Agama jelas berbeda dari apa yang kita bayangkan. Imajinasi tentang tuhan, tak bisa kita samakan gambaran dengan akhirat. Bagi agama, spiritulitas adalah jalan menuju masa keabdian. Agama biasanya menaklukan para pengikutnya dengan segmen pencari kebenaran. Ketimbang memperbaharui masa keadaan.

Seorang pemberontak Protestan melawan ketetapan Gereja Katolik. Itu terjadi bukan karena dipicu otoritas kaum materialis. Tetapi atas keputusan pendeta yang taat; Martin Luther King.

Martin menginginkan jawaban esensi dari eksistensi kehidupan ini apa? Kenapa alam raya tercipta. Untuk apa manusia hidup? Dan kenapa manusia harus kembali? Apakah tuhan punya urusan?

Selain hanya urusan ibadah, ritual dan perayaan natal. Tetapi substansial keagamaan manusia sesungguhnya bagaimana, menurut kewenangan dan otoritas tertinggi Gereja?

Jika Anda berdosa, lalu dikutuk tuhan setelah mati, yang perlu Anda lakukan di hari akhir adalah cepat-cepat membuka ATM dan membeli pengampunan.

Ketika awal abad ke -15 Gereja memperkenalkan bahwa biaya penebusan dosa atas perlakuan jahatnya manusia. Itu dapat ditebus dengan harga pengampunan yang murah.

Anda ingin masuk surga? Bayar 10 koin emas. Anda ingin kakek Heins dan nenek Gertrud bergabung dengan Anda? Tak masalah, tetapi harus bayar 30 koin. Lebih parahnya lagi, ketika Johannes Tetzel, berkata “begitu koin masuk ke kotak uang, jiwa langsung terbang dari api penyucian menuju surga” .¹

Dari perspektif agama, perjalanan spiritual selalu tragis. Semakin banyak yang Martin Luther pikirkan tentang ini. Semakin ragu pula dia terhadap otoritas Gereja. Anda tak bisa begitu saja membeli api penebusan dosa. Paus jelas tak punya urusan pada pengampunan dosa-dosa manusia. Dia tak punya hak membuka gerbang surga dan menutup pintu neraka. Apalagi menipu manusia dengan memalsukan tuhan. Jelas dia tak punya keputusan.

Tetapi, pada tanggal 31 Oktober 1517, ketika Martin melawan ketetapan dan otoritas Gereja, yang ia butuhkan. Dia hanya membawa palu dan paku dengan isi 95 dokumen tesis untuk melawan praktik keagamaan kontemporer, termasuk bagaimana melawan praktik pengampunan dosa. Lutter hanya ingin memajangkanya di pintu Gereja.

Namun apa yang telah terjadi menurut pandangan Protestan adalah justru memicu konflik dan pemberontakan kaum-kaum Paus terhadap jalan menuju surga.

Memalsukan agama

Setelah pengetahuan dan pemahaman Anda ragu tentang agama dan tuhan. Anda akan menyatakan bahwa sains yang akan menggantikan manusia dari surga menuju  robot. Sains memberitahu bahwa kita tak bisa hidup tanpa oksigen. Agama demikian pun menyimpulkan bahwa manusia akan mati, jika kehabisan nafas.

Namun apakah sains bisa mengeksekusi penjahat tanpa pembekapan nafas?

Jelas tidak. Sains tidak bisa menjawab tentang pertanyaan-pertanyaan itu. Hanya agama yang bisa memahami pedoman dari apa yang dikehendak. Karena itu, setiap proyek keagamaan bergantung sepenuhnya pada masalah pengetahuan. Ambil contoh, pembangunan Mall baru di ibu kota Mataram NTB tergantung sepenuhnya pada ahli konstruksi sipil dan pembangunan. 

Ketika pengusaha Mataram memutuskan pembangunan itu pada tahun 2015, para ahli fisika menghitung berapa beban tekanan atau tahanan yang dibutuhkan selama proses pembangunan. Para ahli ekonom memperkirakan berapa jumlah uang yang dihabiskan. Sedangkan para insinyur listrik memprediksi berapa banyak listrik yang dihabiskan.

Namun ada yang lebih koheren dari itu, yakni pemerintah harus menambahkan wilayah. Sekitar 600 penduduk asli kota Mataram akan hilang pekerjaan. Penyebab utamanya adalah bukan karena mereka tak mampu mencari pekerjaan. Tetapi karena di hambat oleh faktor agama dan budaya singretis.

Pembangunan Mall baru itu membanjiri lebih dari 1000 masjid. Tampaknya lebih dari 60.000 penduduk akan terancam hilang pekerjaan, karena pengaruh pasar dan agama tak mampu mencari kesimpulan.

Apapun perspektif Anda tentang pembangunan Mall baru kota Mataram, jelas bukan urusan ekonomi dan keagamaan. Tetapi lebih dari tujuan kemanusiaan. Tak ada model ekonom, tak ada eksperimen fisika, dan tak ada rumus matematika yang dapat menyelamatkan manusia dari sejarah, agama dan pembangunan. Selain budaya Pseudo-skeptis: mengatakan bahwa agama dirinya paling benar, sementara di luar semuanya adalah salah. 

Pemahaman seperti ini, mungkin masuk akal, tetapi Anda salah memahami agama.

Semua agama konsekuensi-Nya mengajarkan manusia tentang kebenaran. Tak ada agama yang mengajarkan manusia kesalahan. Kalaupun agama mendidik Anda berbuat salah. Jelas itu adalah bagian dari pada kultur budaya dan praktik keagamaan. Secara sosiologis, agama menciptakan budaya, tetapi bukan budaya yang menghasilkan agama. Anda keliru, jika memahami agama demikian.

Tetapi Anda benar, jika memasukan agama dalam sains. Soalnya agama lebih dulu muncul, sebelum sains ada. Lebih dulu pencipta ada daripada pengguna. Agama jelas hadir sebagai input. Sedangkan sains sebagai output. Keduanya ibarat male and female. Jika diantara salah satunya terpisah, kemungkinan tak akan bisa bersatu.