Suburnya ujaran kebencian dan kritik bernada permusuhan memancing MUI untuk mengeluarkan fatwa. Fatwa MUI Nomor 24 Tahun 2017 tentang Hukum dan Pedoman Muamalah Melalui Media Sosial diharapkan menjadi landasan bersikap dalam aktivitas di dunia maya.

Tak sedikit orang yang menganggap bahwa fatwa tersebut terlambat, bahkan tak dibutuhkan sama sekali. Anggota Komisi I DPR dari fraksi Partai Golkar Meutya Hafid, contohnya. Dengan tetap menghormati MUI, Meutya melihat interaksi di media sosial adalah masalah publik dan tidak mengenal batasan sektoral agama.

"Sebagai contoh di Malaysia, kementerian komunikasi mengeluarkan panduan yang berisi berbagai panduan pemanfaatan media sosial oleh masyarakat. Ini berlaku kepada semua, bukan agama tertentu," ujar Meutya.

Di satu sisi, apa yang dilakukan MUI adalah sebuah kepedulian dan semangat humanis—di luar kecurigaan urusan politis di balik fatwa tersebut. Namun apa yang dilakukan MUI adalah membawa batas-batas sektoral ke ruang publik milik bersama. Di media sosial, ketika dua atau lebih orang baku hujat dan fitnah, maka kumpulan orang itu tak dapat dipilah-pilah berdasarkan agama, atau kepercayaannya terhadap ulama, misalnya.

Masyarakat media sosial adalah masyarakat global tanpa dinding. Alih-alih membuat fatwa, Meutya meminta Badan Siber dan Sandi Negara berinisiatif membuat dan mengeluarkan panduan penggunaan media sosial dengan cakupan yang lebih luas. Saya pikir, pemisahan yang Meutya maksud itu tak lantas menjadikan Indonesia “negara sekular”, namun juga menegaskan bahwa Indonesia bukan “negara agama”—segala problem, jalan agama adalah obatnya.

Bernegara memang tugas berat setiap insan. Jalalludin Rakhmat menulis, kisah Muhammad adalah narasi besar tentang hal itu. Kisah itu mengandung makna-makna universal tentang kehidupan publik; tentang cara menjalani hidup bermasyarakat; tentang membangun ruang refleksi mengenai kemanusiaan.

Jalalludin Rakhmat menulis, orang-orang yang memeluk Agama Islam terbagi tiga. Poin utamanya, kesempurnaan melekat pada jenis yang pertama, yaitu orang-orang yang meyakini agamanya, tunduk kepada ajarannya, dan mengambil cahaya darinya.

Tidak ada yang lebih utama daripada golongan tersebut. Sementara itu, setiap agama (termasuk kelompok-kelompok yang mengatasnamakannya) idealnya memiliki kepedulian bersama dalam persoalan publik yang menyangkut keadilan, kesejahteraan, kemanusiaan, dan keberadaban. Maka, setiap agama harus menemukan titik temu bagi pengelolaan ruang publik bersama. Tentu titik temu yang tidak menafikkan pluralitas—termasuk keberadaan minoritas di dalamnya.

Layaknya Muhammad seperti yang diurai dalam bagian empat Muhammad, Jihad, kemampuan mengelola ruang publik tampaknya memang mengandaikan simpati terhadap perbedaan. Keimanan memang merupakan hal privat, namun keimanan terhadap esensi zat yang diimani itu—dan sifat profetik yang meliputinya—sungguh dibutuhkan oleh negara. Mau tidak mau kita harus menerima bahwa, misalnya, penerapan hukum syariah merupakan proyek politik yang tak menjamin keimanan dan kesalehan sosial seseorang.

Di Indonesia, misalnya, secara bertubi-tubi, sempat lahir aksi massa bela Islam yang muncul akibat dari adanya fatwa atau sikap keagamaan tentang Basuki Tjahaja Purnama yang dianggap menghina al-Quran.

Fatwa terkait Basuki dikeluarkan oleh MUI pada 11 Oktober 2016. Hal ini hanya berselang dua hari setelah surat teguran dari MUI dilayangkan pada Basuki. Sebab oleh di luar urusan syariah, fatwa terkait Basuki itu harus dipositifikasi guna menjadi hukum positif. Kita dapat menyaksikan betapa erat kait kelindan urusan nista-menista soal keyakinan dengan politik negara. Sebuah sikap keagamaan faktanya dapat memancing manusia untuk saling cerca.

Maka membaca bagaimana Muhammad bersikap pada zamannya adalah membaca teladan yang melintasi ruang dan waktu. Humanismenya adalah suatu fakta yang mengejutkan dan kontroversial di zamannya, tetapi merupakan hal yang justru sangat relevan jika diterapkan dewasa ini di Indonesia. Muhammad adalah sebuah grand narrative.

Membaca Muhammad sebagai tokoh dan Muhammad sebagai karya biografis tidak sepenuhnya mereduksi ke-Islam-an. Justru melalui Muhammad-lah kita dapat merefleksikan kehidupan bermasyarakat di Indonesia sebagai negara yang mayoritas penduduknya adalah Muslim.

Meskipun, seperti yang sudah disebutkan sedari awal bahwa terdapat banyak ketidaksamaan antara zaman Muhammad dengan masa kini, bahkan secara ironis. Pergerakan kelompok Muslim, terutama dalam hal jihad, tidak dapat diprediksi. Padahal, dengan memprediksi gerak kelompok-kelompok Muslim, bukan tak mungkin kita bisa memprediksi laju masyarakat.***