Siang tadi saya iseng-iseng scroll lini masa twitter, melepas penat menumpuk akibat kerjaan yang sengkarut. Walaupun WFH, tapi otak tetap harus dipaksa menurut, demi cuan yang tak boleh surut. Tiba-tiba, terlintas sebuah thread menarik, berbicara tentang apologi jika manusia yang hanya mencapai rata-rata itu tidak masalah. Nah, membaca thread--biasanya disebut utas--tersebut memberikan saya semacam morfin yang meredakan pikiran-pikiran saya yang seperti kabel headset; serapih apapun kamu menyusunnya agar ia tertata, kabel itu akan tetap belibet pada akhirnya.

Thread itu menjelaskan kisah si penulis yang terpaksa memendam mimpinya sebagai seorang penulis yang dapat hidup --mewah tentunya, seperti penulis karya best-seller luar negeri macam J. K Rowling, Stephen King, dan lain-lain--dari tulisannya. Setelah mencapai beragam kegagalan, beragam kegetiran, dan beragam penolakan menyakitkan, ia memutar haluan diri untuk mundur dan hidup laiknya manusia biasanya, bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidup.

Saya pribadi masih berusaha belajar menulis, syukur-syukur menjadi seorang penulis. Namun, semenjak beberapa kali dihadapkan kenyataan bahwa saya tidak berbakat akan itu, saya mengecilkan api yang membara tentang cita-cita menjadi penulis, namun tidak serta-merta mematikan api itu. Dan, dari thread itu juga dan balasan-balasan di bawahnya, saya masih percaya terdapat beberapa orang yang memang berhasil menempuh mimpinya, dengan slogan "Pantang menyerah, bahwa batu lama-lama akan terbelah jika diteteskan air terus menerus." Tapi, sayangnya, tidak semua orang.

Tentu, kalimat itu selalu berseliweran, setidaknya dalam setiap kesempatan-kesempatan motivasional berbasis massa yang memberikan angan semu terkait kesuksesan. Mulai dari seminar investasi saham, motivasi beasiswa, kelas-kelas kepercayaan diri, Kiat sukses di usia muda, sampai seminar kesuksesan yang digagas usaha-usaha berbasis keuntungan downline macem MLM.

Tidak, bukan bermaksud memukul rata semua seminar-seminar motivasi sama halnya dengan seminar MLM, sebuah hal negatif. Tapi, jika dilihat seksama, semua menjanjikan hal yang sama, dengan bukti yang sama. Bahwa kamu bisa sesukses si pemberi materi, asal tak menyerah menghadapi rintangan dan tantangan untuk menjadi kaya, menjadi sukses. Bahwa sukses butuh proses, bahwa kaya harus berdarah-darah dulu.

Ya, saya percaya secara teoritis dan epistemologis lagi rasional bahwa air dapat melubangi batu yang amat keras. Tapi, tiga hal yang kadang luput dari para success-seeker yang memampang kalimat itu di setiap lembar buku catatannya, di setiap tempelan di daun pintu kamarnya dan bahkan wallpaper hapenya. Coba tanyakan, sama kah sumber air kita? Sama kah waktu proses kita? Sama kah tebal batu yang kita lubangi? 

Beberapa orang sukses tadi meremehkan orang-orang yang menyerah di tengah jalan dalam menggapai mimpinya. Ia anggap mereka yang menyerah seperti meninggalkan sebuah galian yang padahal jika sekali lagi ia cangkul itu tanah, emas berton-ton akan ia dapat--deskripsi ini biasa ditemui dalam bentuk gambar visual, saya yakin pembaca juga pernah melihatnya. Namun sayangnya, kita lupa, kita bukan si penggali tanah yang menyerah. Kita penonton, yang mudah berkomentar, mudah meninggalkan.

Kita bukan si penggali tanah yang mungkin berpikir--saat ia meninggalkan galiannya--ia lebih baik menanam wortel atau cabai dari pada menggali tanah yang tak ada ujungnya. Kita bukan si penggali tanah yang berpikir, jika ada hal lain yang masuk akal yang lebih baik dikerjakannya untuk menyambung hidup. Bahwa keluarganya tak bisa lagi menunggu dirinya menggali emas itu. Atas dasar pertimbangan matang, ia tinggalkan galian itu.

Mungkin mudah mencap seorang yang menyerah ialah sampah; tak mau berusaha, tak bisa menahan susah. Tapi, beberapa orang yang menyerah bukan benar-benar menyerah; ia terpaksa menyerah karena keadaan menghendaki itu. Maka, bagi mereka yang merasakan, orang-orang itu tidak sehina anggapan para pemateri seminar kesuksesan. Mereka hanya orang-orang yang menerima keadaan, sadar bahwa mereka bukan pengendali kehidupan.

Maka dari itu, saya sungguh percaya Tuhan itu Maha Adil. Ia berikan angin segar kepada hamba-hambanya yang sedang dihantam kerasnya kehidupan, dihadapkan bahwa yang ia harap dan cita-citakan gagal; bahwa yang ia anggap baik, belum tentu baik di mata Tuhan dan yang ia anggap buruk, belum tentu buruk di mata Tuhan.

Saya tidak memandang mereka yang tak menyerah dalam menggapai cita-cita, mimpi dan kesuksesan adalah mereka yang tidak realistis. Justru hal itu baik, mengutip Nietszche, bahwa manusia seharusnya menjadi ÜBERMENSCH, yang menantang apapun halangan yang menghadang dan tidak menyerah pada nasib.

Namun, saya hanya tidak setuju jika para Übermensch itu meremehkan mereka yang "terpaksa" menyerah, mereka yang berhenti karena percaya jika ada hal yang lebih penting dari sekedar mengejar kesuksesan. Apa itu? Silakan berdiri di depan cermin, lalu tanyakan pada ia yang ada di dalam cermin itu.