Bagi sebagian orang, Bonn, sebuah kota kecil di sebelah Barat Jerman, dikenal hanya sebagai eks Ibu Kota Jerman Barat yang diminati turis-turis tua di negara bagian Nord Rhein Westfalen.
Hanya sedikit yang tahu identitas Bonn sebagai “City of Beethoven”. Di kota ini, Ludwig van Beethoven (1770 – 1827), salah satu komposer terbesar dan paling dikagumi dari Jerman, lahir dan menghabiskan masa muda dan awal karirnya sebelum pada umur dua puluhan, ia pindah ke Wina sampai akhir hayatnya.
Maka, meski awan tampak bergulung-gulung di kejauhan, pada akhir pekan, di sela-sela kesibukan kuliah yang seakan membikin kepala pecah, saya menyempatkan diri untuk mengenal gairah kota ini akan Beethoven. Saya ingin menuntaskan penasaran saya akan tragedi hidup sang komponis yang di masa mudanya disebut sebagai Mozart baru dari barat Jerman ini. Sekaligus “memecahkan misteri” mengapa Beethoven begitu dikagumi di Jerman.
Sambil menyusuri promenade Rhein, saya dengarkan karya-karya Beethoven.
Komposisi yang paling terkenal dari Beethoven, Moonlight Sonata, menemani ketika berjalan menuju kompleks gedung teater Beethovenhalle, sekitar 15 menit dari Bonn Hauptbahnhof.
Sejak didirikan pada tahun 1959, gedung teater ini rutin menampilkan karya-karya Beethoven. Lokasinya yang tepat di tepi Sungai Rhein, membuatnya jadi salah satu landmark yang ikonik. Sepanjang jalan, promosi Beethovenfest setiap akhir musim panas sudah mulai tampak di mana-mana.
Di taman Beethovenhalle ada salah satu patung Beethoven yang paling terkenal, Beethon, hasil karya Klaus Kammerichs, seorang pematung realis dari Dusseldorf. Uniknya, patung ini hanya berupa kepala Beethoven yang dideskripsikan sangat detil. Ukurannya sebesar gajah dewasa, besar sekali.
Patung itu dibuat sangat ekspesif dengan raut muka yang keras dan rambut gondrong sang komponis yang awut-awutan. Keningnya berkerut di atas mata yang menatap dengan tajam. Apakah kebanyakan jenius musik dari Prusia memang tak pernah tersenyum dan bermuka lembut? Entahlah. Tapi melihat muka Beethoven, kita langsung tahu kalo dia memang turunan Prusia sejati. Serius, fokus, berambisi tinggi.
Saya tidak lama di sana. Lalu, sambil menikmati es krim rasa strawberry seharga 2 Euro dari restoran Eislabor di Altstadt yang masuk dalam daftar must visit-nya Lonely Planet, saya kembali berjalan menuju Gereja St. Remigius di Bruderstrasse. Udara cerah. Saya tidak tergesa-gesa, apalagi hanya perlu 15 menit berjalan kaki dari Beethovenhalle.
Basilika bercorak Gothic yang dikelola orde Fransiskan ini dikenang karena di sinilah Beethoven dibaptis pada tanggal 17 Desember 1770. Di sini juga ia sering bersembahyang, terkesima pada lagu-lagu klasik gereja, dan kemudian pada umur 10 tahun, mencengangkan publik saat mengiringi misa pagi pukul 6 dengan permainan organ yang memukau.
Mengingat standar gerejawi yang tinggi saat itu, terlihat dari orgel gereja yang selalu megah dan ditempatkan di loteng, maka jika ada anak 10 tahun yang bisa mengiringi perayaan dengan mengagumkan, sudah pasti anak itu akan terkenal ke seantero kota.
Saya mengagumi gereja ini, yang dibangun sejak tahun 795 namun masih kokoh dengan menaranya yang menjulang. Walau telah beberapa kali rusak, ganti pemilik dan direnovasi, gereja Katolik ini selamat saat Perang Dunia II. Padahal begitu banyak bangunan di Jerman bagian barat hancur akibat serangan Sekutu.
Beda dengan umumnya interior gereja Katolik yang penuh dengan detil, di gereja yang kini menjadi gereja kampus ini, tampilannya sederhana. Cat putih terang, dengan altar dari kayu, hiasannya hanya lukisan papan di belakang altar. Khas Fransiskan yang terkenal dengan kaul kesederhanaannya itu.
Saat di dalam, alunan Fuer Elise (Untuk Elise) menggugah perasaan. Menurut beberapa ahli, komposisi ini diciptakannya untuk mengenang seorang wanita, Therese von Brunswick, murid yang menjadi cinta tak sampainya Beethoven.
Konon, Therese-lah alasan mengapa hingga sampai akhir hayatnya ia tak pernah menikah. Tapi mengapa diberi judul Untuk Elise dan bukan Untuk Therese? Mungkin hanya Beethoven dan Tuhan yang tahu pasti. Saya lebih menyukai Fuer Elise daripada Moonlight Sonata. Rasanya lebih liris, dalam, ada jiwa yang memendam kegetiran.
Ketika Missa Solemnis, komposisi yang memang dibuat Beethoven untuk misa di gereja, sedang mengalun, telepon saya bergetar. Sebuah panggilan masuk. Johann Forneck dan Lee Quyen Mai sudah menanti di luar, di Beethovenplatz di mana ada patung utuh sang komponis.
Johann adalah pemuda asli Bonn, sedang Mai dari Vietnam. Keduanya teman sekelas saya. Kami janjian ke Museum-Haus Beethoven bersama-sama. Kata Johann, ia ingin memecahkan rekor pribadi masuk museum Beethoven yang kelima kalinya, plus menikmati Fidelio, 21st century. Adapun saya dan Mai, kami ingin memakai kupon gratis yang diberikan saat registrasi di City Hall pada bulan sebelumnya.
Museum-Haus Beethoven dari luar tampak sederhana dengan cat hijau lumut. Padahal ia adalah pusat koleksi terlengkap tentang Beethoven. Di sini disimpan manuskrip original, foto-foto diri dan keluarga, surat-surat pribadi, piano yang dipakai saat pertama kali tampil di Gereja St. Remigius, koin, medali penghargaan, alat-alat musik dan furniture yang pernah digunakan selama hidupnya. Saya yakin, seorang penggemar fanatik Beethoven akan sangat bahagia berada di sini.
Mai yang suka musik berkata bahwa ia serasa Alice yang sedang di Wonderland. Fidelio, satu-satunya opera ciptaan Beethoven juga ditampilkan berupa visualisasi 3D dalam suatu ruangan khusus. Kami diberi kacamata 3D dalam ruangan yang gelap, musik mengiringi sementara kilatan cahaya hologram berputar-putar di layar. Oh, ini rupanya Fidelio, 21st century itu.
Sambil mengamati koleksi museum, saya teringat percakapan kami sebelumnya. “Sebenarnya, apa yang membuat Beethoven begitu dikagumi?”
Johann, sosiolog lulusan Biefeld School of Sociology, dengan santainya menjawab, “Karena manusia itu, di alam bawah sadarnya, cenderung tertarik pada penderitaan dan tragedi dalam kehidupan seorang tokoh, dan bagaimana ia bergumul dengan tragedi itu, dan well, barangkali juga karena kami terobsesi dengan semangat kemenangan, sifat tak mau kalah, dan perasaan superior.”
Hmm…cukup sulit dipahami dan sedikit berbau chauvinisme? Sungguh, saya dan Mai tidak ingin tampak bodoh di depan Johann. Tapi, hubungannya dengan Beethoven?
Johann melanjutkan bahwa Beethoven dilahirkan dari keluarga pemusik yang secara obsesif menghendakinya menjadi pemusik hebat. Dari kecil ia dipaksa belajar musik. Untungnya ia memang mencintai seni musik dan sangat berbakat. Tuhan menciptakan anak kesayangan Bonn ini sambil main piano, kata sebuah situs lokal yang saya baca.
Saat usia 12 tahun ia sudah menciptakan komposisi pertamanya, 9 Variations of C Minor. Namun tragisnya, pada umur 20 tahun saat karirnya mulai cemerlang, ia mulai kesulitan mendengar. Gangguan ini tak digubrisnya. Di 15 tahun terakhir hidupnya, ketika ketulian makin parah, karya-karya monumentalnya seperti Missa Solemnis, justru lahir. Dan ketika menjemput ajal saat berumur 57 tahun, ia tuli total.
Diduga, gangguan pendengaran itu diawali oleh kebiasaannya membenamkan kepala ke dalam air dingin selama beberapa waktu. Sepertinya agar ia tetap terjaga di waktu malam saat sedang asyik main musik. Rumor liar bahkan mengatakan ketuliannya akibat dipukul sang ayah yang pemabuk. Berlanjut karena pengobatannya atas tipus dan sifilis.
Hampir mustahil seseorang yang mengalami gangguan fisiologis itu bisa tetap mumpuni. Dengan kata lain, mereka yang punya keunggulan – bukan kelemahan - fisiologislah yang akan menjadi jenius di bidangnya. Mozart misalnya, yang juga idola Beethoven, diakui punya keunggulan fisiologis dari pendengarannya yang tajam dalam membedakan nada. Leonardo da Vinci ditengarai memiliki keunggulan perspektif dan visual ruang warna sehingga mampu menyimpan dan mewujudkan kembali perspektif itu dalam rupa yang sangat detil dan hidup.
Tapi Beethoven, apa yang dipunyainya hingga mengalahkan ke-hampir-mustahilan itu? Johann dengan yakin bilang: jiwa dan pikirannya. Karena kekurangan itu, Beethoven memang sangat depresi, tapi ia memiliki semangat tak mau menyerah dalam bermusik. Pernah, di usia 45 tahun, saat ketuliannya sudah parah, saking tragisnya ia hanya bisa “menggigit tongkat, meletakkan kepalanya hingga menyentuh keyboard, dan tiap kali keyboard ditekan, ia mendengarkan nada-nada yang samar”, demi tetap bermain musik dan menciptakan karya baru.
“Jenius musik itu tidak sedikit, tapi yang akhirnya tuli, hanya Beethoven”, kata Johann, “Jiwa, pikiran, dan kemauan yang tangguh, akan mengalahkan apa pun halangannya. Itulah yang dikagumi.”
Selain percaya akan konsep zeitgeist, semangat zaman, Johann juga menyukai pepatah “anfangen ist leicht, beharren eine Kunst”, memulai itu gampang saja, untuk bertahan itu seni. Beethoven yang berbakat memang gampang saja belajar musik, tapi bagaimana ia bertahan mencintai dan berkarya, yang mumpuni dan jauh melampaui zaman, itulah seni hidup sesungguhnya.
Cerita tentang Beethoven itu masih kami ingat saat keluar dari Beethoven-Haus. Dalam perjalanan 30 menit menggunakan tram menuju Koenigswinter, masih banyak kami dengar cerita-cerita Johann tentang Beethoven yang luar biasa. Barangkali apa yang dikatakan Johann tentang Beethoven hanya versi dia, tapi ketika seorang sosiolog bicara tentang situasi kultural dan sosial kemasyarakatan, rasanya dia ada benarnya.
***
Seorang seniman biasanya butuh tempat yang tenang untuk menemukan inspirasi dan menenangkan jiwanya. Konon, selain di keheningan gereja, Beethoven sering berjalan menyusuri Sungai Rhein, menikmati matahari turun sore hari. Ia juga sering berada di ketinggian Siegengebirge, memandang ke bawah sebelum kemudian belajar piano di Lippensches Palais, istana milik seorang bangsawan di Beuel.
Kami memang tidak mampir di istana itu, tapi pemandangan Siebengebirge yang berarti Tujuh Gunung, yang dilihat Beethoven masih tak jauh beda dengan yang kami lihat saat ini. Saya terpana.
Pemandangan pegunungan dan lembah itu menyadarkan kembali bahwa mungkin di masa kecil, saya adalah korban dongeng Eropa abad pertengahan.
Dalam bingkai imajinasi, kisah paling heroik sedunia adalah tentang ksatria dan naga: ksatria bersenjatakan pedang dan perisai bertarung dengan naga ganas yang terbang-naik turun sambil menyemburkan api. Latarnya pegunungan dengan pepohonan warna-warni, dengan kastil merah di puncak bukit, dan seorang putri anggun yang cemas menatap pertarungan itu dari balik jendela.
Kini, imaji itu di depan mata. Pohon-pohon menggugurkan daun-daunnya, menciptakan tanah yang kemerahan berselimut daun. Sementara sisa-sisa daun yang berubah warna menciptakan gradasi warna yang menakjubkan. Tak lama, di depan kami terbentang Schloss Drachenburg, atau Kastil Naga.
Tak jauh dari kastil, di puncak bukit, tampak sebuah bukit batu yang tinggal reruntuhan. Kata Johann, itulah Drachenfels yang berarti Batu Naga. Disebut Batu Naga karena menurut cerita setempat, dahulu kala di dalamnya, Sang Naga Fatnir, jelmaan dari seorang sakti keturunan dari raja diraja kaum dwarf Hreidmar, berdiam di liang gua yang penuh emas dan berlian.
Saya bingung, menikmati pemandangan atau bersibuk mencari info on-the-spot dari gawai pintar tentang legenda Fatnir itu. Mencari sang ksatria dan sang putri. Melihat itu, Mai tertawa dan berujar, ”Santailah kawan, baiknya kau nikmati saja pemandangannya.”
Pepohonan warna-warni musim gugur, menjulang dengan angkuh menentang awan dan angin. Di bawah, di kejauhan, sungai melingkar-lingkar seperti ular perak. Walau kisah tentang Fatnir tak tuntas saya ketahui, jiwa serasa tenang, dan semoga ketenangan ini membawa ketangguhan. Setangguh jiwa Beethoven, terhadap apa pun beban hidup ke depannya.