Mereka memang sempat tegar dengan aksi terorisme sehingga pernah menyenandungkan tagar kami tidak takut. Tetapi lain soal saat listrik padam.

Listrik padam saat baterai smartphone kehabisan daya adalah malapetaka kehidupan sosial di era 4.0. Fungsi listrik di zaman ini hampir setara oksigen.

Saat listrik Jabodetabek padam pada awal pekan Agustus 2019, kita dihebohkan munculnya kegalauan sosial. Masyarakat menjadi syok dengan apa yang terjadi. Lalu mengambil inisiatif menggeruduk sumber daya yang ada. Sebagian dari mereka menjebol saluran air PDAM untuk keperluan sehari-harinya.

Waktu di Sulawesi Tengah dilanda bencana alam, kita tiba-tiba ramai menyesalkan munculnya pencurian massal. Tidak sedikit juga yang menghujat kejadian itu. Mereka menilai, korban bencana seharusnya tidak melakukannya karena memperburuk moral meskipun alasannya untuk membantu para korban.

Walaupun akhirnya kita tahu bahwa pelaku itu berasal dari warga yang sebetulnya bukan korban bencana, penilaian negatif telanjur lebih dulu bersarang di pikiran masyarakat lain. Mirisnya lagi, masyarakat lain itu sempat menghubungkan pencurian massal dengan akhlak korban bencana yang sebenarnya.

Jakarta dan sekitarnya bisa disebut sebagai pusat peradaban Indonesia. Pusat pemerintahan, perekonomian, pendidikan, dan gaya hidup ada di sana. Jalannya lebar dan bersusun-susun. Gedungnya apa lagi, luas dan tinggi menjulang ke langit.

Manusia yang hidup di tempat itu dinilai lebih berperadaban dari wilayah lain.

Kota yang ada di ujung Barat Pulau Jawa itu adalah kota yang sesungguhnya. Orang kota yang sebenarnya adalah mereka. Orang di wilayah lain harus puas disebut dengan orang daerah.

Penjebolan saluran pipa PDAM karena pasokan air tidak terdistribusi akibat listrik padam berjam-jam adalah bagian dari perilaku warga kota yang berperadaban. Sama sekali tidak ada hubungannya dengan akhlak atau moralitas.

Barangkali kita bisa berandai-andai, bagaimana jadinya bila listrik padam selama tujuh hari di kota itu. Beberapa tempat penting seperti hotel, pusat perbelanjaan, kantor pemerintahan, dan pabrik-pabrik mungkin akan disasar oleh warga. Keperluannya sederhana, numpang mandi dan nge-charge biar tetap eksis di tengah pemadaman.

Perubahan terhadap kebiasaan sering kali menghasilkan kegelisahan. Kegelisahan akibat perubahan biasa diistilahkan culture shock.

Orang Indonesia yang pertama kali ke Eropa akan mengalami kerisauan diri bila hendak membuang hajat karena toilet di sana tidak menyediakan air di bak beserta gayungnya. Begitu juga perutnya, perlu adaptasi yang lama sebab kesulitan menemukan nasi pecel.

Kegalauan warga di media sosial dan penjebolan pipa PDAM bisalah disebut sebagai culture shock. Mereka syok karena pola kehidupan berubah dari biasanya.

Padamnya listrik di Jakarta dan sekitarnya disebabkan oleh terganggunya aliran listrik yang berasal dari Jawa Tengah. Pelakunya sempat dialamatkan pada sebatang pohon Sengon yang tidak memiliki hak mengemukakan pembelaan dirinya. Ketimbang membenahi atau menyalahkan sistem kerja, adalah cerdik menyalahkan objek tak bersuara agar polemik segera berakhir.

Mereka selalu ada cara cerdik menyelesaikan perkara. Apalagi kalau masalahnya menyangkut hoaks. Seperti baru-baru ini, pemerintah menjegal jaringan internet Papua.

Katanya, pemutusan jaringan internet dilakukan demi meredam tersebarnya informasi keliru mengenai mahasiswa di Jawa yang berasal dari Papua. Infomasi keliru itu telah menyebabkan terjadinya amuk massa masyarakat Papua asli di Papua.

Awalnya masyarakat Papua yang turun ke jalan dan berdemonstrasi hanya terjadi di satu titik, kemudian merambat juga ke wilayah lain. Penyebaran informasi melalui media sosial dianggap sebagai biang keroknya.

Informasi memang mudah menyebar melalui internet. Karena itulah pemerintah menjegalnya. Tampaknya pengontrolan arus informasi semacam ini sudah menjadi tabiat.

Pertama kali merasakan penjegalan informasi adalah pada saat pilpres 2019. Tiba-tiba Facebook, Instagram, dan WhatsApp sulit diakses. Awalnya dikira hanya gangguan biasa. Tetapi saat membuka Twitter, barulah saya tahu bahwa ini disengaja agar teredam penyebaran informasi, yang mungkin keliru, yang dapat menyebabkan terjadinya amuk massa.

Langkah cerdik lain yang dilakukan untuk mengatasi informasi keliru adalah dengan menangkap penyebar informasi dan memberinya sangsi.

Baiq Nuril melaporkan kasus pelecehan seksual dengan bukti rekaman percakapan. Ironisnya, justru pelapor yang diperkarakan. Hakim memutuskan Nuril terbukti bersalah melakukan penyebaran informasi percakapan mesum kepala sekolah yang terjadi di sekolah tempat ia bekerja. Enam bulan penjara dan denda 500 juta adalah akibat yang harus ia tanggung.

Buni Yani diputuskan mendekam di balik jeruji karena menjadi tersangka penghasutan SARA melalui cuplikan rekaman pidato Ahok yang ia sebar ke media sosial. Ia didakwa melanggar UU ITE pasal 28 ayat (2).

Begitu juga dengan informasi keliru yang ditengarai menjadi pemantik amuk massa di Papua. Saat ini mereka masih mencari pelaku yang menyebarkan informasi keliru tersebut.

Soal tangkap-menangkap kejahatan di dunia maya, Pak Pol adalah yang paling hebat. Tidak lama lagi, mereka akan segera berhasil menangkap pelaku yang mematahkan tiang bendera merah putih dan membuangnya ke selokan. 

Dan juga tidak akan lama lagi, mereka pasti mampu menangkap oknum-oknum yang meneriakkan kata rasis terhadap mahasiswa asal Papua di Surabaya. 

Semoga berhasil. Kalau tidak, amuk massa mungkin masih akan terjadi. 

Sekiranya itu terjadi, Bapak-bapak yang terhormat jangan emosional menghadapi itu semua. "Emosi itu boleh, tapi memaafkan jauh lebih baik," begitu pinta Presiden.