Sebuah Apriori
Aku sering lupa wajah sendiri.
Lalu, aku berkaca dalam kontemplasi.
Apakah telah begitu layu,
Atau masih seberingas dulu.
Aku melihat seorang lelaki di hatiku,
Yang ternyata adalah diriku sendiri.
Terasing dari masyarakatnya.
Terasing dari zamannya.
Mengembarai eksistensi.
Mendulang makna dalam sunyi.
Menerka-nerka dalam esensi,
Di antara gelapnya Aforisme Bumi.
Dalam sepi,
Ia yakin akan pasrah.
Tumpahlah sembah
Hamba yang tertatih-tatih letih
Dalam puisi,
Ia seketika meraih jati diri.
Terciptalah susunan diksi
Bahwa, tiada cinta tanpa di uji
—
Selepas Kurusetra
Aku masih mencari-cari diri-mu
Di antara belukar wana giriwarsa
Aku masih mencari-cari diri-mu
Di antara arakan awan dirgantara
Aku masih mencari-cari diri-mu
Di antara gemerlap riuh prasada
Aku masih mencari-cari diri-mu
Di antara heningnya tirta amarta
Aku masih mencari-cari diri-mu
Di antara serat-serat manuskrip renta
Aku masih mencari-cari dirimu
Di antara kidung-kidung asmaradhana
Namun, masih saja tak kutemukan
Tapak tilas daksa-mu yang jatarupa
Entah karena hilang dimakan ingatan
Entah karena mengirap ditelan pawana
Tapi kasihku, aku akan tetap mencari-mu
Berbekal pangestu bak adipati dan cinta
Aku akan melacak jejak keberadaan-mu
Ditemani bak senopati dan senaya-nya
Dimulai dari mayapada
Tempat kita bersarak
Juga merasakan samsara
Bahkan sampai lokatraya
Dan, setelah melanglang buana
Sedekat-dekat kelana
Sejauh-jauh kembara
Pada akhirnya kutemukan jua
Nama-mu, yang terpampang paripurna
Dengan tuan yang entah siapa
Lengkung janur pun menguning
Seraya terang menyingsing
Lantas aku mendapatkan warta merta
Bahwa kau akan menggelar wiwaha
Seketika batinku keruh oleh prahara
Laiknya kalabendu tanpa kaladuta
Hitam-ku kian membuncah
Putihku semakin memucat
Merah padam sudah durja
Mengharu biru pula atma
Ternyata kau berusaha melarikan diri
Dari asmara yang kulumuri kalpasastra
Ternyata kau berusaha angkat kaki
Ketika kujadikan nirwana sebagai mahar cinta
Apakah selama ini aku melamar seringai jelaga, sehingga kau malah memilih untuk menikahi marabahaya?
Lelah kumencari sahaja
Di antara petuah para pujangga
Hingga, tualang-ku semakin lenggana
Berpangku di tangan nasib yang hina
Dengan berat kutanggalkan masa silam
Agar membias moksha bersama malam
Kutinggalkan seluruh hikayat kelam
Agar dapat meraba hikmah kalam
Kau, sungguh berhasil mengantarkan-ku
Ke persinggahan-persinggahan
Di mana aku harus menggagas jalan
Untuk bergegas menuju-mu
Meski sayangnya,
Kau menua bersama
Dengan dia yang
Tentu bukan aku
Tapi kasihku,
Sebelum setra dikutuk sabda
Akan aku maklumatkan satu ikrar
Perihal swarga loka yang akan kubakar
Dan aku bernazar,
Akan kubangun kembali swarga loka
Di atas puing-puing reruntuhan angkara
Apabila lentera cinta itu kembali berpijar
—
Bertaklid Cinta
Aku bukan pujangga,
yang bergelimang karya
puisi maupun prosa
Aku tak memiliki tinta emas,
dalam seni kesusastraan
maupun ilmu bahasa
Aku juga bukan seorang filsuf,
yang lihai berdialektika
ataupun beretorika
Karena aku tak memiliki otak brilian,
yang mahir merapal esensi
dan menakwilkan makna
Bukan pula rohaniwan,
yang masyhur seantero mimbar
apalagi pondok nirmala
Sebab aku tak memiliki apapun,
laiknya serambi surga
bahkan selasar neraka
Aku bukan pula tukang pahat,
yang datang dari abad-abad
jahiliah suram nan gelap buta
Karenanya aku tak memiliki sejarah,
bersama ortodoksi fetis arca
dan pengultusan berhala
Tetapi sayangku,
ingin rasanya kukenang dirimu
seperti yang dilakukan kedua tanganku
Dalam menjamah,
jahanamnya gunung serta palungmu
dan lekak-lekuk tubuhmu yang indah itu
Lalu menghiasinya,
dengan taman bunga
dan beberapa kecupan
tepat di keningmu
Tak luput jua,
antologi tentang renjana
alegori matinya logika
kitab-kitab suci cinta
dan miniatur buah dada
Duhai kasihku,
pena dan kertasku
itu lebih penting
ketimbang kita berdua
Sebab di sanalah,
satu-satunya notasi intisari cinta
di dalamnya orang-orang kan temukan
kecantikanmu sekaligus kegilaanku
Sayangku,
aku ingin menghabiskan seluruh bakatku
untuk menulis ulang tentang kasihmu
atau, membumbui kembali setiap huruf
hijaiah dari alif hingga ya’ dengan titik
Ini memanglah pendirian,
yang tak sejalan dengan
riwayat pengembaraanku
juga hikayat cintaku
Tapi sayangku, maafkan aku
akan betapa daif dan kuyunya diriku
bilamana aku tak terlalu jantan
untuk memberimu risalah tambahan
Teruntuk,
menghitung noda-noda sundal
yang terlukis pada emas pundakmu
Teruntuk,
menghitung cucuran air mata
yang mengalir deras dari matamu
Teruntuk,
menghitung ikan-ikan berwarna merah
yang aku pelihara di telukmu
Teruntuk,
menghitung konstelasi gemintang yang kutemukan di balik celana dalammu
Teruntuk,
menghitung dusta buaya yang kusembunyikan diantara buah dadamu
Sekali lagi,
Ini adalah kredo yang tak selaras
dengan arogansi ego lelaki
dan jemawa dari kedua payudaramu
—
Menyenggamai Cinta
Komitmen,
tak pernah turun tiba-tiba
dari kamar-kamar privat
maupun kasur-kasur kuat
Ada rambut pirangmu,
yang tergerai angin lembut
seusai janji menemukan jumpa
Ada bibir merahmu,
yang terlumat air liur cair
sehabis cumbu menghapus gincu
Ada leher mulusmu,
yang melongok tengkuk nista
selepas ikan membuat tanda
Ada mata beningmu,
yang memandang keringat hangat
setelah desah membakar gairah
Dan,
aku memanjat ke surga
lewat tubuh sintalmu
Seketika,
hibat klimaks dengan hebat
mengeluarkan benih-benih cinta
Namun, masih saja kau pertanyakan
dimanakah cinta saat gelap buta
ketika tanpa aba-aba
lampu-lampu itu padam
—
Kawula, Manunggal Gusti...
Aku bermunajat pada-Mu.
Demi Tuhan sang raja semesta ini.
Perihal cinta yang mulai membiru.
Di atas mimbar-mimbar penuh ambisi.
Samudera kalam yang suci.
Telah sempit dan mati dalam tafsir duniawi.
Karena lelaku dusta pemuka agama palsu.
Yang mengobral surga bertaklid nafsu.
Aku pun memang jalang dan penuh birahi.
Bolehkah? Kusentuh dada puan-Ku?
Bolehkah? Sejenak saja ku nikmati.
Sepasang payudara aduhai itu.
Namun, manakah yang lebih durjana?
Aku yang mengultuskan dan menauhidkan puan-Ku.
Ataukah mereka yang memprofankan dan menduakan engkau?
O Tuhanku,
Aku masih belum mafhum nan lugu.
O Tuhanku,
Aku hanyalah insan yang naif dan daif.
Tuhan, sungguh aku membutuhkan metafora.
Dalam sosok fana seorang manusia.
Tuhan, jika diizinkan lidah dan hati ini ingin bersaksi.
Bahwa tiada Tuhan selain engkau, dan tiada perempuan selain dia.