol Solo-Kertosono, pada masa panen saat ini, lahan yang masih tersisa mampu menghasilkan 640-an ribu ton gabah kering panen (KGP).

Bupati Sleman, DIY, tidak ketinggalan mempersembahkan mawar merah. Ketika wacana impor mengemuka, ia mengatakan dengan jelas bahwa ia dan petani di daerahnya menolak impor beras. Dalihnya masih sama. Panen tahun ini surplus.

Awal tahun 2018, pemerintah memang mencanangkan impor beras, jumlahnya mencapai 500 ribu ton. Alasannya masuk akal: cadangan beras nasional di Bulog menipis dan harga beras melonjak naik. Agar gudang terisi dan harga stabil, solusinya adalah impor.

Kabar ini makin jelas. 13 Februari 2018, 60 ribu ton beras asal Thailand telah masuk di Indonesia. Sementara 57 ribu ton beras asal Vietnam sudah lebih dulu berlabuh.

Kita tentu berharap, semoga beras impor tidak membuat beras petani dalam negeri dibeli murah atau membusuk di gudang. Namun, ini hanya harapan dan biasanya harapan itu adalah ilusi.

Penjelasan yang Kadang Menyesatkan

Awalnya saya mengira “penjelasan” dan “pemahaman” adalah dua hal yang serupa. Ternyata, agak berbeda.

Permintaan “penjelasan” timbul karena adanya kesenjangan antara harapan dan kenyataan. Dalam ilmu sosial, Ramlan Subakti mengenalkan istilah ini sebagai paradigma positivistik. Sedangkan “pemahaman” berfokus kepada “tujuan dan makna” dari segala sesuatu.

Kita bisa mendengarkan penjelasan, tetapi belum tentu menghasilkan pemahaman. Terkadang pula, ada yang bisa memahami sesuatu tanpa perlu penjelasan. Seperti alasan mencinta yang tak butuh penjelasan.

Kalau alasan mengimpor adalah demi menjaga stok pangan nasional dan menstabilkan harga, ini disebut sebagai penjelasan. Tetapi, kalau alasannya adalah untuk menguntungkan segelintir orang, maka hal ini termasuk dalam kategori pemahaman.

"Penjelasan" terkadang tidak hanya untuk menutupi aib, tetapi juga untuk menyesatkan. Karena itulah, "pemahaman" memiliki nilai yang lebih tinggi.

Impor ketika surplus membuat saya selaku penikmat lontong tahu telur gundah gulana. Hingga timbul pertanyaan, lontong yang saya makan itu berasnya lokal apa impor, yah?

Ada perbedaan yang begitu mencolok antara menjual hasil pertanian dengan menjual nasi tahu telur. Harga jual hasil panen ditentukan pembeli, sementara harga nasi tahu telur ditentukan penjual.

Sifat pembeli pun berbeda-beda. Dan tampaknya pembeli swasta lebih agresif ketimbang pemerintah. Mungkin karena selera, orang pusat lagi demam yang impor-impor.

Regulasi biaya jangan ragukan swasta. Mereka pandai tarik ulur harga di pasaran.

Saking lihainya, pemerintah hanya bisa duduk menopang dagu dan berharap para spekulan tidak terlalu licin. Ujung-ujungnya, strategi pemerintah sudah terbaca: operasi pasar, impor, dan? Berdoa.

Menggoreskan Luka dalam Kolam Berhiu

Dalam sebuah diskusi bertajuk “Populasi Sebelum Era Modern”, seorang kawan bertanya mengenai solusi apa yang bisa ditawarkan bila populasi terus meningkat sementara lahan pertanian makin menyempit.

Saya menjawabnya kurang-lebih seperti ini: “berkaca pada masa revolusi industri di Eropa, ketika populasinya meningkat, namun lahan kian menyempit, yang mereka lakukan adalah menjelajah dan menjajah, ekspansi ke benua lain.

Sedangkan Jepang mamanfaatkan pekarangan untuk mendukung kebutuhan pangan. Bandingkan dengan Indonesia, ketika populasi terus bertambah, namun lahan pertanian menyempit, apa yang dilakukan?”

Saya diam sejenak sekitar tiga detik. Di antara keheningan itu terlontar kata “impor” dengan suara agak malu-malu.

Saya kemudian melanjutkan “seharusnya pemerintah tak perlu impor, apalagi banyak media melaporkan beberapa daerah tengah surplus beras.”

Sebenarnya, saya ingin menyudahi pernyataan, tetapi saya justru menyulut perdebatan.

Saya memperbaiki posisi duduk. Sambil memajukan badan saya kembali berkata “bandingkan dengan Prabowo!” setelah mengatakan hal ini, seolah-olah saya baru saja mengiriskan tangan hingga berdarah di dalam kolam berhiu.

Partner penyaji di sebelah saya mengakui “Jokowi memang banyak PR, sehingga 2019 nanti ia harus kembali terpilih demi menuntaskan tugas tersebut.” Sebuah jawaban yang membuat teman-teman bersorak ria. Mereka heran dengan dua penyaji dalam satu kelompok yang sama memiliki pandangan politik yang berbeda.

Mawar Merah Tanda Cinta

Saya teringat dengan ungkapan “cinta itu membutakan”. Kalau sudah terlanjur sayang, yang buruk-buruk sudah tak tampak. Semuanya terlihat baik-baik saja. Beh! Tapi kalau sudah benci, justru sebaliknya, yang baik-baik tadi, semuanya berubah buruk.

Kalau cinta memang membutakan, apa salahnya mengkritik membabi-buta? Asal berangkat dari suara kebenaran, seperti suara para petani yang menolak impor beras.

Di samping itu, saya lebih suka dengan yang mengatakan: kritik adalah salah satu tanda cinta. Sekalipun pedas, ia adalah pelengkap nasi tahu telurmu.