Mengingat perayaan Hari Ulang Tahun Republik Indonesia (HUT-RI) baru saja selesai dirayakan dengan meriah dan penuh antusias lewat berbagai macam penampilan menarik.
Aku menyaksikannya bersama beberapa teman, dengan semangat kegembiraan dalam suasana duduk melingkar di tengah gelar berputar berisikan bir. Kami berdiskusi dan juga sangat bangga sebab merasa seolah sudah sangat merdeka.
Percakapan semakin mengalir layaknya kucuran dana pemerintah ke dalam tubuh birokrasi sampai ke tingkat desa, dirasakan dan dinikmati oleh pejabat untuk meninggalkan baunya agar ada jejak yang bisa dicium oleh rakyat jelata, demi menyihir mereka agar tetap tabah menahan derita di balik carut-marutnya tatanan bangsa ini.
Kami mengingat para pendahulu, bahkan tetangga dan keluarga yang sudah lanjut usia. Namun, mereka masih bangga dan sangat hormat pada bendera kebanggaan, merah putih.
Aku turut prihatin atas kesungguhan berkat jiwa nasionalisme mereka yang saat ini diporak-porandakan oleh para pejabat yang tak bertanggung jawab.
Walau setiap kali momentum kemerdekaan diperingati, para pejabat dengan tampil rapi, sigap baris-berbaris. Menampilkan perilaku yang terlihat mewah dan seolah bijaksana. Dan itu sangat wajar, sekali setahun.
Mereka berlomba-lomba tampil di depan, menundukkan kepala kala lagu Kebangsaan Indonesia dinyanyikan, dan hormat sehormat-hormatnya di saat bendera dikibarkan.
Tetapi akankah semua itu adalah manifestasi kejujuran seorang pejabat?
Aku rasa tidak, aku tidak yakin kesungguhan para pejabat saat memperingati kemerdekaan sama saat mereka kembali bertugas di kantor masing-masing.
Sebab, jangankan bicara kemerdekaan. Menghadap ke pegawai di kantor-kantor saat ada urusan administrasi saja ribetnya minta ampun. Kita seolah berhadapan dengan Jibril, akibat watak arogansi kekuasaan yang dibudayakan melalui hegemoni dalam sistem yang disebut hierarki.
Kala itu, pendiskusian terus berlangsung. Tak terasa bir semakin menghangatkan peredaran darah. Penjelasan demi penjelasan dari teman-teman semakin liar.
Sesekali teman menggerutu dengan istilah populernya, “Ampolleng”. Istilah ini sebenarnya hanya basa-basi, dianggap oleh teman-teman sepengopian sebagai kata yang layak diberikan pada mereka yang kurang ajar, dengan makna kurang lebih “Brengsek” atau “Bulshit”.
Sebenarnya kami tak begitu suka minum bir. Hanya saja bila ada perayaan atau momentum yang dilakukan orang-orang pada umumnya, maka kami selalu punya alternatif lain. Yaitu, minum bir demi kehangatan percakapan dan merekatkan persahabatan.
Selain itu, bir juga telah menjadi pelarian kami saat bosan-bosannya minum kopi di tempat perkopian terus-menerus.
Mengingat nuansa perayaan HUT-RI yang ke-77 masih hangat tengiang-ngiang di kepala. Kami di tempat perkopian juga merayakannya dengan cara berbeda.
Beberapa lomba juga kami selenggarakan dalam bingkai yang lebih humoris dengan cara yang sedikit elegan serta terbilang ekstrim.
Ada teman berlomba melupakan mantan, sementara yang lainnya adu kuat melawan kepatahan sebab ditinggal pas lagi mabuk-mabuknya.
Tetapi, dari semua itu. Bila menelisik fakta-fakta sosial dari semua aspek tanpa harus diuraikan secara detail, sebab perihal derita dan luka-luka yang dialami rakyat sudah menjadi kenyataan murahan yang mudah sekali kita jumpai di setiap tempat bahkan di semua pelosok desa hingga memenuhi perkotaan.
Akibatnya, setiap kali kemerdekaan didengungkan maka kami sekumpulan penikmat kopi selalu sepakat mengambil kesimpulan bahwa merdeka hanya slogan, sebab esensi dari semua kehidupan bernegara hanyalah “Ampolleng”.
Bagi kami yang hidup melarat dari turun-temurun, tak ada kemerdekaan yang bisa dibanggakan. Selain lapangan kerja yang tertutup untuk orang-orang muda yang kehilangan bakat.
Lahan kerja juga tak banyak yang disisakan para pendahulu, jadi tidak ada pilihan lain selain menjadi kaum rebahan, biar terlihat santai menjalani hidup.
Sehingga seremonial kebangsaan seperti perayaan hari kemerdekaan, terlebih lomba-lomba diadakan. Menurut kami hanya pengalihan isu dari realita sosial yang kian terpuruk.
Ditambah lemahnya penegakan hukum, hilangnya nilai-nilai keadilan, serta deretan polemik lain yang tak pernah selesai. Membuat kami malas berpikir, lalu merasa satu-satunya kata yang paling layak untuk dikampanyekan saat pemerintah menggencarkan rencana program hanyalah Ampolleng.
Entah teman-teman menemukan kata itu di mana. Tetapi Ampolleng sudah menjadi istilah yang akrab diucapkan teman-teman setiap kali bercanda-gurau dan menganggap lawan bicaranya tidak masuk akal, atau tidak bisa dipercaya. Maka kata itu dipilih sebagai cap yang bermakna negatif.
Kami berharap istilah ini menjadi akrab untuk seluruh pembaca tulisan ini. Agar setiap kali dikhianati oleh pemerintah, maka spontan akan muncul Ampolleng sebagai warning sekaligus sebagai rem untuk penguasa agar tidak semena-mena mengeluarkan kebijakan yang bertentangan dengan kebutuhan publik.
Terakhir, aku harus menegaskan bahwa istilah ini populer di tempat perkopian kami di Kabupaten Sinjai, Sulawesi Selatan. Tak bisa dipungkiri, istilah ini akan menyebar dan menjadi bumbu percakapan para pembaca di manapun kalian berada.
Tidak banyak kata yang bisa aku susun pada tulisan ini, mengingat momen perayaan kemerdekaan telah berlalu. Dan aku hanya sedikit mengingatkan sekaligus memberikan masukan baru terkait hal-hal rumit yang terlupakan di balik megahnya perayaan kemerdekaan.
Terima kasih telah membaca, hormatku. *Pemuja Kopi*.