Anda pernah dengar kalau bawa paspor terbang ke Banda Aceh Darussalam lebih murah? Seperti diberitakan Bisnis.com, harga tiket penerbangan dengan rute Jakarta-Aceh lebih mahal dari pada Jakarta-Kuala Lumpur (Malaysia). Apa yang sebenarnya terjadi dengan maskapai penerbangan kita?
Namun, tunggu dulu, Anda jangan seketika percaya. Coba silahkan cross-ceck di Traveloka atau pun aplikasi sejenis. Anda akan tercengang.
Bagaimana tidak? Rute Jakarta-Aceh (bandara Sultan Iskandar Muda), per 3 Juni 2019, tertera harga tiketnya Rp 2,5 juta (kelas ekonomi). Sedangkan harga tiket rute Jakarta-Kuala Lumpur malah kisaran Rp 1 juta. Tetapi, ketika terbang dari Jakarta-Aceh dengan transit di Kuala Lumpur atau Penang justru lebih murah tiketnya, yaitu Rp 1,8 juta. Maka, bila Anda ingin dapat tiket murah, sama halnya Anda perlu membawa paspor, bukan?
Dari sini timbul pertanyaan, mengapa terjadi anomali harga?
Penyebab anomali harga tersebut di antaranya; maskapai dengan rute domestik dikenakan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) 10% sedangkan untuk rute luar negeri tidak dikenakan PPN, harga avtur (bahan bakar pesawat) di dalam negeri dikenakan PPN 10% sementara di luar negeri tidak.
Tiket rute domestik ada yang tidak dijual via internet sehingga perlu menambah ongkos untuk agen, penerbangan rute luar negeri tidak dikenakan regulasi tarif batas bawah dan atas, jenis pesawat rute luar negeri berbadan besar seperti sementara pesawat domestik lebih kecil (sumber: infografik bisnis.com).
Faktor-faktor di atas, membuat maskapai menaikkan tarifnya karena beban operasional meningkat. Kalau begitu adanya, kita bisa memaklumi. Sebagaimana dialami oleh PT. Garuda Indonesia yang mengalami kerugian USD 110,2 atau 1,55 trilliun (kurs Rp 14.093).
Di samping itu, kenaikan disebabkan oleh kebijakan maskapai yang tidak menggratiskan bagasi. Tetapi, apabila di saat peak season (musim puncak) harga masih meroket maka hal ini menjadi tanda tanya besar. Seperti pada momen hari Natal 2018 hingga Tahun Baru 2019 harga tiket yang seharusnya turun tidak kunjung turun.
Kementerian Perhubungan RI (Kemenhub), telah berupaya supaya harga tiket pesawat dapat turun. Salah satunya dengan menerbitkan Kepmenhub RI No. 106/2019 yang berisi tentang penurunan tarif batas atas sekitar 12%-16% — dikhususkan untuk kelas ekonomi dengan rute full service (seperti Jawa). Keputusan tersebut didasari, karena terus tingginya harga tiket sejak akhir 2018 sampai sekarang yang tengah musim mudik.
Realitas Hukum Ekonomi
Regulasi yang ditetapkan pemerintah supaya diikuti semua maskapai untuk menurunkan tarif. Namun, anehnya, harga tiket tetap mahal. Hal ini selaras teori ekonominya istilah Adam Smith; pasar sejatinya bebas, tidak dapat dikekang, karena pasar bisa mengatur dirinya sendiri.
Smith mengibaratkannya dengan sekumpulan lebah. Pemerintah, menurut Smith, hanya menetapkan regulasi untuk menjaga supaya tidak ada benturan. Oleh karenanya, seberapa pun pemerintah berusaha membuat regulasi, tinggi atau turunnya harga tidak ditentukan oleh aturan.
Ekonomi itu realistis dan lentur, itu dua kata kuncinya.
Bagaimana pun, penerbangan bagian dari pada proses ekonomi. Entitasnya terdiri penyedia jasa, pemerintah, dan penumpang. Pemerintah memposisikan di atas dan di tengah keduanya. Baik penyedia jasa maupun penumpang harus dirangkul, harus diakomodir, oleh pemerintah.
Tugas pemerintah menjamin keamanan dan kenyamanan keduanya. Namun pemerintah tidak memberikan jaminan keuntungan. Jaminan keuntungan diserahkan kepada keduanya, bagaimana penyedia jasa berusaha mendapat laba sementara penumpang mendapat harga murah.
Oligopoli Penerbangan
Di sini. Bau oligopoli dalam bisnis penerbangan mulai tercium, karena di Indonesia hanya terdiri dua grub; Garuda Indonesia dan Lion Air. Kendati masih ada Sriwijaya Air, tetapi masih menginduk dengan Garuda Indonesia karena terjalin KSO (kerjasama operasi). Dalam hal sini, Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) sendiri mengendus adanya kartel atau oligopoli antar kedua maskapai. Setiap rute perjalanan yang terdapat dua maskapai tersebut, rata-rata, harga tiketnya tinggi.
Oligopoli hampir sama dengan monopoli. Persamaannya terletak pada dominasi pasar. Sedangkan perbedaannya terletak pada jumlah pelaku usaha atau perusahaannya. Kalau monopoli tunggal perusahaan atau berjumlah banyak tapi menginduk kepada satu perusahaan.
Seperti monopoli Google terhadap android dan market place aplikasi gadget. Sementara oligopoli hanya sedikit perusahaannya, misal hanya dua, atau tiga, atau lebih, sehingga memungkinkan deal harga. Pendek kata, oligopoli meniadakan persaingan antar pelaku usaha. Sesuatu yang justru tidak sehat.
Semisal. Pada 8 Januari 2019, Lion Air memberlakukan bagasi berbayar. Dengan rincian, per 5 kg dipatok Rp 155.000, tiap kelipatan 5 kg akan terus bertambah Rp 930.000 sampai maksimal 30 kg.
Kemudian setelahnya, 28 Januari 2019, menyusul Citilink menetapkan bagasi berbayar, dengan ketentuan harga dihitung per-durasi — tapi pada awal Februari ditunda karena mengikuti arahan Menhub. Citilink masih anak perusahaan dari Garuda Indonesia. Dengan kata lain masih dari dua grub maskapai tersebut pemainnya.
Sebelum ini, pada 2010, KPPU pernah menghukum sembilan maskapai. Beberapa di antaranya; PT. Garuda Indonesia, PT. Lion Mentari Air Lines, PT. Sriwijaya, PT. Merpati Nusantara Airlines, PT. Mandala Nusantara Air Lines, PT. Travel Express Aviation Service, PT. Wings Abadi Airlines, PT. Metro Batavia, dan PT. Kartika Airlines.
KPPU memberi sanksi denda kepada maskapai tersebut dari Rp 1 miliar hingga Rp 9 miliar. Hukuman yang diganjar KPPU karena maskapai tersebut terbukti melakukan kartel dalam fuel surcharge (biaya tambahan avtur) yang tidak sesuai dengan harga asli avtur.
Bercermin dari kasus fuel surcharge itu lah, pemerintah membuat regulasi untuk mengatur tarif batas atas dan bawah maskapai. Mula-mula pemerintah menerbitkan Permenhub 49/2012 tentang standar pelayanan penumpang, kemudian Kepmenhub 126/2015 tentang penentuan tarif batas atas dan bawah pesawat kelas ekonomi. Penentuan tarif tidak lagi diserahkan kepada maskapai.
Sampai di sini, teori Adam Smith, bahwa pasar harus dibebaskan, mulai harus dibatasi, karena menyengsarakan penumpang. Rakyat itu sendiri. Karena, maskapai-maskapai yang bersekongkol melakukan fuel surcarge telah melanggar Pasal 10 ayat (a) UU 8/1999 tentang Perlindungan Konsumen.
Open Sky
Masih ingat kah Anda dengan Air Asia? Dulu yang sering beriklan di saluran-saluran televisi dengan model pramugarinya yang cerdas dan menarik, kenapa sekarang tidak tertampang lagi di televisi Anda? Apakah karena sudah menjadi maskapai raksasa sehingga tidak perlu lagi promosi? Atau, malah sebaliknya, Air Asia sendiri sudah tidak beredar lagi di langit Indonesia.
Apabila Anda ceck di platform aplikasi penyedia jasa order moda transportasi umum, maka Air Asia sudah tidak ada lagi di situ. Sejak 4 Maret 2019, Air Asia mengumumkan untuk tidak melibatkan diri lagi dalam aplikasi penyedia tiket perjalanan, terutama Traveloka.
Saya belum mengetahui sebab pasti dan detailnya. Tetapi, sebelum Air Asia menceraikan Traveloka lantaran sudah dua kali tidak dimunculkan di pencarian aplikasi itu. Dari pihak Traveloka hanya beralasan; kesalahan teknis.
Pihak Air Asia menyarankan agar penumpang dapat memesan tiket lewat situs resmi; airasia.com. Namun, sejauh saya telusuri di situs tersebut, tidak tersedia rute penerbangan domestik via situs. Semisal Jakarta-Semarang. Maka, Semarangnya tidak tersedia. Kecuali untuk rute internasional. Baru bisa di-order.
Menurut saya, hal itu tak mengherankan, karena Air Asia merupakan maskapai yang membuat maskapai-maskapai lain terdesak untuk menyesuaikan tarif. Bagaimana tidak? Maskapai yang berslogan “now, everyone can fly” ini tidak memberlakukan bagasi berbayar dan tidak melakukan fuel surcharge, ketika semua maskapai ramai melakukannya. Walau pun, Air Asia adalah maskapai asing yang berasal dari Malaysia.
Oleh sebab itu, ketika ada orang bertanya; mengapa dulu tiket pesawat murah? Salah satu jawaban yang bisa diberikan karena saat itu terjadi perang tarif antar maskapai.
Sayangnya, bagi maskapai sendiri, keadaan perang tarif tersebut tidak sehat untuk keberlanjutan perusahaan, karena harus menurunkan tarif untuk menggaet penumpang sebanyaknya, sedangkan maskapai mengklaim akan mengalami kerugian. Padahal, justru dengan adanya persaingan, harga menjadi ideal dan kompetitif, sehingga calon penumpang berduyun-duyun datang.
Di satu sisi, maskapai menganggap tarif yang tinggi saat ini sudah baik (dengan dalih sesuai dengan regulasi), maka yang menjadi korban adalah pelaku-pelaku usaha pariwisata, karena mengalami penurunan pengunjung dari sebelum-sebelumnya.
Rupanya, Presiden Joko Widodo, memiliki strategi untuk mengatasi persoalan tersebut. Yaitu dengan menerapkan sistem “open sky”, atau membuka peluang pelaku usaha penerbangan atau maskapai asing untuk beroperasi di rute domestik Indonesia.
Maskapai asing tidak lagi singgah di lapangan-lapangan udara internasional, seperti Soekarno-Hatta, namun juga di bandara lokal. Dari sana, akan terjadi persaingan antar maskapai, sehingga terciptalah harga yang membuat dompet penumpang tersenyum.
Sebelum diberlakukan open sky, untuk mencegah dampak buruk sebagaimana pasca-perang tarif lalu, pemerintah masih harus memberlakukan regulasi tarif batas atas dan bawah. Supaya ketika terjadi penurunan, tidak terlalu turun, dan ketika (sewaktu-waktu) naik, tidak terlalu naik. Selanjutnya pemerintah perlu menelisik dan menyelidiki apabila ada temuan oligopoli antar maskapai. Terlebih saat ini yang paling dominan hanya dua maskapai; Garuda Indonesia dan Lion Air.
Apabila pemerintah (dan dibantu aparat) tidak melakukan pemeriksaan seksama, ibarat orang membasmi tikus tetapi melewatkan sarangnya. Maka, tikus-tikus itu akan terus mereproduksi dan melipatgandakan diri. Iklim usaha aviasi jadi tidak akan sehat. Rupa-rupanya, di sini lah visi Presiden Joko Widodo mengarusutamakan pemberdayaan SDM menemukan momentum yang tepat!