Di masa pandemi virus corona dan imbauan beraktivitas di rumah ini agaknya memaksa saya untuk sedikit rajin dalam aktivitas kebersihan di rumah. Ya, selain sebagai (salah satu) cara menghilangkan kebosanan, juga bukankah, ehem, kebersihan adalah sebagian dari iman. Hhmmmm.

Dalam proses bersih-membersih ini, tak luput juga berkas-berkas saya bongkarin untuk dibersihin. Saya dapati berkas-berkas selama menempuh pendidikan dari SD sampai S1, berupa rapor hasil belajar dan ijazah saya yang sebagian mulai berabu karena sudah “ditelantarkan”. 

Akhirnya saya lap dan bersihkan. Setelahnya, iseng-iseng saya buka dan baca-baca kembali isi rapornya. Kuamati dengan teliti guratan angka di rapornya, kelas per kelas, dari SD sampai STM, ternyata, tak sekalipun saya mendapat predikat juara kelas selama sekolah. 

Prestasi terbaik saya adalah kala mendapat ranking 8 ½ (iya, pakai setengah, cuk!) dari 42 siswa waktu kelas II SD. Sisanya, tinggal sejarah prestasi sekolah yang kelabu. Rekor yang mengharukan. Hiks.

Cukup puas bernostalgia dengan isi rapor yang jauh dari kata indah dan berbunga-bunga itu, saya kemudian mengamati “tumpukan” ijazah saya. Saya merenung sejenak dan sedikit kagum melihatnya. Sudah ada 4 jenis ijazah yang berhasil  kurengkuh; dari ijazah SD, SMP, STM, dan terakhir, ijazah Sarjana. Perjuangan yang panjang. Butuh, setidaknya akumulasi waktu 16 tahun untuk mengumpulkan 4 carik kertas ini. 

Ya, sekalipun, saya tahu, isi daripada ijazah tersebut bukanlah sesuatu yang layak dibanggakan di khalayak umum. Dan, iya, iya, saya tahu kebanyakan orang juga turut mengalami perjuangan yang sama dan bahkan lebih, kok. Tapi, merenungkan perjuangan mencapai tersebut saat suasana sendiri sembari bersih-bersih begini terasa lebih menggugah emosi dan sentimentil dibuatnya. Cobain, deh.

Syahdan, saya juga jadi ingat dengan pengalaman-pengalaman saat pergi mengambil ijazah. Ya, mengambil ijazah merupakan alasan yang paripurna untuk “memaksa” kita kembali ke jenjang sekolah sebelumnya.

Selain karena nikmatnya mencelupkan ketiga jari tangan kiri pada tinta biru dan lalu memberi stempel cap tiga jari tepat mengenai sedikit wajah di pas photo ijazah kita yang selalu terngiang-ngiang di pikiran, ada saja suasana retrospeksi dan perjumpaan dengan para (mantan) guru yang kerap memberi kejutan dan menawarkan kelucuan kecil bagi saya.

Seperti saat saya mengambil ijazah SD. Kala itu, sebagai anak yang telah beranjak remaja, saya permisi dari sekolah SMP dan (berani) pergi sendiri ke SD saya. Sampai di sekolah, sebelum mengurus dan mengambil ijazah di kantor kepala sekolah, saya jumpai dan salami para guru, termasuk guru yang dulu saya takuti alias “killer”.

Yang tak disangka, tatkala saya menyalam guru killer ini, beliau justru begitu ramah. Dia juga yang justru memulai obrolan dan nanya-nanya saya sembari menawari gorengan dan air putih. Beliau yang selama di ruang kelas selalu menampilkan ekspresi intimidatif, kini menampilkan pribadi yang ramah; Beliau yang kerap memberi hukuman berupa cubitan, tamparan, lari lapangan, dan paling traumatis bagi saya, yakni jalan jongkok, kini justru menaruh perhatian sama saya. Sesuatu yang mengejutkan saya!

Terbukti, saat beliau mengetahui bahwa saya tidak masuk SMP favorit, ada raut kekecewaan mendalam di wajahnya. Walau begitu, beliau tetap memberi penguatan dan hiburan (klasik) bahwa semua sekolah sama saja. Pertemuan singkat yang menyenangkan.

Demikian juga saat mengambil ijazah SMP. Dengan tampilan seragam putih dan celana abu-abu panjang, saya begitu pede menjejakkan kaki kali pertama ke sekolah pasca tamat SMP. 

Maklum, secara psikologis semacam terbangun imej dewasa dan keren yang saya rasakan tatkala memakai celana panjang; dari yang tadinya pakai celana biru pendek ke celana abu-abu panjang dan juga, dari yang jalan kaki pergi sekolah, jadi naik angkot. Uhuk!

Bahkan, setelah saya selesai mengambil ijazah, saya sempatkan keliling-keliling kelas untuk sekedar tebar pesona pada dedek-dedek gemes. Saya juga mengunjungi kelas tempat saya dulu belajar. 

Melihat kelas tersebut, saya membayangkan tingkah saya selama di situ: berantem dengan teman karena dijodoh-jodohin, kepala berdarah dan pitak karena kena siku meja, jarang pakai sempak ke sekolah. Ahh, kenangan yang konyol!

Pun saat saya mengambil ijazah STM. Ada 2 tahun lebih setelah tamat STM baru saya mengambil ijazah. Karena saya sempat merantau ke pulau Jawa dan bekerja sebagai penjaga toko buku. Setelah pulang dan berniat melanjut untuk kuliah, saya pun pergi mengambil ijazah ke sekolah. 

Saat sampai di lapangan STM, saya menghirup udara sekuatnya di sekelilingnya dan memandangi sekolah. Tersenyum kecut mengenang diri saya yang kadang pergi ke sekolah dengan bekas rajutan tikar di wajah, kerap terlambat, dihukum push-up, menghindari ibadah pagi, berlagak sok preman, saling berbagi film bokep, dan kenakalan khas lainnya. Kimak kalilah pokoknya.

Setelah mengurus ijazah, tak lupa saya sempatkan untuk menemui wali kelas saya yang juga kepala bengkel. Awalnya saya merasa minder menemuinya, karena pekerjaan saya sebagai penjaga toko buku tidak selaras dengan jurusan saya ketika STM. Namun rasa keminderan saya berubah jadi kegelian ketika wali kelas saya malah menawarkan saya bergabung dalam bisnis MLM lengkap dengan iming-iming cetar membahananya. Ooaalahhh, pak, pak!

Satu-satunya yang tidak “menyenangkan” saat mengambil ijazah, setidaknya sampai saat ini, ialah, ya, tatkala saya mengambil ijazah sarjana saya ini beberapa bulan lalu. Bukan apa-apa. Tak lama setelah saya mengambilnya, virus corona mulai merebak di Indonesia dan menjadi pandemi. Karenanya, saya kudu menganggur dan tak dapat “menjajakan” ijazah untuk melamar kerja; suatu pengalaman yang belum pernah saya lakukan. Hiks.

Tentu saja, pengalaman dan suasana di atas tidak akan terulang lagi momennya. Hanya sekali seumur hidup. Hanya dapat dikenang.

Nah, kalau pengalaman mengambil ijazah para jamaah Qureta sendiri, gimana?