... bahwa kemerdekaan yang kita perjuangkan bukanlah demi bangsa dan Tanah Air, melainkan demi menggantikan posisi kaum penjajah.
Potongan kalimat dari sekapur sirih yang disajikan oleh A.A. Navis itu menyayat. Namun, erangan belum habis. Sayatan belum selesai dibebat. Navis mengerat tanpa ampun, padahal itu baru preambul.
Pengejek kronis kelihatannya bukan sebutan yang berlebihan dari saya untuknya. Navis memang tahan mencemooh dalam banyak sangkala.
Kita pasti ingat kiasnya yang tak lekang dalam cerita pendek (cerpen) "Robohnya Surau Kami" (1956). Pada awal milenium ketiga, ia kembali menggelitik khalayak lewat kumpulan cerita pendek (kumcer) Kabut Negeri Si Dali (2001).
Masih dalam sekapur sirih tadi, Navis menandaskan bahwa ia telah merandai pelbagai periode militeristis di Indonesia: mulai dari okupasi Belanda dan Jepang, perang kemerdekaan, gerakan Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia, sampai rezim Orde Baru.
Ada yang nyaris tak berubah baginya meski keadaan berputar. Ya, laku kekuasaan.
Sepanjang mengecap otoritas yang silih berganti lagi tetap mengandalkan mulut senjata, batin Navis bergolak. Orang-orang di dekatnya banyak yang menceburkan diri ke dalam kemiliteran yang problematik itu, maka susahlah ia.
Berbangga, kemudian muak. Bertenggang rasa, lalu dingin. Kehilangan selera menulis, lantas terdayuh juga. Saya berlega hati sebab Navis akhirnya memutuskan kumcer ini harus didatangkan.
Seturut judul, Dalilah yang kerap muncul di tiap-tiap cerpen. Kadang ia berperan utama, bercerita tentang tokoh lain, menjelma figuran, atau dibincangkan oleh satu tokoh. Dalam cerpen-cerpen awal, ia berlaku sebagai serdadu. Begitu memasuki cerpen-cerpen akhir, ia berganti peran menjadi ahli sastra. Patut diingat bahwa dalam kumcer ini ia bukan malaikat.
Nama "Dali" sendiri dicomot dari "Uda Ali", panggilan untuk Navis dari adik-adiknya. Pengambilan nama itu menandakan bahwa Navis tak nifak bahwa kisah-kisah yang terkandung dalam kumcer ini begitu dekat.
Bukan yang kesekian kali saya baca kumcer ini. Pada hampir-penghujung tahun 2019 inilah, tepatnya bulan Oktober lalu, saya sentuh Kabut Negeri Si Dali.
Mungkin ini memalukan sebab saya butuh nyaris dua puluh dasawarsa. Namun, kejutan bahwa negeri si Dali yang kala itu bersengkarut tak punya perubahan yang berarti pada era kini membuat diri berseru pelan, "Bapak Navis, tenanglah dalam istirahatmu. Jangan engkau tahu apa yang terjadi di sini saat ini. Jangan!"
Potret Hitam-Lawas Alat Negara
Sisi gelap alat negara, terutama angkatan bersenjata, adalah intipati yang dilucuti oleh Navis. Ia mengurai borok itu dengan trengginas hingga saya ngos-ngosan menyimaknya. Superioritas alat negara yang memengaruhi relasi sosial, baik dalam hierarki internal atau terhadap rakyat sipil, ibarat nukleus.
Persona tentara yang gagah berani itu terkadang hanya prestise di kulit. Navis membeberkan bahwa ada dari mereka yang, bahkan hingga pangkatnya dinaikkan, tak mampu mendesingkan peluru untuk memberondong lawan. Adapun dalam "Laporan" diceritakan bahwa Dali ciut begitu pasukan Belanda sudah rapat di medan—bren kebanggaannya yang nirguna akhirnya disita oleh atasan.
Saya panas bara demi tahu bahwa di tengah gerilya ada sejumlah tentara, bahkan guru sekali pun—profesi yang dipandang luhur ketika itu—, yang masih sempat meluangkan waktu untuk menghamba kepada syahwat.
Mayor dalam "Si Montok" mencampakkan istri keduanya yang tengah mengandung begitu perang habis. Juki dalam "Sang Guru Juki" lenggang kangkung selepas bermain-main dengan semua pernikahannya. Lainnya, dalam "Perempuan Itu Bernama Lara", tersebutlah seorang istri dan kumpulan anak buah yang menjadi korban eksploitasi seksual komandan front.
Lepas bercerita dengan latar zaman kolonial Belanda, Navis menggambarkan fasisme dan totalitarianisme pada masa pendudukan Jepang dalam "Marah yang Marasai". Di sana ia menyenggol politik pecah-belah, yang seperti terinspirasi dari Belanda, oleh gunseikan dan kempetai. Fokus barang tentu ada pada isu rasial-religius antara bumiputra dan Tionghoa.
Berbicara soal pembungkaman oleh Orde Baru, ada yang menarik dalam "Penangkapan". Navis mengekspos bagaimana polisi menyuapi seniman-seniman senior yang rajin menyamperi aksi—ia menyebutnya aksi-aksian, term yang sekelas mobil-mobilan. Mereka yang disuapi langsung impoten, karena memang mereka tak punya idealisme.
Selain hal ihwal alat negara, Navis menyoroti pula tatanan masyarakat yang patriarkis. Perempuan yang terlibat dalam setiap cerpen digambarkan nrima, termanipulasi, atau bergantung pada lelaki. Andai tak dijadikan istri kesekian oleh tentara, perempuan desa bisa saja diperkosa. Yang memualkan lagi, semua itu dianggap wajar.
Namun, setidaknya Navis tetap memunculkan keberdayaan perempuan. Ada Lara yang akhirnya berdaulat penuh atas tubuhnya. Ada istri yang melepaskan tembakan kepada suaminya yang menikah lagi diam-diam waktu bergerilya, dengan pistol yang tadinya keok melulu di hadapan musuh.
Ada pula cerpen "Si Bangkak" yang tak secara eksplisit mengisahkan budaya penyalahan korban (victim blaming) dalam konteks kekerasan seksual di tengah masyarakat. Kebiasaan tersebut serta-merta meluputkan pelaku dalam hal tanggung jawab menggunakan rem libidisnya, dan Navis menyentil itu.
Negeri Si Dali Masih Berkabut
Membaca lima belas cerpen gubahan Navis dalam kumcer ini serupa menengok sejarah yang kelam kabut. Penyampaian yang karikatural sekaligus emotif membuat saya menyeringai, lalu mewawas, "Sebentar, kenapa cerpen-cerpen ini amat relevan?"
Walau pernah distigmakan pada saat Belanda masih berkuasa, tentara mulai mengantongi citra positif begitu Jepang mendominasi. Sampai kini ia masih menjadi salah satu profesi yang disegani, sebagaimana polisi—kecuali oleh aktivis agraria dan mahasiswa demonstran.
Politik divide et impera terwariskan kepada kita hingga pengujung dasawarsa 2010-an. Pribumi dan keturunan Tionghoa tak putus-putus dibenturkan agar tiada persatuan. Label kafir yang ditempelkan pada keturunan Tionghoa oleh pribumi tak cuma berlaku dalam cerpen Navis, tetapi juga dalam kenyataan panjang kita.
Ahli seni mendekat kepada penguasa adalah hal biasa. Yang aneh adalah apabila ada sastrawan atau musikus yang tedas mengkritik pemerintah. Jadi, Navis telah apa adanya ketika menyebut mereka ekstrem tengah. Tak peduli sebanyak apa mereka berbusa saat mengoceh tentang politik, kebudayaan, atau filsafat.
Dominasi maskulinitas juga masih merupakan standar. Sekarang perempuan boleh saja dikatakan telah memiliki lebih banyak kesempatan, tetapi lihat beban ganda yang harus terpikul di atas pundaknya. Kalaupun ia muncul ke permukaan sebagai manusia yang patut diakui kapabilitasnya, yang paling banyak disorot tetap hal-hal badaniah.
Saya benar-benar takut andaikan yang diucapkan oleh Navis, yang menjadi kutipan pembuka tulisan ini, benar. Kita tak sadar telah merupa penjajah yang dahulu dihalau dengan keras hati oleh para pejuang. Itu yang terjadi, atau kita seutuhnya sadar, tetapi memasabodohkan.
Saya sejujurnya tak mau berbelit-belit. Barangkali kita sedang meneruskan penjajahan yang dahulu digantikan oleh pejuang-pejuang. Sadar, tetapi memasabodohkan. Duhai, remuk betul hati saya.
Kita sedang menghampiri tahun 2020. Namun, maaf, Dali. Kabut masih belum menyingkir dari negerimu.