Barcelona pada era Pep Guardiola (2008-2012) menjadi tim paling digdaya baik pada level eropa maupun dunia. Selama 4 tahun era Pep terhitung 14 trofi yang dipulangkan ke Camp Nou, 3 trofi La Liga (2008/09, 2009/10, 2011/12), 2 Copa del Rey (2008/09, 2011/12), 3 Supercopa de España (2009/10, 2010/11, 2011/12), 2 UEFA Champions League (2008/09, 2010/11), 2 UEFA Super Cup (2009/10, 2011/12), dan 2 FIFA Club World Cup (2009/10, 2011/12).
Barcelona pasca era Pep sempat mengalami penurunan performa. Tito Vilanova (2012-2013) dan Gerardo Martino (2013-2014) belum bisa menjadi suksesi sekelas Pep Guardiola. Masa kejayaan Barcelona kembal didapat saat Luis Enrique menjadi nakhoda Blaugrana (2014-2017).
Walaupun belum sampai menyamai rekor Sextuple Pep, Barcelona era Enrique (2014-2017) kembali merajai sepakbola eropa. Sembilan trofi Enrique torehkan bersama Blaugrana, 2 trofi La Liga (2014/15, 2015/16), 3 Copa del Rey (2014/15, 2015/16, 2016/17), 1 Supercopa de España (2016/17), 1 UEFA Champions League (2014/15), 1 UEFA Super Cup (2015/16), dan 1 FIFA Club World Cup (2015/16).
Runtuhnya Masa Kejayaan
Setelah menjuarai Liga Champions pada musim 2014/2015 performa Barca mengalami penurunan drastis. Terhitung empat tahun berturut-turut Barca tidak mampu menembus semi final Liga Champions. Tumbang oleh Atletico dengan agregat 2-3 (2015/16), kalah dari Juve dengan agregat 0-3 (2016/17), menderita come back atas AS Roma 6-7 setelah unggul 5-2 di Camp Nou (2017/18), dilanjutkan come back menyakitkan Liverpool 3-4 setelah unggul 3-0 pada leg pertama (2018/19), dan yang paling memalukan dipecundangi Munchen dengan skor 2-8 (2019/20).
Rekor buruk Barcelona juga terjadi di kompetisi domestik. Kalah di Final Copa del Rey (2018/2019) melawan Valensia 1-2. Kemudian gagal mempertahankan gelar La Liga (2019/20) tepat di detik-detik terakhir setelah tumbang di Camp Nou oleh Osasuna (Jornada ke-37). Dan yang paling baru adalah Barcelona di bawah komando Koeman harus tumbang di final Supercopa de España (2020/2021) dengan skor 2-3 atas Bilbao di Estadio Olimpico de Sevilla.
Mencetak Bintang atau Membelinya
Pep Guardiola pada musim pertama menangani Barcelona membuat transfer krusial dengan mencoret nama-nama besar seperti Ronaldinho, Deco, dan di musim selanjutnya Yaya Toure dan Ibrahimovic. Pemain akademi La Masia menjadi pilihan utama Pep dalam membangun tim. Terdapat 7 pemain alumni La Masia pada starting line up Barca di Final Liga Champions 2011.
Keputusan Pep mempromosikan Pedro dan Busquet menjadi pemain inti juga sangat jeli. Busquet bermain solid bersama Xavi-Iniesta, sedangkan Pedro bersama Villa-Messi mampu menjaga taring Blaugrana tetap tajam selepas trio tandem Messi-Henry-Eto’o. Barcelona saat itu menjadi sebuah tim yang fenomenal dengan filosofi dan kemistri yang kuat di antara para pemain.
Berbeda dengan Pep yang berani mencoret nama besar untuk mengorbitkan pemain-pemain muda La Masia, Enrique lebih memilih pemain-pemain yang sebelumnya sudah bersinar bersama club nya. Pembelian Rakitic pada bursa transfer musim panas 2014 dirasa menjadi transfer sukses. Rakitic mampu mengimbangi gaya permainan lini tengah barca yang mengalir dan atraktif. Kombinasi Rakitic-Iniesta-Busquet tetap bisa menjaga performa lini tengah barca pasca era trio midfilder La Masia; Iniesta-Xavi-Busquet yang mencatatkan rekor sextuple bersama Pep.
Selain Rakitic, mega transfer Luis Suarez juga membuahkan hasil. Diboyong dari Liverpool sebagai top skors EPL musim 2013-2014 dengan bandrol 81,72 juta euro. Duet Suarez-Messi-Neymar mencetak 274 gol dalam 125 permainan. Mega transfer yang sukses terbayar dengan Treble Winners musim 2014-2015.
Pasca kepemimpinan Enrique Barcelona tercatat beberapa kali melakukan blunder transfer. Nominal besar yang digelontorkan club tidak sebanding dengan prestasi yang didapatkan, Ousmane Dembele (105 juta euro), Philippe Coutinho (160 juta euro), Antoine Griezmann (120 juta euro). Harga yang mahal itu hanya bisa membawa pulang 2 trofi La Liga (2017/18, 2018/19), 1 Supercopa de Espana (2018/19), dan 1 trofi Copa del Rey (2017/18). Walaupun tidak cukup buruk, namun capaian tersebut masih masih jauh dari ekspektasi club selevel Barcelona.
Statistik Pep (2008/09) vs Enrique (2014/15)
Musim 2008/09 dan 2014/15 adalah ketika Barcelona berhasil mencatat Treble. Secara Head to Head, Barcelona era Enrique sedikit lebih unggul dengan presentase kemenangan 83,30%, dengan total gol 175 dari 929 tembakan. Sementara itu presentase kemenangan Barca era Pep hanya 67,7%, dengan total gol 158 dari 1076 tembakan. Trio Messi-Henry-Eto’o milik Pep menorehkan 100 gol sementara Trio Messi-Suarez-Neymar di bawah Enrique menorehkan 122 gol.
Agresifitas Barcelona era Pep dengan Enrique tidak jauh berbeda. Memainkan sepakbola yang mendominasi tim lawan, mengutamakan penguasaan bola, dan melibatkan seluruh pemain untuk build up serangan bahkan penjaga gawang.
Untuk masalah bertahan, terdapat sedikit perbedaan dimana garis pertahanan pada era Pep didorong maju sampai ke garis tengah sehingga pertahanan Barca menjadi high pressing. Resikonya adalah terjadi peristiwa gol counter attack Fernando Torres pada semi final Liga Champions (2011/12) di Camp Nou. Pemain terakhir Barca bahkan sampai berada di depan penyerang Chelsea. What a total football !
Sedangkan Enrique beberapa kali mengusung sepak bola pragmatis. Bertahan jauh ke belakang. Pressing lini pertahanan Barca menjadi konservatif dan terkesan lebih bersabar menunggu di lini belakang, tidak seagresif apa yang ditunjukan Barca bersama Pep.
Walaupun demikian jumlah kemasukan Barca era Enrique lebih sedikit dibandingkan pada era Pep yaitu 38 berbanding 55. Clean sheet Barca era Enrique juga lebih baik dibanding Pep yaitu 33 berbanding 24.
Menghidupkan Raksasa Catalan
Kepelatihan Barca pasca Enrique telah berganti sebanyak 3 generasi. Valverde, Setien, sampai Koeman belum bisa membawa Barcelona kembali pada puncak performanya. Presentase kemenangan total selama kepelatihan Valverde dan Setien hanya 62% dan 64%, dibanding presentase kemenangan total masa kepelatihan Pep dan Enrique yaitu 72% dan 76%.
Kombinasi menyerang dan bertahan Barca saat ini tidak seatraktif dulu. Pemain-pemain yang menjadi kunci saat sukses meraih sextuple dan treble mulai termakan usia. Solo run goal Lionel Messi yang sering dilihat pada kurun 2008-2014 sudah sangat jarang. Pergerakan liar La Pulga menjadi semakin lambat dan mudah ditebak. Daya jelajah sudah sangat menurun drastis. Penguasaan bola lini tengah sangat lemah dan miskin kreatifitas. Tiki-taka hanya menjadi filosofi masa lalu.
Berkaca dari dua masa kejayaan tersebut dapat diambil formula bagaimana menghidupkan kembali Raksasa Catalan. Menemukan kembali filosofi bermain Barcelona yang mendominasi dan atraktif, menempatkan La Masia sebagai bahan baku utama membangun tim, melakukan trasnfer efektif sesuai kebutuhan tim, dan tentunya menyamakan visi antara direksi dengan jajaran pelatih.
Sebuah formula sekaligus menjadi pekerjaan rumah yang sangat berat bagi Koeman, atau siapapun pelatih Blaugrana kelak yang ingin memulangkan kembali masa kejayaan ke Camp Nou.