Humanisme yang berasal dari kata latin, humanis yang berasal dari kata homo yang berarti manusia yang bisa diartikan sebagai sifat dari manusia.

Secara filsafat, humanisme adalah suatu aliran filsafat yang menganjurkan manusia untuk bermartabat, berbudi luhur, dan berdikari (berpikir untuk diri sendiri dan untuk dunia). Ada nilai universal serta partikular yang dikandungnya.

Perkembangan filsafat humanisme, dapat ditelusuri di dalam filsafat klasik cina Konfusius dan pada filsafat klasik Yunani.

Pada tahun 1950-an sampai dengan 1960-an, aliran psikologi humanisme muncul sebagai gerakan serta gebrakan besar.

Lebih mendalam lagi pada masa 'age of reason' (renaisance). Dimana manusia dengan kemanusiaannya dikungkung dan dikurung oleh ketertutupan dogma-dogma agama, pada masa itu.

Di kita Indonesia, pikiran-pikiran humanistik mungkin ada di dalam kepala seorang sastrawan besar seperti Pramoedya Ananta Toer.

Dimana setiap karyanya ketika dibaca, terlihat antroposentris sekali. Tetapi konteks zaman dengan karya Pram memiliki kesesuaian.

Tentu saja, seorang Pram menganut humanisme di dalam kepala juga tubuhnya. Karena hal itu ia siratkan dalam karya-karyanya. Ia cetuskan ide kemanusiaan itu demi manusia.

Pramoedya adalah sesungguhnya manusia yang mampu mengucapkan apa yang belum dapat diucapkan oleh manusia itu sendiri.

Misal dalam 'Bumi Manusia' Pram menuliskan: "Seorang terpelajar harus adil sejak dalam pikiran apalagi tindakan."

Melalui tulisan Pram tersebut, kita paham bahwa manusia harus adil pada manusia sejak dalam akal dan ide yang dapat memengaruhi perbuatan.

Lalu Mahatma Gandhi.

Gandhi seorang Humanis dari India, yang memiliki konsep 'non violence' dalam segala tindakannya, sehingga ia dapat memerdekakan India dari jajahan Inggris, tanpa melakukan kekerasan, sekali lagi: tanpa melakukan kekerasan.

Gandhi pernah mengucapkan: 'My Nationalism is humanism'. dalam hal ini kita dapat mengembangkan pikiran serta ucapan Gandhi.

Terlihat jelas, bahwa makna dari ucapan tersebut adalah: Nasionalisme tidak akan terselenggara tanpa kemanusiaan.

Keindahan humanisme tidak berhenti pada tokoh-tokoh yang menganut salah satu aliran filsafat tersebut. Humanisme tetap bergerak, dalam keadaan apapun.

Bagi saya, humanisme itu sendiri adalah bukan sekadar aliran filsafat melainkan ia adalah kebijaksanaan itu sendiri, kebijaksanaan yang paling tinggi.

Karena nilai universalnya dapat memengaruhi jalannya peradaban.

Mungkin dalam keadaan perang, mengutuk agresi negara yang melakukan invasi dengan memberikan sanksi adalah suatu gerakan humanis.

Dalam keadaan bencana, ketika suatu kelompok tidak berbicara mengenai susahnya mengumpulkan bantuan, dan yang dikejar adalah ketenangan bagi yang memerlukan bantuan.

Humanisme dan Otoritarianisme

Antitesa dari humanisme adalah bukan sekadar pembunuhan atau peperangan, tetapi juga kekuasaan represif, kekuasaan yang berjalan dengan sistem otoritarian.

Seperti halnya: rezim Hitler pun Stalin.

Hitler misalnya, yang banyak mempersekusi orang-orang Yahudi di Jerman. Sehingga orang seperti Hannah Arendt harus dengan terpaksa melarikan diri dari Jerman menuju Amerika Serikat.

Hal ini tentu memperlihatkan bahwa humanisme selalu identik dengan kritisisme. Banyak hal yang diucapkan oleh Arendt adalah demi kemanusiaan.

Seperti dalam ide demokrasi deliberatif, dimana manusia harus bebas dari apa yang membuat ia merasa terkurung. Dalam keluarga, kelompok, dan kultur.

Manusia harus tiba pada konklusi mufakat, agar kesepakatan demi kesepakatan dapat dijalankan demi kepentingan manusia.

Otoritarianisme selalu bergerak mengekang, menyempitkan segala ruang pergerakan yang berpotensi untuk mengganggu kekuasaan.

Sebab dari hal tersebutlah, kita paham bahwa memang benar otoritarian tidak akan pernah menyukai humanisme, terlebih-lebih humanisme tersebut bertabur nilai kritisisme.

Pada masa orde baru misalnya, dalam sejarah disebutkan bahwa banyak yang hilang, banyak yang tidak kembali pulang.

Mereka yang tidak kembali adalah mereka yang memiliki kehendak humanis,yang dengan kritisisme-nya mengganggu kekuasaan Soeharto.

Siapa saja yang menentang kekuasaan pada masa itu akan dituduh subversif. Hal itu yang menunjukkan bahwa otoritarian selalu menyematkan julukan buruk kepada mereka yang hendak mengganggu kekuasaan.

Otoritarianisme tidak akan pernah berhenti, jika kritisisme terus berlanjut, maka penggerusan pada humanisme pun tetap berlanjut.

Menghilang dan meninggalnya para aktivis, itu bukti dari otoritarian tidak paham akan esensi humanisme.

Karena kehendak dan pikiran yang disuarakan oleh aktivis pun adalah kehendak 'aufklarung'.

Kehendak yang lebih progresif mengakar dan mengarah pada perubahan. Agresifitas dan arogansi otoritarianisme selalu muncul pada saat-saat yang tidak terduga.

Humanisme dan Pancasila

Pancasila yang oleh Bung Karno disebut sebagai: 'philosophische grondslag' atau dasar filosofi.

Mengandung banyak sekali nilai-nilai universal yang tentu saling bertaut dengan kehidupan manusia.

Pada sila pertama kita melihat ada kebutuhan bathin yang mengarah pada teokrasi.

Dalam sila kedua, nilai humanisme tidak berdiri sendiri, ia berkolaborasi langsung dengan semacam akal budi dan nilai justice. 

Sila ketiga, hal yang menyangkut gotong royong demi kemanusiaan pun tersirat pada nilai persatuan.

Di dalam sila ke empat, demokrasi deliberatif yang mungkin nyaman bersemayam di dalam kepala Arendt, tiba untuk mewujudkan mufakat untuk dapat dijalankan bersama.

Pun dalam sila kelima, sila yang sangat sarat akan nilai budi luhur yang spesifik tertuju pada manusia Indonesia: 'Social Justice'. 

Dimana nilai ini adalah utopia manusia Indonesia sejak zaman imperialisme Belanda pun sampai kini, utopia itu tidak berhenti.

Konsistensi dan koherensi antara humanisme dan Pancasila terlihat jelas dalam sila-silanya. Ia mengandung makna pluralisme untuk dijalankan dan tentu hal ini sangat berkaitan erat dengan 'human rights'.

Implisit Pancasila menganjurkan setiap manusia-manusia Indonesia untuk secara seksama menjalankan nilai-nilai humanisme.

Sekat Antara Realita dan Utopia Humanisme di Indonesia

Kini pertanyaan itu muncul.

Apa itu humanisme?

Apa itu Pancasila?

Apakah ia telah tiba di tanah Papua?

Apakah ia telah menjamah nurani Wadas?

Dan ternyata tidak ada yang mampu menjawabnya, kendati ada yang mampu menjawab pertanyaan tersebut, mungkin ia akan menjawab: "belum tiba."

Hari ini, masyarakat republik ini menanti social justice untuk tiba pada Indonesia. Tapi sialnya social justice pun berhenti menjadi social hope yang adalah utopia bukan realita.

Apakah utopia itu telah dikorupsi?

Kita melihat ada sekat yang memberi spasi antara Pancasila dengan kita masyarakat Indonesia.

Padahal dengan konsep yang sangat jelas juga berimbang dengan konteks masyarakat Indonesia. Pancasila adalah hal baik sekaligus bermanfaat untuk diterapkan.

Dan secara implisit penulis tulisan ini melihat bahwa sekat yang menjauhkan nilai humanisme dalam Pancasila, adalah: pragmatisme politik dan oportunisme politik yang diselenggarakan dengan baik oleh 'oligarki'.