Gelegar media sosial kembali membahana. Perihal ancaman pemerintah melalui tangan Kementrian Komunikasi dan Informasi pelan tapi pasti telah membikin beberapa penyedia layanan daring ketar-ketir. Tidak hanya itu. Pengguna dari layanan tadi ikut ketiban pulung. Saya curiga “korban” ini kebanyakan berasal dari generasi Z. Yang menurut Graeme Codrington & Sue Grant-Marshall adalah kelompok kelahiran 1996-2009/12.
Generasi ini merasa paling “sial”, karena mereka lebih lekat pada dunia daring. Bahasa lain dari ketergantungan. Sebabnya hanya satu, sejak mereka lahir sudah dimanjakan atau terbiasa dengan benda kecil bernama gawai pintar. Artinya, disaat bersamaan, menonaktifkan beberapa layanan dengan berbagai pertimbangan akan berdampak pada eksistensi mereka. Minimal mereka terancam gabut untuk jangka waktu yang tidak menentu.
Pemberlakukan Peraturan Menteri KOMINFO Nomor 5 Tahun 2020 ini sudah sejak awal memang sudah memancing pro-kontra. Sisi lain juga dari aturan ini ialah pilihan untuk menerapkan secara penuh setelah dua tahun ditetapkan. Cukup menarik, bukan? Apa karena kebijakan di atas keluar saat bangsa ini tengah berjibaku dengan pandemic yang melanda kita dua tahun silam? Entahlah.
Tahukah tuan dan puan sekalian, ternyata ada Rancangan Undang-Undang (RUU) yang sejak 2016 di inisiasi namun selalu menemui jalan buntu dan merupakan penangkal utama ketakutan penyedia layanan daring untuk mendaftarkan produknya di formulir Penyelenggara Sistem Elektronik? Namanya RUU Perlindungan Data Pengguna (RUU PDP). Rancangan peraturan ini sudah sejak berhembus selalu saja ada pihak yang “terkesan” menghalang-halangi.
Sumber: indonesiabaik.id
Ada saja alasan yang mencuat untuk mengulur waktu. Mulai dari aspek infrastruktur hingga kesiapan sumber daya manusia. Tidak ketinggal tarik menarik beberapa pasal karena pihak tertentu merasa dirugikan. Jangan heran jika dari waktu ke waktu kebocoran data pengguna selalu jadi pekerjaan rumah yang tidak kunjung selesai. Banyak kasus yang sudah terjadi. Kebocoran data BPJS setahun silam atau tersebar luasnya informasi pengguna aplikasi Peduli Lindungi adalah contoh nyata.
Tidak hanya berhenti sampai di situ. Pemantauan terstruktur, sistematik, dan masif pada beberapa penyedia layanan daring (PSE) ini meninggalkan fenomena dan noumena (dualism Kant) yang tidak kalah menariknya. Bahwa upaya tersebut tujuannya untuk “menjaga” para pengguna daring yang berada di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia perlu kita apresiasi. Tapi, apakah sebatas itu? Coba lihat penyedia layanan yang telah dan belum mendaftarkan produknya ke PSE.
Untuk membantu tuan dan puan sekalian, saya ambil contoh satu layanan daring (aplikasi) yang telah diblokir dari total sembilan belas. Paypal. Aplikasi ini begitu memesona karena ternyata ada hubungannya dengan hajat orang banyak. Misalnya Paypal. Layanan transaksi digital ini berangkat dari niat untuk pengalih metode klasik (kertas/cek dan wesel) ke cara baru non fisik.
Sederhananya begini. Jika sebelumnya kita masih menggunakan cek atau kertas (khusus) sebagai tanda sebuah transaksi tertentu, Paypal menyediakan pilihan transaksi melalui surat elektronik. Secara fungsi antara Cek/Wesel dan surat elektronik yang dikeluarkan Paypal sama persis. Jika cek atau wesel eksklusifitasnya ada pada si pemilik, bank, dan penerima, begitu pun dengan surat elektronik milik Paypal.
Kelebihan paling mencolok dari Paypal dibandingkan cara transaksi konvensional adalah tidak ada batas saldo. Seperti yang kita ketahui, untuk kategori Cek sangat terbatas kepemilikannya untuk pemilik akun dengan jumlah saldo besar. Hal inilah kemudian membuat Paypal jadi alternative untuk sekarang. Sekaligus berubah jadi laiknya Buldoser menghancurkan system transaksi konvensional milik institusi keuangan (bank).
Karena penggunaan Paypal yang lebih mudah dibanding layanan Bank, metode tersebut jadi pilihan untuk mereka yang mencari rejeki lewat jalur serabutan. Tidak sedikit juga penyedia kerja daring lebih memilih pakai layanan Paypal dibanding Bank untuk pembayaran jasa yang mereka butuhkan. Intinya, semua pihak yang memilih layanan transaksi daring (Paypal) karena mudah dan fleksibel. Namun tidak meninggalkan prinsip eksklusifitas disaat bersamaan.
Nah, coba bayangkan jika kondisi di atas kemudian harus tiba-tiba berhenti dengan sebuah alasan “menjaga” rakyat Indonesia. Kira-kira bagian mana yang jadi focus dari kata “menjaga” tadi jika disaat bersamaan justru memorak-perandakan ladang rejeki sebagian rakyatnya. Parahnya lagi, aplikasi lain yang fungsinya sebagai wahana perjudian daring justru dengan leluasa beredar hanya karena sudah daftar PSE.
Lagi-lagi, kata “menjaga” jadi sedemikian problematisnya belakangan ini. Karena jika kita mengacu pada kitab berbahasa Indonesia atau biasa kita sebut dengan Kamus Besar Bahasa Indonesia, diksi “menjaga” maknanya antara lain mengiringi untuk melindungi dari bahaya; mengawal; mengawasi sesuatu supaya tidak mendatangkan bahaya; mencegah (bahaya, kesukaran, kerugian).
Berdasarkan itu, yang paling dekat dengan definisi dari batasan untuk latar belakang pemberlakuan PERMEN KOMINFO No.05 Tahun 2020 mungkin pada dua bagian terakhir. Itupun hanya berhenti pada kata “supaya” serta “mencegah” dan kemudian dilanjutkan dengan kalimat: warga negara (untuk) jadi terbatas ruang geraknya. Kurang lebih batasan baru dari kata “menjaga” jadi: Mengawasi sesuatu supaya warga negara jadi terbatas ruang geraknya; Mencegah warga negara untuk jadi terbatas ruang geraknya.
Apakah seperti itu?
Lagi pula, kok Lembaga pemerintah terlihat doyan blokar-blokir? Mirip Anak Baru Gede yang ngambek sama pacarnya saja.