Mungkin tak banyak yang tahu bahwa belum lama ini dunia merayakan Hari Tawa Sedunia (World Laughter Day) yang dirayakan tiap minggu pertama Mei. Tahun 2018, ia kebetulan jatuh pada tanggal 6 Mei, empat hari setelah kita merayakan Hari Pendidikan Nasional.
Memang aneh rasanya memiliki hari yang didedikasikan untuk tertawa, aksi yang tak mungkin lepas dari keseharian manusia. Namun demikian, tentu saja ada filosofi di balik pencanangan hari ini sebagai perayaan global.
Adalah Madan Kataria, seorang warga India yang pertama kali mencetuskan Hari Tawa Sedunia. Kataria adalah seorang dokter yang juga pendiri Laughter Yoga Movement, sebuah aliran yoga yang meyakini bahwa tertawa adalah media efektif mencapai ketenangan jiwa.
Yoga ini dilakukan dengan mengondisikan peserta mengatur pernapasan sedemikian rupa, hingga akhirnya mereka dapat tertawa secara alamiah. Ajaran ini pun tersebar ke pelbagai negara, termasuk Indonesia.
Tak ingin ajarannya hanya berhenti di kelas yoga, Kataria mencetuskan Hari Tawa Sedunia di Mumbai pada tahun 1998. Hari tersebut diramaikan oleh kegiatan tertawa massal yang diikuti oleh 12.000 orang. Bagaikan virus, ajang itu pun menular ke seluruh dunia, hingga akhirnya Hari Tawa Sedunia diperingati secara internasional.
Umumnya, hari tersebut diisi dengan kegiatan berkumpul di ruang publik, seperti lapangan atau taman kota demi satu tujuan: tertawa bersama. Biarlah disangka gila sejenak, toh hanya sehari.
Malu untuk melakukannya di keramaian? Tak mengapa. Tanpa harus terlibat dalam kegiatan ketawa bareng pun, kita sebenarnya mampu meresapi pesan Hari Tawa Sedunia.
Visi Kataria dalam merumuskan hari tersebut amatlah sederhana. Beliau hanya ingin kita menemukan kembali persaudaraan di tengah hiruk-pikuk kehidupan. Tawa, bagi Kataria, adalah sebuah bahasa kebahagiaan yang universal.
“Kita sudah membayar mahal dampak dari menjalani hidup dengan serius, maka inilah saatnya tertawa dengan serius,” ungkap Kataria merangkum niat mulianya.
Saya yakin, masyarakat Indonesia tidak perlu lagi diingatkan untuk tertawa. Kita adalah bangsa yang sangat gemar tertawa.
Bagaimana tidak, kita dapat menemukan lelucon nyaris dalam kondisi apa pun. Acara lawak televisi tak pernah kehilangan pasarnya: mulai dari komedi tunggal hingga komedi sketsa yang berisi lemparan tepung.
Akun-akun yang menawarkan lelucon receh juga kian laku di media sosial. Ada film yang sedang populer? Tunggu saja, dalam hitungan jam, parodi-parodi kreatif ala warganet Indonesia pasti langsung beredar.
Pun, masih hangat di pikiran kita bagaimana pada 2016 lalu, teror bom kawasan Sarinah malah berbalik menjadi olok-olok bagi sang teroris lewat berbagai meme kocak bertagar #KamiTidakTakut. Dokter Kataria pun tak perlu risau, sudah dari sananya masyarakat Indonesia doyan mengocok perut sendiri.
Namun demikian, gemar tidaklah sama dengan cerdas. Sama halnya dengan seorang yang gemar bermain bola, namun belum tentu cerdas dalam berstrategi. Begitu pula dengan tertawa, tidak semua orang cerdas dalam tertawa.
Bagaimana seorang dikatakan dapat tertawa secara cerdas? Paling tidak ada dua indikator. Pertama, ketika ia tahu kapan harus tertawa. Kedua, ketika ia mampu menertawakan diri sendiri. Semuanya terkait dengan bagaimana kita melakukan relasi, baik interpersonal maupun intrapersonal.
Pertama, dengan tahu kapan harus tertawa, seorang yang cerdas akan melandasi segala aktivitas tawanya dengan empati terhadap sesama. Tujuan tertawa bagi orang yang cerdas adalah untuk mengajak orang lain berbahagia bersamanya, bukan untuk berbahagia di atas penderitaannya. Tentu saja kemampuan ini tidak dimiliki oleh koruptor atau perampok kelas kakap yang hanya tahu cara tertawa untuk diri sendiri.
Selain itu, indikator kedua dari orang-orang yang cerdas tertawa adalah mampu menertawakan diri sendiri. William Arthur Ward (1921-1994) menyatakan bahwa kemampuan tersebut adalah sebuah tanda kedewasaan seseorang.
Menurut sebuah penelitian yang dilansir oleh TIME, Maia Szalavits (2011), melaporkan bahwa orang yang mampu menertawakan diri sendiri akan cenderung memiliki kesehatan lebih baik. Hal ini masuk akal, karena seseorang dengan kemampuan tersebut akan selalu sadar bahwa dirinya tak lepas dari kekurangan. Saat dikritik pun, ia tidak akan mudah tersulut emosinya dengan menyalahkan pihak-pihak lain.
Untuk poin kedua ini, kita dapat berkiblat pada mantan presiden sekaligus guru bangsa kita, KH Abdurrahman Wahid atau Gus Dur. Beliau adalah salah satu tokoh yang cerdas dalam tertawa.
Dalam beberapa kesempatan, beliau tak segan menyampaikan lelucon yang menertawakan kekurangannya sendiri. Salah satu yang populer adalah kala beliau menyuruh peserta ceramah untuk bersalawat.
Di akhir salawat, Gus Dur menyampaikan maksud beliau menyuruh hadirin melakukannya: "Saya minta Anda bersalawat supaya tahu berapa jumlah yang hadir, saya kan nggak bisa melihat," timpalnya.
Penonton pun gerr.
Di tengah suasana masyarakat yang belakangan agak menegang ini, kecerdasan tertawa adalah sebuah seni sekaligus bekal yang sangat berharga. Ia menegaskan sebuah pesan bahwa kita memiliki kerendahan hati menghadapi kemajemukan dunia. Sehingga, ketika kita tidak bisa mengubah kondisi, pada akhirnya tertawa bersama adalah hal terakhir yang mampu mempersatukan segalanya.
Dengan suasana Hari Pendidikan Nasional yang belum pudar dan masih dapat kita rasakan, Hari Tawa Sedunia adalah waktu tepat untuk mendidik kita makin bijak menyikapi segala perbedaan. Selamat Hari Tawa Sedunia, bangsa Indonesia. Mari tertawa!