Dalam suatu diskusi yang menghadirkan Daniel M. Rosyid, pendiri Rosyid College of Arts and Maritime Studies, ia mengatakan bahwa pendidikan merupakan narasi jiwa yang merdeka. Pendidikan menjadikan manusia sebagai seorang khalifah (pemimpin) bagi dirinya sendiri. Melalui pendidikan, manusia bertransformasi menjadi pribadi yang unggul dalam segi intelektualitas dan personalitas.
Pendidikan adalah sarana untuk memenuhi kebutuhan primer manusia untuk melepaskan belenggu ketidaktahuan, memerangi kebodohan serta pembodohan. Dengan kata lain, sudah seharusnya pendidikan dilaksanakan untuk menghadirkan kemerdekaan bagi manusia yang menjalaninya.
Syarat utama untuk menghadirkan pendidikan seperti itu adalah dengan memastikan bahwa proses pendidikan yang dijalaninya tidak bersifat mengekang serta memaksa peserta didik.
Pendidikan dengan orientasi kemerdekaan peserta didik telah terpikirkan oleh Ki Hajar Dewantara melalui konsep pendidikan Among. Menurutnya, kemerdekaan merupakan syarat utama dalam menghidupkan serta menggerakkan kekuatan lahir dan batin peserta didik agar memiliki pribadi yang kuat dan dapat berpikir serta bertindak merdeka.
Matinya Nalar Kritis Peserta Didik
Sistem pendidikan nasional yang dibuat secara bertingkat, mulai dari pendidikan dasar hingga pendidikan tinggi, saling terkait dalam hal penyusunan pedoman pengajaran (kurikulum) yang dipakai. Maka, sebagai institusi terakhir yang menentukan kualitas dari peserta didik, pendidikan tinggi memiliki peran sentral dalam penyusunan kurikulum persekolahan, khususnya pada orientasi sistem pendidikan nasional.
Kurikulum, yang menjadi standar mutu pendidikan di Indonesia, yang diharap sebagai pedoman pendidik untuk menghasilkan kualitas pendidikan yang lebih baik, secara tidak disadari juga merupakan problem yang terjadi pada pendidikan hari ini. Bagaimana kurikulum dapat memengaruhi paradigma masyarakat terhadap pendidikan dan mengubah kontruksi sosial masyarakat Indonesia.
Secara tidak disadari, kurikulum yang ada saat ini berorientasi untuk menyiapkan peserta didik menghadapi pasar tenaga kerja. Makna pendidikan telah direduksi sebatas pemenuhan kualitas peserta didik dengan pengetahuan sebagai bekal untuk memasuki dunia kerja.
Maka tidak heran apabila institusi pendidikan berlomba untuk mencetak lulusan dengan tingkat intelektualitas tinggi dan kemampuan yang mumpuni. Akreditasi pada institusi pendidikan juga membuat antarinstitusi pendidikan saling bersaing dalam meningkatkan kualitas mutu institusinya sebagai faktor penarik minat calon peserta didik.
Kurikulum pendidikan yang kental dengan prinsip persaingan, saling berlomba untuk meningkatkan kualitas mutu pendidikan, serta menjadikan pendidikan sebagai barang privat, sehingga masyarakat sendirilah yang seharusnya memenuhinya, merupakan sistem pendidikan yang dibawa oleh ideologi ekonomi-politik kapitalisme.
Pendidikan sebagai institusi dalam masyarakat memiliki peran dalam megatur tatanan kesadaran kolektif pada masyarakat. Melalui relasi-relasi sosial yang terjadi di lingkungan pendidikan, ideologi kapitalisme mulai disosialisasikan di kalangan intelektual. Ketika relasi sosial ini masif, kesadaran kolektif tersebut telah terbentuk, masyarakat akan memercayainya sebagai suatu kebenaran dan akan berdampak pada kontruksi sosial masyarakat.
Hal tersebut adalah pola yang terjadi ketika masa-masa awal kapitalisme masuk pada institusi pendidikan di Indonesia. Dimotori oleh Sumitro Djojohadikusumo yang merupakan Dekan Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia (FE-UI), didorong oleh Ford Foundation sebagai donatur utama perubahan haluan pendidikan di Indonesia menjadi pro-Barat.
Dengan dalih untuk memodernisasi Indonesia, kini berimbas pada disorientasi dalam penyelenggaraan pendidikan (baca: Sumitro Djojohadikusumo dan Petaka Modernisasi Indonesia).
Melalui kurikulum, ideologi kapitalisme yang dibawa oleh negara imperialis Amerika Serikat telah mematikan daya nalar kritis peserta didik. Pereduksian makna pendidikan hanya sebatas faktor ekonomi, seperti pemenuhan kebutuhan industri dan pencetak tenaga kerja ahli, berdampak pada penyelenggaraan pendidikan yang terkesan dogmatis, tanpa melewati dialektika kritis. Pendidikan kapitalisme menjadikan peserta didik sebagai objek dan memenjarakan pikiran bebas mereka.
Model dari sistem pendidikan seperti ini bukanlah esensi pendidikan menurut Pancasila dan UUD 1945. Yang katanya pendidikan sebagai cara untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, namun ternyata pendidikan saat ini justru memenjarakan pikiran bebas peserta didik dan mengarahkan pikiran mereka ke suatu hal yang bersifat homogen.
Optimisme dalam meraih keadilan sosial sebagai tujuan akhir bangsa Indonesia makin merosot ketika pendidikan saat ini diselenggarakan dengan melupakan aspek keadilan.
Menghilangkan Hipnotisme Barat melalui Desentralisasi Kurikulum Pendidikan
Di kesempatan yang berbeda, Daniel M. Rosyid pernah mengatakan, “Secara politik, bangsa Indonesia telah merdeka. Tapi dalam bidang pendidikan, budaya, kita masih belum merdeka. Pendidikan kita masih impor.”
Kemudian ia menambahkan, “Kita mengalami hipnotisme sehingga terkesima dengan semua yang berlabel Barat, termasuk pendidikan.”
Watak inlander sebagai dampak dari kolonialisme masih belum mengubah kontruksi sosial masyarakat Indonesia. Melalui sistem feodalisme, dengan membagi masyarakat menjadi tiga kelas sosial berdasar atas ras, dan memasukkan kelas pribumi sebagai kelas ketiga, menjadikan masyarakat Indonesia tidak percaya diri dengan bangsa sendiri, dan selalu menganggap bangsa Barat sebagai bangsa kelas satu.
Meningkatkan kepercayaan diri terhadap bangsa sendiri, meningkatkan optimisme dalam meraih tujuan bangsa, serta edukasi mengenai feodalisme dan kelas sosial adalah salah satu poin mendasar untuk menghilangkan watak inlander pada kontruksi sosial masyarakat Indonesia. Namun, apakah ini diajarkan pada sistem pendidikan hari ini?
Hal tersebut merupakan salah satu contoh atas gagalnya sistem pendidikan kapitalistik yang saat ini digunakan dalam sistem pendidikan nasional. Substansi yang seharusnya diajarkan, namun ternyata tidak disinggung sedikit pun. Padahal, edukasi mengenai watak inlander merupakan salah satu langkah untuk meningkatkan kepercayaan diri bangsa Indonesia.
Kurikulum seharusnya bersifat dialogis yang disesuaikan dengan konteks sosial yang melingkupinya, melihat secara objektif suatu realitas situasi konkret. Kurikulum yang baik adalah kurikulum yang berakar pada persoalan konkret berdasar atas pengalaman dan kondisi masyarakat.
Hal yang wajar apabila antarinstitusi pendidikan memiliki kurikulum yang berbeda. Dengan pertimbangan faktor geografis dan sosiologis yang berbeda, kurikulum menjadi wewenang penuh institusi pendidikan untuk membuat kurikulum yang benar-benar dibutuhkan bagi peserta didik. Desentralisasi kebijakan kurikulum menjadi faktor utama dalam mewujudkan sistem pendidikan yang berdasar atas kondisi objektif suatu masyarakat.
Standarisasi kurikulum secara nasional sebagai bagian dari kurikulum kapitalistik menurut Paulo Freire adalah bentuk atas terputusnya kurikulum dengan rantai kehidupan; berpusat pada kata-kata yang mewakili realitas yang ingin disampaikan, namun miskin akan aktivitas konkret dan tidak pernah membangun kesadaran kritis.
Lebih lanjut, konsep pendidikan alternatif yang diuraikan di atas sejatinya merupakan marwah dari sistem pendidikan nasional yang telah dirumuskan oleh Ki Hajar Dewantara.
Sebagai Bapak Pendidikan Nasional, ia telah merumuskan konsep pendidikan yang sesuai dengan kondisi objektif masyarakat Indonesaia. Dan sudah menjadi tugas seluruh warga negara untuk mengembalikan kembali humanisme dalam pendidikan demi terwujudnya keadilan sosial dalam ranah pendidikan.