Beberapa waktu yang lalu, heboh pemberitaan tentang pelarangan pemakaian cadar oleh Rektor UIN Yogyakarta. Meski larangan ini pada akhirnya dicabut, namun masalah pelik terkait cadar nampaknya tidak akan berhenti seketika.

Membahas tentang penggunaan cadar, nampaknya akan menghasilkan perdebatan panjang serta menghasilkan interpretasi yang juga beragam. Diskursus yang menarik dan mencuat dari kasus ini adalah, perlukah lembaga mengatur cara berpakaian atau bahasa berbeda, perlukah menginstitusi sebuah pakaian?

Cadar dan Indonesia nampaknya bukan hal yang asing lagi untuk dipertemukan pada ruang- ruang diskusi. Nancy J. Smith-Hefner bahkan membuat korelasi menarik tentang perubahan model penutup rambut bagi wanita di Indonesia paska kepemimpinan Soeharto dalam The Journal of Asian Studies.

Ada perubahan corak dan model jilbab yang dipakai pada wanita pada zaman Orde Baru dan sesudahnya, dari yang sedikit terbuka (semacan selendang) ke bentuk yang lebih tertutup.

Namun, terlepas dari apapun bentuknya, satu hal yang disepakati bersama adalah penutup rambut bagi wanita (kerudung, jilbab, cadar) bukanlah hal baru di negeri ini. Istri dari tokoh- tokoh nasional seperti Buya Hamka maupun Ahmad Dahlan sudah menggunakan penutup rambut sedari dulu, walau dengan bentuk dan rupa yang berbeda.

Dunia dan Islamophobia

Semenjak tragedi berdarah yang terjadi di World Trade Center 11 September 2001, ada semacam kekhawtiran publik akan Islam sebagai sebuah agama dan tindakan terorisme yang belakangan terjadi di beberapa bagian di Timur Tengah. Hal ini dapat dirasakan dan berdampak terhadap beberapa kebijakan negara-negara lainnya. 

Di Amerika, misalnya, terjadi pembatasan kunjungan dari warga asing  dengan sentimen keamanan dan agama yang diutarakan oleh Presiden Donald Trump. Hal serupa juga banyak kita temukan di belahan dunia lainnya walau tidak secara legal formal, namun terdapat kekhawatiran yang diasosiasikan terhadap kaum muslim.

Proses tersebut ternyata tidak hanya terjadi di luar negeri saja, namun juga terjadi di Indonesia. Negeri dengan mayoritas Muslim terbesar, Indonesia-- suka atau tidak suka--mengalami goncangan identitas paska peristiwa WTC. Serangkaian aksi teror yang terjadi di beberapa titik di Indonesia seperti Bali, Jakarta dan beberapa titik lainnya menjadi sinyal akan eksistensi teror di Indonesia. Pemerintah secara formal merespon keresahan ini dengan membentuk satuan detasemen khusus yang kemudian bernama Densus 88

Merunut pada kejadian diatas, belakangan terdengar sebutan "Islamophobia", yang diasoasikan dengan kebencian beberapa orang terhadap Islam atau masyarakat Muslim yang dimungkinkan terjadi karena singgungan politik maupun tindakan terorisme. Hal ini tentunya tidak  baik karena mengarah pada tindakan prejudice, berburuk sangka bahkan lebih lanjut dapat menimbulkan gesekan di tengah masyarakat.

Islamophobia tidak hanya merugikan Islam yang mengalami labelling secara negatif serta masif, namun juga para penganutnya yang tersebar di seluruh tatanan dan lapisan masyarakat di seluruh dunia.

Islam dan Institusi

Sebagai masyarakat dengan penduduk Muslim terbesar di dunia, Indonesia tidak bisa dilepaskan dengan agama Islam. Bentuk ini terejawantah dengan banyaknya kita temui rumah ibadah bagi penganut agama Islam di banyak sudut-sudut kota besar, maupun lorong-lorong desa. Hal inipun ditambah dengan jamaknya penggunaan penutup rambut wanita oleh para muslimah, dan hal itu bukanlah hal yang aneh terjadi di tengah masyarakat.

Tidak hanya berurusan dengan ruang privat, dalam ranah umumpun, kehadiran agama ini juga mengalami keberterimaan secara sosial. Misalnya, penetapan hari libur pada hari-hari raya besar Islam, tersedianya Musholla di kantor-kantor pemerintahan bahkan juga sekolah-sekolah.

Begitupula dengan lembaga resmi pemerintah yang secara khusus menangani tentang persoalan-persoalan yang berkaitan langsung dengan Islam seperti Kantor UrusanAgama, Badan Amil Zakat Nasional, bahkan sekolah-sekolah yang bebasis agama sepertiMadrasah.

Sebagai konsekuensi dari penerimaan Islam di ranah umum, maka implikasi yang terjadi adalah penggunaan ruang-ruang publik tersebut, tak terkecuali ranah pendidikan. Pendidikan,mulai dari Sekolah Dasar hingga Perguruan Tinggi mengadopsi Islam sebagai corak pendidikan.

Pada jenjang pendidikan usia dini, kita mengenal  Raudlatul Athfal (RA) untuk mengakomodir pendidikan anak usia 4-6 tahun. Setelah itu Madrasah Ibtidaiyah (MI) atau SD pada istilah umumnya, Madrasah Tsanawiyah (MTs) atau setara SMP dan Madrasah Aliyah (MA) atau setara SMA.

Pada jenjang tertinggi, kita mengenal sebutan STAIN (Sekolah Agama Islam Negeri), IAIN (Institut Agama Islam Negeri) atau UIN (Universitas Islam Negeri) yang mengakomodir kebutuhan pendidikan tinggi dengan nuansa Islam.

Hal di atas mengindikasikan bahwa Islam secara entitas agama dan identas pagi pemeluknya tidak memiliki irisan yang negatif pada ruang-ruang umum, seperti kantor pemerintahan bahkan pendidikan. Keberadaan institusi berbasis keislaman justru menambah cakrawala kebhinekaan dan ilmu di masyarakat dengan tersedianya pelbagai jenjang pendidikan.

Dengan terjangkaunya akses publik oleh umat Muslim, maka secara tidak langsung ruang-ruang umum tersebut membuka pintunya secara lebar atas segala bentuk interpretasi Islam bagi para pemeluknya-- selama hal terebut tidak melanggar aturan dan melawan hukum.

Cadar dan HAM

Terlepas dari berbagai macam interpretasinya, penggunaan cadar di Indonesia juga bukan merupakan barang baru. Banyak kita temukan mereka, para Muslimah, yang menggunakan cadarnya ketika berkegiatan sehari-hari. Hal ini bisa terjadi pada semua jenjang sosial, mulai dari yang bawah hingga yang atas, mulai dari dimensi informal hingga formal. 

Penggunaan cadar sebagai salah satu bentuk interpretasi Islam pada akhirnya memberikan warna tersendiri akan bagaimana masyarakat pada umumnya menerima perbedaa, bukan hanya mereka di luar Islam, namun juga dari dalam kalangan Muslim sendiri yang memiliki preferensi agama yang berbeda.

Sebagai negara yang menjunjung tinggi asas HAM (Hak Asasi Manusia), Indonesia memberikan ruang yang seluas-luasnya kepada para masyarakatnya untuk mengekspresikan kebebasannya secara bertanggung jawab. Penggunaan cadar dalam hal ini juga dapat dianggap sebagai salah satu bentuk intrepretasi atas kebebasan beragama bagi para pemeluknya, yang dijamin di UUD 1945 pasal 28E yang berbunyi:

"Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya, serta berhak kembali.”

Atas dasar tersebut, pelarangan penggunaan cadar dapat diartikulasikan sebagai bentuk intervensi seseorang terhadap keyakinan yang dianut orang lainnya-- atau dalam bahasa lainnya menggugurkan hak orang lain. Namun, yang menarik, apakah institusi berhak membat regulasi yang mengatur ruang ekspresi berbusana?

Misalnya, ketika kita memerhatikan pakaian pada jenjang SD hingga SMA, maka dapat disimpulkan bahwa pada satu sisi, pemerintah (pada hal ini diwakilkan oleh pihak sekolah) memiliki legitimasi untuk meregulasi penggunaan pakaian. Hal ini juga berlaku pada institusi lainnya, militer misalnya. Pakaian tidak hanya berfungsi sebagai identitas anggotanya, namun juga sebagai penunjang kerja dilapangan. Lalu, bagaimana dengan perguruan tinggi?

Formalitas dan penyeragaman berbusana nampaknya tidak merambah pada dunia pendidikan tinggi. Hal ini dapat dilihat dari beragamnya baju yang digunakan mahasiswa/i dalam aktivitas belajar dan pembelajaran. Namun, apakah pengaturan berbusana juga perlu diatur di perguruan tinggi? Saya pribadi beranggapan bahwa hal tersebut harus didasarkan pada urgensi dan penggunaannya. 

Misalnya, untuk membedakan antara mereka yang wisuda atau tidak, atau mereka yang baru masuk kuliah atau yang sudah kuliah dll. Namun, sekali lagi bahwa hal tersebutpun dilakukan atas pemenuhan urgensi, jika tidak, saya rasa tidak perlu.

Dengan konsekuensi berpikir semacam ini, penetapan aturan berbusana di perguruan tinggi seharusnya tidak mendapatkan tekanan serius dari civitas akademika, namun lebih pada proses pengembangan pendidikan dan aspek-aspek yang terkait. 

Terlebih, kampus sebagai wujud nyata kebebasan berpikir selayaknya ditempatkan sesuai porsinya, untuk membebaskan, bukan justru mengekang. Kalaupun alasan yang digunakan adalah untuk mereduksi penyebaran terorisme, maka saya anggap pelarangan cadar bukan sebuah kebijakan yang tepat, karena tidak menyentuh akar masalah terorisme itu sendiri serta cenderung otoriter dalam pemaknaan interpretasi.

Untuk menutup tulisan ini, pengaturan busana dalam sebuah institusi dalam satu sisi memang diperlukan. Hal tersebut dilakukan sebagai identitas dan mempermudah urusan pekerjaan. Jika dirasa pelarangan cadar justru memperoleh banyak kebaikan dan mempermudah pekerjaan di universitas, saya rasa hal itu bisa dipertimbangkan. 

Namun, jika alasannya diasosiasikan dengan radikalisme, saya pribadi merasa tindakan tersebut kurang tepat. Bukan saja mengintervensi kebabasan interpretasi agama seseorang, namun juga mereduksi kaidahperguruan tinggi sebagai tempat "pencerahan" yang membebaskan.