“Seorang Pemuda Dipolisikan karena Menawarkan Kondom pada Tetangganya.” – judul berita Koran X tahun 2019

Terdengar absurd? Tentu saja. Sejak kapan menawarkan kondom pada orang lain jadi tindakan kriminal? Sejak kapan pula polisi punya waktu dan penjara punya tempat – sementara hal-hal jahat seperti korupsi dan cyber crime merajalela?

Sayangnya, absurditas judul berita andai-andai di atas mungkin saja akan menjadi kenyataan di Indonesia masa depan. Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) yang saat ini sedang digodok para anggota DPR dengan begitu bersemangat – bahkan ditargetkan untuk dapat disahkan pada tahun ini juga – mencantumkan dua pasal yang mengatur tentang kontrasepsi: Pasal 481 dan 483 RKUHP membahas mengenai “ketentuan tindak mempertunjukkan suatu alat untuk mencegah kehamilan”, dengan bunyi sebagai berikut:

Pasal 481:

Setiap orang yang tanpa hak secara terang-terangan mempertunjukkan suatu alat untuk mencegah kehamilan, secara terang-terangan atau tanpa diminta menawarkan, atau secara terang-terangan atau dengan menyiarkan tulisan tanpa diminta, menunjukkan untuk dapat memperoleh alat pencegah kehamilan tersebut, dipidana dengan pidana denda paling banyak Kategori I.

Pasal 483:

Tidak dipidana, setiap orang yang melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 481 dan 482 jika perbuatan tersebut dilakukan petugas yang berwenang dalam rangka pelaksanaan keluarga berencana dan pencegahan penyakit menular.

Berbagai upaya advokasi yang dilakukan oleh elemen-elemen masyarakat sipil yang peduli pada hak dan kesehatan seksual reproduksi memang telah membuahkan hasil berupa definisi yang lebih ketat mengenai terminologi “petugas yang berwenang”, yaitu sebagai berikut (update per tanggal 2 Februari 2018):

Pasal 457:

Setiap orang yang tanpa hak dan tanpa diminta secara terang-terangan mempertunjukkan suatu alat untuk mencegah kehamilan, menawarkan, menyiarkan tulisan, atau menunjukkan untuk dapat memperoleh alat pencegah kehamilan tersebut dipidana dengan pidana denda paling banyak Kategori I (10 juta rupiah).

Pasal 459:

  • Setiap orang yang melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam pasal 457 dan 458 tidak dipidana jika perbuatan tersebut dilakukan oleh petugas yang berwenang dalam rangka pelaksanaan keluarga berencana dan pencegahan penyakit infeksi menular seksual serta untuk kepentingan pendidikan dan penyuluhan kesehatan.
  • Petugas yang berwenang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) termasuk relawan yang kompeten yang ditugaskan oleh pejabat yang berwenang.

Jika membaca redaksi pasal-pasal di atas, cukup jelas bahwa RKUHP berpotensi memberikan ancaman pemidanaan atau kriminalisasi pada upaya-upaya terkait edukasi dan pelayanan kesehatan seksual reproduksi masyarakat Indonesia.

Meski demikian, sampai hari ini advokasi terkait pasal kontrasepsi dalam RKUHP masih lebih banyak dilakukan oleh elemen-elemen masyarakat yang berlatar belakang humaniora, seperti teman-teman aktivis HAM dan hukum. Bahkan menurut keterangan Frenia Nababan dari Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI), badan-badan resmi terkait kesehatan di Indonesia seperti Kementarian Kesehatan dan BKKBN nyaris tidak diikutsertakan dalam proses pembahasannya di level DPR.

Belum terdengar suara-suara yang cukup kencang dari kalangan yang seharusnya paling berkepentingan dan terkait langsung, yakni rekan-rekan yang berprofesi sebagai tenaga medis. Mungkin pula sosialisasi mengenai urgensi advokasi RKUHP ini belum menyentuh lingkaran peredaran isu yang dianggap penting di kalangan tersebut.

Hukum positif punya peran yang besar dalam kehidupan masyarakat bernegara. Apa yang tertulis dalam hukum dapat dijadikan standar yang mutlak tentang bagaimana kita seharusnya berperilaku (di mata kuasa negara).

Ibarat kata: sudah berbusa-busa mengedukasi dan berdialog pun, jika hukumnya belum jelas, hasilnya bisa tetap nol besar karena orang akan tetap pandang enteng. Sebaliknya, perbuatan yang secara esensial benar bisa menjadi salah (dan jadi terpidana) jika hukumnya mendefinisikan perbuatan tersebut sebagai kesalahan.

Pasal-pasal terkait kontrasepsi dalam RKUHP adalah sebuah sumber masalah terkait kesehatan. Mengapa? Jika digali lebih dalam, pasal-pasal ini sesungguhnya bertentangan dengan prinsip-prinsip yang dipegang teguh dalam dunia medis. Dengan demikian, pasal-pasal bermasalah tersebut harus ditolak.

Pertanyaannya, prinsip mana saja yang dilanggar? Mari kita bahas satu demi satu.

Efektivitas dan efisiensi pemberdayaan kesehatan seksual reproduksi masyarakat

Salah satu topik yang paling sulit untuk diedukasikan kepada masyarakat di Indonesia adalah topik kesehatan seksual reproduksi. Hambatan ini terutama berasal dari faktor sosiokultural, seperti berbagai macam tabu, stigma, hambatan agama/kepercayaan, sampai hierarki kekuasaan seperti patriarki (sebuah sistem di mana salah satu gender, yakni laki-laki, diposisikan di atas gender-gender lain).

Tenaga kesehatan atau praktisi kesehatan masyarakat yang ingin menyebarluaskan informasi kesehatan seksual reproduksi harus “mengakali” dengan berbagai macam cara. Salah satu metode yang diandalkan adalah penyampaian informasi melalui peer to peer atau jejaring teman sebaya, misalnya pada kelompok usia remaja. Ikatan pertemanan yang erat, rasa sepaham, dan minimnya ketimpangan kuasa atau rasa canggung pada relasi antarteman sebaya (dibandingkan relasi dengan orangtua/guru/petugas kesehatan) diharapkan dapat menjadi jalur edukasi yang lebih efektif.

Adanya jejaring teman sebaya ini, seperti halnya jejaring relawan dan kader kesehatan, juga dapat mengisi kekosongan yang timbul dari masih rendahnya rasio tenaga kesehatan di Indonesia. Menurut data dari Profil Kesehatan Indonesia tahun 2016 yang disusun oleh Kementerian Kesehatan, rasio dokter di Indonesia saat ini adalah 16,2 dokter untuk setiap 100.000 penduduk – masih jauh dari target nasional untuk tahun 2019 yakni 45:100.000. Demikian pula dengan rasio perawat (114,75:100.000 dibandingkan target 180:100.000) dan rasio bidan (63,22:100.000 dibandingkan target 120:100.000).

Di pihak lain, RKUHP mensyaratkan bahwa mereka yang tidak akan dipidana jika “kedapatan” memberikan informasi mengenai kontrasepsi adalah “petugas yang berwenang” serta “relawan kompeten yang ditunjuk oleh pejabat berwenang”. Seandainya hal ini telah berlaku, bisa jadi di masa depan akan ada percakapan semacam ini pada sesi konseling petugas kesehatan:

Petugas: “Jadi kalau berhubungan wajib pakai kondom, ya. Sudah diajari tadi cara pakai yang benarnya.”

Remaja: “Siap, Dok.”

Petugas: “Jangan lupa, kalau sudah ngerti teman-temannya diajari juga supaya makin banyak yang tahu dan terhindar dari penyakit.”

Remaja: “Ngg… Ah, nggak ah, Dok. Saya takut ditangkap polisi! Biar aja mereka mah, yang penting sayanya nggak sakit!”

Kondom adalah salah satu metode kontrasepsi yang mudah digunakan, praktis, murah, aman, dan efektif. Center for Disease Control and Prevention (CDC) juga menyatakan bahwa kondom berbahan lateks yang digunakan secara benar dan konsisten dapat membantu mengurangi risiko penularan Infeksi Menular Seksual (IMS) termasuk HIV/AIDS secara bermakna.

Kondom adalah benda kecil yang sederhana tapi betul-betul bisa menyelamatkan nyawa, sehingga pengetahuan dan akses terhadap kondom menjadi vital dalam upaya memperbaiki kualitas kesehatan seksual reproduksi. Shortly speaking, you don’t need rocket science to be able to use a condom properly, yet it’s very safe and effective.

Sayangnya, RKUHP tidak menjelaskan metode kontrasepsi mana yang dipandangnya harus diinformasikan oleh “petugas berwenang”. Kondom yang simpel dan mudah digunakan agaknya disamakan dengan KB suntik atau IUD yang butuh kompetensi khusus. Kondom yang bisa diedukasikan oleh teman sebaya dianggap layaknya terapi atau pengobatan khusus yang harus diverifikasi dengan “penunjukan oleh pejawat berwenang”.

RKUHP tampak tidak memahami pembagian kompetensi dan pengetahuan yang sudah sejak dahulu diterapkan dalam dunia kesehatan, tidak dapat membedakan bagian mana yang menjadi jatah profesional dan bagian mana yang boleh dilakukan awam.

Kesalahan fatal ini akan menjadi kontraproduktif. RKUHP akan memperpanjang jalur yang harus ditempuh demi sampainya informasi seluas-luasnya untuk pemberdayaan kesehatan masyarakat, menciptakan ketakutan bagi teman-teman awam yang secara swadaya bergerak dalam kepedulian mereka terhadap kesehatan seksual reproduksi, memperumit upaya promosi kesehatan dengan birokrasi tidak penting (Penunjukan pejawat berwenang? Oleh siapa? Dengan cara apa? Biaya tambahan berapa?), dan secara umum semakin mempersulit terpenuhinya hak masyarakat untuk mendapatkan informasi kesehatan seksual reproduksi yang bukan hanya benar namun juga efektif dan efisien.

Hak Asasi Manusia (HAM) terkait kesehatan seksual reproduksi

Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (Universal Declaration of Human Rights) Artikel 25 Poin (1) menyatakan bahwa:

“Everyone has the right to a standard of living adequate for the health and well-being of himself and of his family, including food, housing, clothing and medical care and necessary social services, and the right to security in the event of unemployment, sickness, disability, widowhood, old age or other lack of livelihood in circumstances beyond his control.”

Senada dengan Deklarasi HAM di atas, petunjuk dan rekomendasi terkait pemenuhan HAM dalam informasi dan layanan kontrasepsi yang diterbitkan oleh World Health Organization (WHO) pada tahun 2014 juga menegaskan antara lain:

  • Kebutuhan kontrasepsi yang tidak terpenuhi mengancam nyawa banyak perempuan dan keluarga mereka secara global, terutama di negara berkembang, dan terutama mengancam kelompok rentan dalam masyarakat (orang muda, orang miskin, mereka yang hidup di tempat-tempat kumuh serta terpinggirkan dari pusat-pusat kota, Orang dengan HIV/AIDS atau ODHA, dan kaum marjinal lainnya).
  • Kontrasepsi memberikan keuntungan kesehatan yang nyata, dan merupakan bagian dari upaya memenuhi hak asasi setiap orang atas standar kesehatan yang setinggi-tingginya.
  • Pemenuhan hak asasi manusia atas kesehatan tidak dapat dipenuhi tanpa lebih dulu memenuhi dan melindungi hak atas edukasi dan informasi.
  • Bentuk komitmen negara terhadap perlindungan HAM antara lain adalah dengan tidak menghalang-halangi pemenuhan hak tersebut, di antaranya dengan tidak mengkriminalisasi upaya-upaya terkait edukasi kontrasepsi maupun kontrasepsi itu sendiri. Komitmen negara ini berada di bawah pengawasan hukum internasional.

Dengan demikian, upaya mengurangi, mempersulit, dan/atau memidanakan upaya penyebaran informasi dan edukasi tentang kontrasepsi melalui RKUHP jelas merupakan suatu bentuk pelanggaran hak asasi manusia untuk mencapai taraf kesehatan yang maksimal. Mirisnya, pelanggaran ini dilakukan secara sadar dan sistematis oleh negara terhadap warganya sendiri.

Pemberian layanan kesehatan bebas bias dan diskriminasi

Panduan HAM terkait kontrasepsi dari WHO juga mencantumkan bahwa layanan dan akses informasi mengenai kontrasepsi harus tersedia untuk semua orang secara sukarela, bebas dari diskriminasi, paksaan, atau kekerasan. Hukum dan kebijakan yang terkait harus mampu melindungi prinsip-prinsip tersebut, memastikan akses pemenuhan hak tersebut bagi semua segmen masyarakat, dan terutama memberikan perhatian khusus pada mereka yang termarjinalisasi.

Adapun diskriminasi yang dimaksud adalah segala bentuk diskriminasi yang berbasis ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, politik/perbedaan pendapat lainnya, status sosial ekonomi dan kepemilikan, keturunan/status kelahiran, disabilitas, status pernikahan, orientasi seksual dan identitas gender, serta domisili.

Selain itu, Sumpah Dokter yang dilafalkan oleh setiap orang yang hendak diwisuda menjadi dokter di Indonesia juga menjamin ketersediaan layanan kesehatan nondiskriminatif dan bebas bias. Hal ini ditetapkan melalui poin sumpah keenam yang berbunyi:

“Saya akan berikhtiar dengan sungguh-sungguh supaya saya tidak terpengaruh oleh pertimbangan keagamaan, kebangsaan, kesukuan, politik kepartaian, atau kedudukan sosial, dalam menunaikan kewajiban saya terhadap penderita.”

Dalam berbagai perdebatan perihal pasal kontrasepsi dalam RKUHP, satu argumen yang terus diulang oleh pihak yang mendukung pengesahannya adalah kekhawatiran adanya “penyalahgunaan kontrasepsi”. Definisi penyalahgunaan ini tidak jauh dari perzinaan atau hubungan seks di luar nikah – dengan kata lain, tidak jauh dari pertimbangan moralitas dari sudut pandang agama.

Misalnya, sosialisasi kontrasepsi yang dilakukan dengan bebas ditengarai akan menaikkan kecenderungan untuk berzina – maka lebih baik mencabut metode “pengaman” agar orang takut untuk berbuat (dan yang berbuat kena ganjarannya). Sebuah mentalitas primordial: mengharap orang celaka lebih baik daripada mencegah celaka. Prinsip yang sama sekali berlawanan dengan prinsip promotif dan preventif dalam kesehatan.

Lebih jauh lagi, kecurigaan ini tidak berdasar pada data. Satu, studi literatur yang dilakukan oleh National Campaign to Prevent Teen and Unplanned Pregnancy (2007) menyatakan bahwa pendidikan seksual reproduksi yang komprehensif berperan penting dalam mengurangi perilaku seks yang tidak sehat tanpa meningkatkan jumlah aktivitas seksual di kalangan remaja.

“Komprehensif” artinya tidak hanya menyuruh remaja untuk tidak berhubungan seksual (abstinence) melainkan juga mencakup bahasan seperti safe sex dan kontrasepsi. Dua, survei yang dilakukan Komisi Nasional Perlindungan Anak di tahun 2008 menyimpulkan bahwa mayoritas (62,7%) remaja SMP telah melakukan hubungan seks pranikah.

Sementara itu, data yang dihimpun oleh PKBI di tahun 2006 menyatakan bahwa remaja yang mengaku pernah melakukan hubungan seksual pranikah memiliki rentang usia 13-18 tahun dengan 60% di antaranya mengaku tidak menggunakan alat kontrasepsi dan melakukan hubungan seks tersebut di rumahnya sendiri. Artinya, tanpa mengetahui soal kontrasepsi pun, jumlah remaja yang melakukan hubungan seks pranikah sudah banyak – dan mereka ini berisiko mengalami efek negatif dari seks yang tidak aman.

Tiga, data mengenai HIV/AIDS yang dihimpun di seluruh Indonesia dari tahun 1987 s.d. Maret 2016 menunjukkan bahwa jumlah kasus AIDS tertinggi menurut pekerjaan/status adalah pada ibu rumah tangga – suatu hal yang menunjukkan bahwa hubungan seks dalam pernikahan (nonzina) tidak serta merta melindungi seseorang dari paparan IMS.

Ketika suatu kebijakan publik yang akan mengikat seluruh warga negara menggunakan bias keagamaan sebagai pertimbangannya, ia menjadi kebijakan yang tidak netral. Ditambah dengan adanya kecenderungan untuk mengabaikan pemenuhan HAM yang universal serta tidak didukung oleh data-data saintifik yang ada, pasal-pasal kontrasepsi dalam RKUHP menjadi kebijakan terkait layanan kesehatan yang bias, tidak berkeadilan, sekaligus jahat dan tidak masuk akal.

Beneficence dan Non-Maleficence 

Dalam melaksanakan praktik kedokteran, dikenal dua prinsip yang saling berhubungan: beneficence dan non-maleficence. Beneficence adalah perbuatan yang dilakukan untuk memberikan keuntungan pada seseorang, baik dengan cara mencegah atau menghilangkan hal-hal yang mencelakakan maupun dengan memperbaiki situasi secara langsung. Non-maleficence adalah tidak melakukan hal-hal yang merugikan, membahayakan, atau mengandung kebencian terhadap seseorang (do no harm).

Sebagaimana telah dijabarkan dalam ketiga poin terdahulu, pasal-pasal kontrasepsi dalam RKUHP berpotensi melanggar pemenuhan HAM, melanggengkan layanan kesehatan yang tidak berdasarkan data, diskriminatif, dan bias moral, serta lebih banyak mengandung semangat ingin mencelakakan daripada melindungi warga negara. Dengan demikian, prinsip beneficence dan non-maleficence dengan sendirinya telah dilanggar.

Sumpah Dokter

Selain poin keenam mengenai layanan profesi yang bebas bias, poin kelima dari Sumpah Dokter Indonesia mengharuskan pengucapnya untuk bersumpah bahwa ia akan senantiasa mengutamakan kesehatan penderita.

Apabila pasal-pasal kontrasepsi dalam RKUHP disahkan, pelayanan dan edukasi kesehatan seksual reproduksi di Indonesia juga akan turut dipaksa untuk lebih mengutamakan pertimbangan moral dengan definisi yang subyektif daripada kesehatan dan kesejahteraan individu.

----

Thoraya Ahmed Obaid, seorang wanita dari Arab Saudi yang pernah menjabat sebagai Direktur Eksekutif UNFPA (United Nations Population Fund) dan Under-Secretary General dari Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pernah mengatakan demikian:

"We cannot confront the massive challenges of poverty, hunger, disease and environmental destruction unless we address issues of population and reproductive health."

Isu kesehatan seksual reproduksi adalah bagian dari isu kemanusiaan, yang eksesnya bisa sampai ke berbagai bidang kehidupan. Sebagai tenaga medis, sadar atau tidak kita adalah bagian dari kekuatan yang mempertahankan kemanusiaan. Pasal-pasal kontrasepsi RKUHP dengan segala kesumirannya sama sekali tidak mencerminkan semangat kemanusiaan yang utuh dan universal.

Dengan demikian, kita selaku tenaga medis perlu ikut bersuara untuk #TolakRKUHPNgawur. Agar pasien-pasien kita tidak dirugikan, agar klien-klien kita betul-betul mendapat haknya, agar orang-orang yang peduli pada kesehatan tidak dikriminalisasi, agar dalam pergulatan zaman yang semakin maju taraf kesehatan bangsa ini tidak malah semakin mundur.

***

Referensi:

Presentasi “Akses Terhadap Informasi dan Layanan Kontrasepsi dalam Rancangan KUHP” oleh Frenia Nababan, disampaikan pada diskusi bersama tokoh-tokoh agama mengenai RKUHP yang diselenggarakan Yayasan Graha Prima Karya Sejahtera di Wisma PKBI Jawa Barat, 1 Maret 2018

Universal Declaration of Human Rights (illustrated edition) – United Nations (2015)

Ensuring human rights in the provision of contraceptive information and services: Guidance and recommendations – World Health Organization (2014)

Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2016 – Kementerian Kesehatan Republik Indonesia (2017)

Condoms and STDs: Fact Sheet for Public Health Personnel 

Beneficence vs Nonmaleficence 

Laporan Perkembangan HIV-AIDS & Penyakit Infeksi Menular Seksual (PIMS) Triwulan I Tahun 2017 – Ditjen P2P Kementerian Kesehatan RI

Infografis Tabu.id

Lafal Sumpah Dokter