Dalam artikelnya yang berjudul Antara Agama dan Budaya Dalam Perspektif Islam, Ahmad Fuad Effendi menegaskan bahwa harus kita mengakui bahwa memang ada permasalahan yang umat Islam hadapi dalam membedakan antara agama dan budaya, antara ibadah dan muamalah, antara sunnah dan bid’ah. Lebih lanjut, dia juga menegaskan bahwa secara teoritis perbedaan keduanya dapat dijelaskan, tapi dalam prakteknya, kedua hal tersebut seringkali rancu, kabur, dan tidak mudah dibedakan.

Jika kita menilik lebih dalam mengenai agama dan budaya, kita dapat memahami bahwa agama itu bersumber dari Tuhan, sedangkan budaya bersumber dari manusia (meskipun pengertian ini sangat abrahamik dan telah banyak dikritisi oleh ilmuan agama). Dengan kata lain, agama merupakan karya Tuhan sedangkan budaya merupakan karya manusia. Dengan demikian, pertanyaan yang muncul kemudian adalah apakah agama bagian dari budaya ataukah budaya bagian dari agama?

Jika kita merujuk pada argumen awal di atas, maka jawabannya adalah tidak. Dalam artian, agama bukanlah bagian dari budaya dan begitu sebaliknya. Budaya bukan bagian dari agama. Namun meskipun demikian, tidak berarti keduanya terpisah. Tetapi tetaplah keduanya saling berhubungan secara erat satu sama lain.

Sebagai contoh, dalam kehidupan masyarakat, kita dapat melihat praktik agama yang barangkali bagi kita masih kurang jelas apakah praktik tersebut adalah bagian dari agama atau bagian dari budaya. Dengan kata lain, cara kita beragama akan mempengaruhi tata cara hidup kita. Begitu pun sebaliknya, kehidupan masyarakat/seseorang sudah pasti mempengaruhi pemaknaan mereka/dia terhadap agamanya. Dari fenomena atau realitas semacam ini, dapat kita simpulkan bahwa agama dan budaya saling terkait dan saling mempengaruhi.

Jika kita tarik ke dalam konsepsi agama, tradisi khitan misalnya. Tradisi ini jika ditilik di dalam konsepsi agama merupakan perintah dari sebuah sabda Rasulullah yang berbunyi “kesucian (fitrah) itu ada lima: khitan, mencukur bulu kemaluan, mencabut bulu ketiak, memendekkan kumis, dan memotong kuku” (H.R Bukhari Muslim).

Tetapi jika ditilik lebih jauh lagi melalui perspektif historis, tradisi khitanan dalam agama ini bermula pada masa Abraham yang dikutip oleh Alkitab sekitar tahun  1900 SM. Padahal dari beberapa referensi, tradisi khitanan sebenarnya telah ada jauh sebelum nabi Ibrahim atau yang dikenal Abraham dalam Alkitab. Peradaban pertama yang melakukan tradisi ini adalah Mesir Kuno. Hal ini terbukti melalui lukisan pada tembok Saggara di makam Ankh-Mahor dari dinasti VI Old Kingdom yang berkisar tahun 2350 SM.

Menurut Flavius Yosephus, sejarawan Yahudi, bahwa ritual khitanan atau yang disebutnya sunat sudah dikenal oleh kaum Arab pra-Islam. Sehingga menurut dia, tradisi khitanan merupakan budaya Arab yang kemudian diislamisasikan dengan datangnya ajaran agama Islam.

Seorang tokoh sejarawan yang lain menuturkan bahwa tradisi khitanan pada dasarnya tidak memiliki argumen mendasar dari agama, tetapi tradisi ini berasal dari argumen budaya dan kesehatan. Semisal dalam perspektif medis, khitanan sangatlah bermanfaat. Sebab dengan berkhitan, organ tubuh yang menjadi tempat persembunyian kotoran, virus, dan lain-lain dapat dibuang.

Argumen budaya dan kesehatan inilah yang mendasari tradisi khitan perlu untuk dilakukan. Karena dengan mendasar pada argumen tersebut, yang tidak bertentangan dengan konsepsi agama, maka ritual khitan itu kemudian dijadikan sebuah bagian dari agama.

Contoh di atas merupakan sebuah sistesis budaya dan agama. Sehingga saya ingin menyimpulkan bahwa dalam beragama ada praktik kebudayaan yang boleh dilakukan selama tidak bertentangan dengan kaidah atau konsep agama. Karena agama pada dasarnya, khususnya Islam, adalah rahmatan lil alamin (rahmat seluruh sekalian alam).

Hal ini senada dengan tuturan Abdurrahman Wahid, atau yang diakrab disapa Gus Dur, dalam sebuah tulisannya bahwa dalam beragama, kita tidak mesti tercerabut dari akar kebudayaan kita, sebab agama dan budaya pada dasarnya bisa berdamai. Ini juga sejalan dengan firman Allah SWT dalam Alquran Surah Toha ayat 2 yang artinya: "Kami tidak menurunkan Alquran ini kepadamu agar kamu menjadi susah."

Meskipun beberapa contoh dan argumen di atas menandakan adanya hubungan antara agama dan kebudayaan, tetapi tidak berarti semua ahli dan tokoh kebudayaan mengakui hal tersebut. Pater Jan Bakker misalnya, dalam bukunya Filsafat Kebudayaan ia menyatakan bahwa tidak ada hubungannya antara agama dan budaya. Karena menurut Bakker agama merupakan keyakinan hidup rohani pemeluknya, sebagai jawaban atas panggilan ilahi. Keyakinan inilah yang disebut sebagai Iman.

Iman menurut Bakker merupakan pemberian dari Tuhan, sedangkan kebudayaan adalah karya manusia. Sehingga agama dan budaya menurut Bakker pastilah berbeda dan saling terpisah.

Dialektika dari Bakker, muncul ahli Antropologi lain yang menyatakan sebaliknya. Heddy S. A. Putra misalnya. Dia mengemukakan bahwa agama merupakan salah satu unsur kebudayaan. Pendapat ini dilatarbelakangi oleh pandangan bahwa manusia memiliki akal-pikiran dan mempunyai sistem pengetahuan yang digunakan untuk menafsirkan berbagai gejala serta simbol-simbol agama.

Sedangkan sebagian ahli yang lain berpendapat bahwa kecenderungan berbudaya merupakan dinamika Ilahi. Salah satu ahli yang mewakili pandangan ini adalah Hegel. Hegel menyatakan bahwa keseluruhan karya insani yang berupa ilmu, tata hukum, tatanegara, kesenian, dan filsafat tak lain daripada proses realisasi diri dari roh Ilahi.

Dari penjelasan di atas dapat saya simpulkan bahwa dalam analisis ahli dan filsuf yang saya baca yang berpendapat tentang hubungan agama dan kebudayaan dapat saya kelompokkan ke dalam dua kelompok besar:

Kelompok pertama, menganggap bahwa agama dan budaya saling berhubungan satu sama lain. Kelompok ini mengakui bahwa agama merupakan sumber kebudayaan. Dalam artian kebudayaan adalah bentuk nyata dari diskursus agama. Kelompok kedua, menyatakan bahwa kebudayaan tidak ada hubungannya sama sekali dengan agama. Pandangan ini diwakili beberapa ahli diantaranya adalah Pater Jan Bakker sebagaimana yang dijelaskan di atas.

*Artikel ini ditulis untuk memenuhi tugas mata kuliah Pengantar Antropologi, 8 Desember 2017, di UIN Alauddin Makassar.