Presiden Joko Widodo pada 19 Desember 2022 resmi melantik dan mengambil sumpah Laksamana TNI Yudo Margono sebagai Panglima TNI menggantikan Jenderal TNI Andika Perkasa yang memasuki masa pensiun di Istana Negara berdasarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 91/TNI Tahun 2022 tentang Pemberhentian dan Pengangkatan Panglima Tentara Nasional Indonesia.
Sebelumnya dalam uji kelayakan dan kepatutan di Komisi Pertahanan atau Komisi I Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia pada tanggal 2 Desember 2022, Yudo menekankan bahwa dalam kepemimpinannya, TNI harus humanis, sebagaimana kutipan di bawah ini:
“TNI harus selalu menyatu dan hadir di tengah rakyat sebagai problem solver atau selalu bersikap humanis. Apabila nantinya saya mendapat kepercayaan menjadi Panglima TNI maka saya akan mengerahkan segala daya upaya untuk menjamin tidak ada lagi oknum-oknum TNI yang melakukan hal-hal yang tidak terpuji dan bersikap arogan yang dapat merugikan dan menyakiti hati rakyat.” (Komisi I DPR RI Channel, 2022, 23:56–24:23)
Lebih lanjut, terhadap janji Yudo atas pendekatan yang lebih humanis untuk menangani kekerasan yang terjadi di Papua, Presiden Joko Widodo mengatakan bahwa pendekatan humanis merupakan upaya yang baik, begitu juga pengurangan prajurit TNI di Bumi Cenderawasih tersebut.
“Saya kira baik pendekatan humanis, pengurangan prajurit TNI di Papua juga baik tetapi memang harus tegas. Karena kalau kita tidak tegas di sana, KKB selalu berbuat seperti itu dan nggak akan selesai-selesai masalahnya.” (Sekretariat Presiden, 2022, 51:58–52:53). Demikian kutipan pernyataan dari Presiden Joko Widodo saat menemui awak media sesaat setelah melantik Yudo sebagai Panglima TNI di Istana Negara.
Menindaklanjuti pernyataan dari Yudo setelah dilantik menjadi Panglima TNI, pada 25 Desember 2022, beliau mengeluarkan Perintah Harian Panglima TNI yang terdiri dari atas 7 poin, dimana setidaknya terdapat 2 poin dimana Yudo memerintahkan dan menekankan kepada seluruh jajarannya untuk senantiasa membantu kesulitan rakyat dan menggunakan pendekatan humanis.
Narasi Berulang Terkait Pendekatan Humanis
Sebenarnya, janji dalam penggunaan pendekatan humanis untuk menangani kekerasan atau menyelesaikan konflik di Papua juga dipaparkan oleh Panglima TNI sebelum Yudo, yaitu Andika Perkasa, sebelum beliau dilantik menjadi Panglima TNI.
Akan tetapi, Imparsial, sebuah lembaga pemantau hak asasi manusia Indonesia mencatat selama periode 1 Januari 2021 sampai dengan 30 Juli 2022 terdapat setidaknya 3.000 prajurit TNI yang dikirim ke Papua. Eskalasi pengiriman pasukan tersebut juga berbanding lurus dengan peningkatan peristiwa kekerasan bersenjata di Papua yaitu sejumlah 63 peristiwa dengan memakan korban masyarakat sipil setidaknya sejumlah 37 orang. Hal-hal tersebut seolah tidak sejalan dengan janji yang dilontarkan oleh Andika Perkasa.
Supaya menghasilkan kebijakan yang berpihak kepada rakyat, Yudo diharapkan juga dapat mendengarkan pendapat dan masukan dari masyarakat sipil serta ahli sebagai salah satu indikator arah pendekatan TNI dalam menghadapi banyaknya permasalahan di Papua.
Tanggung Jawab Negara
Dengan penduduk mencapai lebih dari 275.000.000 jiwa, hal tersebut otomatis menciptakan keanekaragaman suku, agama, ras, dan budaya di Indonesia. Setiap pendekatan yang dilakukan dalam menangani suatu konflik pastinya berbeda-beda, namun sayangnya sistem yang dipertahankan selama ini di Indonesia masih mengarah pada pendekatan yang bersifat militeristik yang berujung pada kekerasan kepada masyarakat sipil.
Negara sendiri memiliki tanggung jawab dalam memberikan pelindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi melalui upaya mewujudkan suasana yang aman, tenteram, damai, serta sejahtera. Dalam hal penanganan konflik, Indonesia memiliki dasar hukum terkait hal tersebut yaitu Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2012 tentang Penanganan Konflik Sosial dan Peraturan Pemerintah Nomor`1 Tahun 2022 tentang Forum Koordinasi Pimpinan di Daerah.
Undang-Undang Penanganan Konflik Sosial dinilai merupakan sebuah produk hukum yang problematik dan mengundang banyak kritik serta penolakan dari masyarakat sipil karena dalam peraturan tersebut, TNI dapat mengerahkan kekuatannya dalam menangani konflik sosial.
Hal tersebut kontradiktif dengan Undang-Undang Nomor 34 tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia. Dalam UU TNI, penanganan konflik sosial tidak termasuk dalam tugas pokok TNI mengenai operasi militer selain perang.
Di sisi lain, Peraturan Pemerintah tentang Forum Koordinasi Pimpinan di Daerah juga berpotensi memberikan kewenangan yang terlampau besar kepada TNI dalam menangani konflik sosial di daerah.
TNI Harus Berani Berinisiatif Ikut Serta dalam Jeda Kemanusiaan di Papua
Supaya tidak menjadi narasi yang berulang, Panglima TNI harus berani berinisiatif dengan ikut serta mengambil bagian dalam jeda kemanusiaan di Papua. Sebelumnya, pada 11 November 2022 bertempat di Jenewa, Swiss, naskah kesepamahaman tentang jeda kemanusiaan ditandatangani oleh Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, United Liberation Movement for West Papua, Wali Gereja Papua, dan Majelis Rakyat Papua.
Namun, sungguh sangat disayangkan nota kesepahaman yang memiliki 3 poin penting antara lain 1.) menghentikan konflik di Papua; 2.) membantu pengungsi; dan 3.) menangani tahanan, ini tidak melibatkan TNI dan Polri yang juga menjadi pihak atau selama ini terjun langsung berhadapan dengan masyarakat Papua.
Apabila ditelisik lebih jauh, konflik yang terjadi di Papua tidak hanya sebatas masalah konflik keamanan, melainkan terdapat konflik sosial ekonomi dan kemiskinan struktural yang terjadi selama bertahun-tahun.
Oleh karena itu, pendekatan yang sebaiknya digunakan dalam upaya penyelesaian konflik adalah pendekatan kesejahteraan yang humanis dan merangkul semua pihak.
Jika kita berkaca kepada penyelesaian konflik di beberapa daerah di Indonesia, penyelesaian konflik melalui pendekatan militer selalu mendapat tentangan dari masyarakat. Karena terbukti dalam upaya penyelesaian konflik di Aceh misalnya, dapat terselesaikan dengan cara diskusi dan dialog melalui MoU Helsinki.
Contoh lain yaitu penyelesaian konflik di Maluku yang dapat dikatakan sukses dengan menggunakan pendekatan sosial ekonomi secara damai. Sehingga, walaupun dirasa lebih kompleks, pendekatan berbasis dialog sudah sepatutnya dikedepankan sebagai formula penyelesaian konflik di Papua.
Akhir kata, kita sama-sama mengetahui bahwa masa jabatan Yudo sebagai Panglima terbilang singkat. Akan tetapi, kesejahteraan di Papua bukan tidak mungkin untuk diraih apabila semua pihak dapat menaruh perhatian besar terhadap hal ini. Oleh karena itu, janji Yudo terkait dengan pendekatan humanis dan penarikan pasukan dari Papua sudah seharusnya kita apresiasi dan kawal demi pemenuhan hak asasi manusia di Papua.