Pertanyaan ‘mengapa setiap sejarah mesti dirunut?’ bukan hanya berkiblat pada tanggung jawab untuk tidak melupakan begitu saja sesuatu yang telah terjadi. Lebih dari itu, sejarah selalu dapat menjadi cermin bagi the present dan the future. Karenanya, tak ada alasan yang cukup kokoh untuk mengklaim bahwa sebuah telaah sejarah itu tidak punya sumbangsih apa-apa.
Lebih lanjut, pertanyaan eksistensial ini, hemat saya, merupakan fondasi bagi berdirinya aneka studi sejarah, termasuk penjelajahan filosofis atas sejarah pemikiran modern. Dan kita sadari, karena filsafat pada hakikatnya berupaya mengelaborasi setiap realitas konkret dan vital secara radikal dan komprehensif, maka tak mungkin dilepaspisahkan begitu saja dari suatu konteks historis tertentu atau pergumulan intelektual seorang tokoh tertentu.
Bertolak dari tesis dasar ini, ringkasan yang disajikan dalam dua buku dan kuliah Frans Ceunfin (dosen Etika dan Sejarah Pemikiran Modern di STFK Ledalero, Flores) hendak menunjukkan urgensi sebuah studi historis. Bahwasanya, pelbagai pemikiran yang tengah hidup, menjiwai, dan digumuli di era post-modenisme ini, memiliki latar historis atau bersumber pada perspektif tokoh tertentu. Untuk itu, sejarah pemikiran modern penting untuk dirunut.
Dengan cirinya yang khas (otonom, pluralistik, berpatok pada ilmu pengetahuan, dan antroposentris), filsafat modern coba dirunut sejak kebangkitan humanisme (yang berpuncak pada pengagungan martabat manusia sebagai magnum miraculum) dan renesans (reditus-nya semangat untuk menggumuli dunia antik). Selanjutnya, ilmu pengetahuan mulai mengalami revolusi, dengan tokoh-tokoh penting di dalamnya, semisal Copernicus dan Newton.
Namun, dua tokoh berikut ini menjadi begitu penting karena meletakkan basis-basis bagi berdirinya pemikiran modern, yang oleh sejarah disebut sebagai pionir atau perintis, yakni Francis Bacon dan Rene Descartes. Pasca Descartes, rasionalisme sebagai sebuah aliran filsafat yang begitu menekankan aspek rasio atau intelek, dikembangkan secara serius oleh Melebranche, Spinoza, dan Leibniz; dilanjutkan dengan Empirisme (yang mengunggulkan pengalaman) di Inggris, oleh Hobbes, Locke, Berkley, dan Hume.
Kemudian, Pascal dan Vico memulai proyek mereka dengan gagasan kunci, yakni otonomi sebagai bentuk kritik terhadap rasionalisme. Setelah itu, aufklärung lahir, yang dengan kepercayaan total pada akal budi manusia (superioritas ilmu pengetahuan, empirisme, rasionalisme, anti-tradisi, dan optimisme utopis), memberi aksentuasi atas pemenuhan antropo-sentrisme radikal yang gemanya mulai bergaung sejak humanisme dan renesans.
Selanjutnya, sosok dan pemikiran Imanuel Kant hadir dan ‘menguasai’ panggung sejarah filsafat. Sebagai mega-filsuf yang amat berpengaruh, Kant menyodorkan pelbagai penemuan filosofisnya yang memengaruhi pemikiran hingga dewasa ini.
Selepas Kant, awal abad ke-19, muncul sebuah masa baru yang dikenal sebagai Masa Romantik, yang kerap disebut sebagai reaksi atas Enlightenment. Lalu, pokok lainnya ialah idealisme yang dimulai di Jerman dan tumbuh-kembang Filsafat Barat Pasca Idealisme.
Sekiranya ringkasan atas ringkasan yang saya buat ini telah menjawabi dua sasaran yang saya maksudkan. Pertama, menyebutkan alasan fundamental yang melatari setiap studi sejarah, termasuk sejarah pemikiran modern. Dan apabila sejarah pemikiran modern itu dirunut, maka kedua, sekurang-kurangnya alur sistematis dan metodisnya seperti tersusun di atas.