Akhir tahun 2018 lalu media massa ramai mengabarkan situasi mengerikan di Xinjiang. Di sana Pemerintah Cina menindas Muslim Uighur. Lalu puluhan aksi bela Uighur bermunculan dari banyak ormas dan organisasi kemahasiswaan.
Polemik ini muncul lagi di dua-tiga hari terakhir. Kali ini melibatkan sejumlah tokoh nasional, seperti Dahnil Anzar, mantan Ketua Pemuda Muhammadiyah dan Jubir BPN, Azzam M Izzulhaq, aktivis kemanusiaan internasional, Yaqut Cholil, Ketua Umum GP Ansor, dan beberapa tokoh lainnya.
Terlepas dari itu semua, ada satu hal yang terlupakan. Mengapa Pemerintah Cina menindas muslim Uighur? Temuan saya, itu karena kepentingan partai otoriter yang bergantung pada ideologi komunis berbenturan dengan perjuangan sebuah negara mengembalikan kedaulatannya dengan menggunakan Islam.
Artikel ini menjelaskan temuan itu secara lengkap.
***
Ideologi komunis membuat Partai Komunis Cina (PKC) bisa memonopoli dan menyatukan Cina. Karenanya, PKC berusaha menjaga dan merawat keberlangsungan komunisme dengan mendapatkan persetujuan rakyat. Caranya, dengan menciptakan hubungan sebab-akibat antara komunisme dengan manfaat yang diterima rakyat (Hung dan Dingle, 2014).
Makin rakyat yakin kalau komunismelah yang menyebabkan keuntungan yang diterimanya, makin kuat legitimasi komunisme, maka makin langgeng kekuasaan PKC dan eksistensi Cina sebagai sebuah negara besar.
Tapi andai saja PKC gagal meyakinkan rakyat, maka seperti yang dibilang Shambaugh (2007:58), If party state loses battle for minds, losing battle for hearts will not be far behind. Dukungan terhadap komunisme meredup. Itulah akhir sejarah PKC dan bahkan Cina itu sendiri.
Inilah yang membuat sejarah Cina tak pernah jauh dari usaha PKC merawat dan menjaga legitimasi komunisme. Misalnya di era Mao Zedong. Keberhasilan memperkuat daerah pedesaan, bertahan di masa-masa sulit, dan mengusir Jepang diklaim sebagai manfaat komunisme.
Lalu ketika tragedi berdarah Lapangan Tiananmen menggerus popularitas komunisme, Deng Xiaoping menciptakan kesejahteraan sebagai manfaat terbaru dari komunisme. Meski sebetulnya melalui cara yang sangat kontroversial: liberalisasi pasar (Dreyer, 2015; Saich, 2015; Lam, 2015 Tony Yu, 2014).
Intinya, apa pun dilakukan demi umur panjang komunisme.
Kisah Uyghur di Xinjiang lain lagi. Mereka punya sejarah, budaya, dan agamanya sendiri. Perbedaan-perbedaan itu mendorong mereka untuk mendirikan negara sendiri: Turkistan. Tapi karena punya banyak nilai strategis, negara ini selalu diokupasi Cina. Bukan hanya sekali, tapi berkali-kali.
Pada tahun 1863, misalnya, negara Islam Turkistan Timur berdiri dan sudah diakui oleh Ottoman, Inggris dan Uni Soviet. Tapi berhasil dikuasai Cina Manchu pada tahun 1876. Republik Islam Turkistan Timur menyusul pada tahun 1933. Malangnya, Stalin mengirim pasukan penakluk lalu menyerahkan nasib Uyghur kepada Cina.
Terakhir, Republik Turkistan Timur dideklarasikan pada tahun 1944, lengkap dengan lagu kebangsaan dan bendera nasional. Namun lagi-lagi nasibnya sama dengan dua negara pendahulunya. Ia diduduki Cina di bawah Mao Zedong lima tahun setelah dideklarasikan (Duman, 2018; Kamberi, 2015).
Situasi Turkistan (Xinjiang) setelah tahun 1949 menjadi rumit. Di satu sisi Islam mampu menjaga dan memperkuat semangat perlawanan, sedangkan di sisi lain Pemerintah Cina membuat banyak kebijakan yang merugikan Uyghur.
Islam punya dogma yang bisa digunakan membakar semangat perlawanan Uyghur. Bisa diambil sebagai contoh ucapan seorang tokoh Turkistan, “…ini merupakan kewajiban agama, negara, dan politik untuk tidak kehilangan [kemerdekaan] dari tangan kita.” (Klimes, 2015)
Di sisi yang lain, Pemerintah Cina banyak membuat kebijakan tak adil di Xinjiang (Turkistan). Misalnya dengan memobilisasi etnis Han, etnis asli Cina, ke wilayah Xinjiang untuk kemudian menutup kesempatan Uyghur menikmati lonjakan kesejahteraan.
Lain dari itu, membatasi Uyghur berpergian ke luar negeri, bahkan ke provinsi lain (Tharoor, 2009; BBC, 2014). Masih banyak lagi kebijakan diskriminatif Pemerintah Cina.
Semangat perlawanan yang terus tumbuh pada satu sisi, sedangkan kebijakan yang tidak adil dari Pemerintah Cina di sisi yang lain, membuat semangat Uighur untuk membebaskan Turkistan membara. Ini terlihat dari banyaknya peristiwa kekerasan di Xinjiang (Turkistan) sejak 1949 hingga sebelum 2018 lalu.
Sekadar menyebut peristiwa besar, pada tahun 1962 terjadi revolusi di Xinjiang (Turkistan) yang kemudian berhasil digagalkan Pemerintah Cina. Lalu pada tahun 1997 lebih dari 3000 Uighur melakukan perlawanan bersenjata yang kembali berhasil ditumpas. Perlawanan yang hampir sama juga terjadi pada tahun 1998, 1999, 2009, 2012, dan hingga 2014 (Thoor, 2009; BBC, 2014; dan Hyer, 2006).
Kekerasan-kekerasan itu menjelma menjadi persoalan sulit bagi PKC. Islam adalah sumber persoalan di Xinjiang (Turkistan). Ia tak hanya terus membakar semangat perlawanan Uighur, tapi juga mengancam kelanggengan kekuasaan PKC, bahkan eksistensi Negara Cina itu sendiri.
Jikalau Islam terus dibiarkan, Turkistan akan terbebas. Dua permasalahan krusial segera muncul. Pertama, komunisme akan dianggap tak pantas lagi menjadi ideologi negara, PKC pun kehilangan haknya memonopoli politik Cina.
Kedua, lebih buruk dari itu. Lepasnya Turkistan menjadi alasan kuat bagi daerah-daerah lain untuk merdeka. Terlebih bagi provinsi khusus (negara) Taiwan, Hong Kong, dan Macau yang dari segi sejarah dan ekonomi politik bahkan punya alasan dan sumber daya lebih kuat. Artinya, Turkistan lepas, Cina hilang dari peta dunia.
Dua ancaman inilah yang membuat Pemerintah Cina, yang tak lain PKC, membenci Islam di Xinjiang (Turkistan). Cina menuduh Islam sebagai ideologinya teroris-separatis dan sekaligus memaksa Islam tunduk terhadap komunisme. Seorang pejabat kejaksaan Xinjiang mengatakan bahwa semua peristiwa terorisme adalah berhubungan dengan aktivitas keagaamaan, merujuk kepada Islam.
Pun begitu. Sekretaris PKC Provinsi Xinjiang bilang, tujuan Uyghur adalah separatisme berbasis Islam, yaitu hendak mendirikan negara Islam (Hyer, 2006).
Penundukkan Islam di Xinjiang (Turkistan) beda lagi. Hampir semua Uyghur ditangkap untuk ‘disekolahkan’ di kamp-kamp khusus guna memperdalam komunisme. Mereka juga dilarang menjalankan ibadah. Bersamaan dengan itu, ada 231 intelektual Uyghur yang hilang pada April 2017-September 2018 (Uyghur Human Rights Project, Oktober 2018).
Terakhir, awal 2019 Presiden Xi Jinping mengeluarkan peraturan agar Islam disesuaikan dengan Komunisme dengan mengubah Al-Quran (Al Jazeerah, Januari 2019).
***
Pertanyaannya kemudian, bagaimana cara terbaik umat Islam di Indonesia merespon kekerasan pada Uighur?
Membela Uyghur sangat beralasan. Turkistan harus mendapatkan kembali kedaulatannya (bukan separatisme) agar Uighur tidak lagi ditindas dan bisa beribadah secara bebas.
Akan tetapi, pembelaan itu sama artinya dengan meruntuhkan Cina. Bila Xinjiang (Turkistan) lepas, kepercayaan terhadap komunisme lenyap, lalu PKC kehilangan kuasanya seiring dengan merdekanya sejumlah provinsi (negara). Cina akan lenyap.
Intinya, Umat Islam Indonesia wajib membela Uighur dengan menghormati eksistensi Cina sebagai sebuah negara. Bagaimana caranya? Inilah yang perlu dijawab.