Terombang-ambingnya nasib RUU PKS (Dibaca : Rancangan Undang-undang Penghapusan Kekerasan Seksual) di Negara kita menimbulkan dampak berupa "Melemahnya peran penting" dari Undang-undang itu sendiri kendati pun saat ini sudah disahkan menjadi 1 dari rangkaian UU yang ada di Indonesia.

Sekarang kita akan kilas balik terlebih dahulu mengenai terjal dan curamnya perjalanan RUU PKS yang sudah mulai dimunculkan ke permukaan sejak tahun 2012 dan hingga tahun 2014 pun, status dari RUU tersebut tetaplah hanya sebuah "Rancangan."

Hingga memasuki tahun 2016, barulah rancangan diterima oleh Wakil Ketua DPR RI berikut Presiden RI kala itu, Bapak Jokowi. Pada tahun 2017 sampai dengan 2018, RUU PKS tersebut mulai didiskusikan dengan berbagai pihak seperti Kementrian Agama, Budaya dan lain-lain. Nahasnya, di tahun 2019 RUU PKS justru mengalami banyak sekali penolakan.

Tidak hanya berhenti sampai di situ, pada tahun 2020, Komnas Perempuan kembali mengajukan RUU PKS, hingga menjadi prioritas di prolegnas 2021. 

Pada tahun tersebutlah 6 point penting dari RUU PKS kembali didiskusikan mulai dari ; Pencegahan, 9 bentuk tindakan pidana, Sanksi, Hukum pidana, Hak korban, serta Pemantauan.

Begitu juga dengan nama "RUU PKS yang berubah menjadi RUU TPKS." Hanya saja, di dalam susunan terbaru Rancangan Undang-undang, sejumlah 85 pasal justru dihilangkan.

Alhasil, seperti yang sudah diketahui oleh publik sekarang ini bahwa RUU TPKS sudah disahkan dalam rapat paripurna DPR RI di gedung Nusantara II, Senayan Jakarta pada tanggal 18 Februari 2022 kemarin.

Lantas apa lagi yang sekarang ini menjadi permasalahan?

Pasca disahkan sebagai 1 dari rangkaian aturan resmi yang ada di Indonesia, nyatanya kedudukan UU TPKS (Dibaca : Undang-undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual) ini masih tidak kuat atau Lemah.

Hal tersebut dikarenakan "Terpecahnya sudut pandang" dalam memahami diksi demi diksi yang tercantum dalam UU itu sendiri. 

Dalam tulisan ini, saya akan menyampaikan sudut pandang saya pribadi dalam menanggapi sikap yang diambil oleh para "Critical person" yang ada di "Atas-atas" sana.

Dalam sebuah "Diskusi panas" yang melibatkan perwakilan Komnas Perempuan begitu juga dengan perwakilan dari Partai PKS. Saya menyimpulkan bahwa ;

"Di Negara Indonesia ini, ada banyak sekali orang pintar, namun sayangnya tidak solutif."

Sebenarnya, hampir semua statement yang disampaikan oleh perwakilan Partai PKS berisi "Penolakan" yang menjurus kepada"Penggunaan diksi" yang dicanangkan oleh Komnas Perempuan.

Dimana pada RUU tersebut, seperti di-copy paste secara mentah-mentah dari aturan yang ada di Negara-negara Barat seperti Amerika, Inggris dan sebagainya.

Mengingat seks bebas diperbolehkan di Negara Barat, untuk itu dibuatlah UU Kekerasan Seksual yang bertujuan melindungi korban dari tindakan seks berupa "Paksaan."

Dari sanalah muncul istilah "Pemikiran Feminis" untuk Komnas Perempuan lantaran meng-copy paste tanpa melakukan pilah-pilih kata terlebih dahulu.

Sedangkan di Indonesia, seks bebas sudah jelas bertentangan dengan Agama dan Pancasila, lalu untuk apa dibuat UU Kekerasan Seksual? Mau "Dipaksa" atau pun "Sama-sama suka," tetap saja seks bebas di Indonesia, sama sekali tidak dibenarkan.

Itulah yang menjadi akar penolakan dari Partai PKS hingga muncul istilah "Pemikiran Konservatif" bagi mereka-mereka yang begitu keras menolak RUU PKS ini hanya dengan didasarkan oleh "Kerancuan diksi" semata.

Sebagai orang-orang yang barang kali "Merasa pintar dan kritis" ada banyak sekali para "Pemikir Konservatif" yang melakukan demo besar-besaran untuk menolak UU TPKS ini dan "Lebih pintarnya" lagi demo tersebut dilakukan oleh kaum perempuan.

Halo, jika dengan menolak UU TPKS anda sekalian justru "Merasa pintar dan kritis" percayalah bahwa yang "Lebih pintar dan kritis" dari anda justru akan "Mentertawakan" anda-anda semua.

Hal ini sangat-sangat disayangkan. Jika benar-benar pintar dan kritis alangkah lebih baik para "Pemikir konservatif" justru membantu "Merapikan dan memperbaiki diksi" hingga menjadi Rancangan Undang-undang yang layak dan sesuai dengan nilai Agama dan Pancasila.

Bukan dengan membabi buta melakukan penolakan yang saya dan barangkali jutaan masyarakat "Pemikiran Feminis" beranggapan itu justru tindakan yang sangat dangkal.

Betapa terbakarnya jiwa kaum perempuan yang ingin bersama-sama melindungi kaum perempuan, namun harus melihat kaum perempuan lainnya di luar sana malah mengangkat spanduk penolakan terhadap UU tersebut. Ini benar-benar seperti kesesatan paradigma, wahai perempuan!

Sebagai penutup, sekarang ini mengingat UU TPKS memang sudah disahkan, bersamaan dengan maraknya kasus Kekerasan Seksual di Indonesia, saya mengharapkan kerja sama dari "Semua pihak" untuk "Memperkuat" peran UU itu sendiri.

Jangan seperti kasus pelecehan seksual yang terjadi di lingkungan pendidikan Universitas Riau, pelaku divonis bebas dan dinyatakan tidak bersalah. 

Ini jelas merupakan salah satu imbas dari "Lemahnya" UU TPKS yang sudah disahkan beberapa bulan lalu, sehingga para "Petinggi" masih bisa menyepelekan peran dari UU tersebut.