Feminisme acap kali ditempatkan sebagai sebuah kata yang tabu oleh sebagian perempuan muslim di Indonesia. Sebagian perempuan muslim sengaja menjauhi bahkan terang-terangan mengkritik wacana feminisme yang berkembang di masyarakat dengan alasan bahwa feminisme merupakan salah satu produk dari Barat. Alasan ini masuk akal, sebab Islam dan Barat cenderung memiliki hubungan yang antagonistik.

Penulis menilai bahwa penting untuk meninjau hubungan antara Islam dan Barat agar dapat memahami orientasi dan sikap muslim terhadap feminisme. Terdapat beberapa hal yang dapat mempengaruhi dinamika hubungan Islam dan Barat. Salah satu penyebab munculnya hubungan antagonistik antara Islam dan Barat terjalin melalui kolonialisme yang dilakukan oleh Barat di negara-negara muslim. 

Leila Ahmed dalam bukunya yang berjudul Women and Gender in Islam: Historical Roots of a Modern Debate (1992) menyebut bahwa dalam retorika barat, budaya berjilbab dan kedudukan perempuan dalam masyarakat muslim menjadi bukti adanya inferioritas Islam (p. 241). Penilaian ini lantas memberikan legitimasi bagi Barat atas  upaya mereka untuk melemahkan agama dan masyarakat Muslim . 


Dalam sudut pandang lain, Miró dalam artikelnya berjudul Encountering the colonial: religion in feminism and the coloniality of secularism (2020) menulis bahwa terdapat kecenderungan bagi Barat untuk mengasumsikan bahwa Islam memiliki nilai yang bertentangan dengan nilai sekularisme yang disakralkan oleh Barat.

Sekularisme merupakan pencapaian paling khas dari modernitas Barat. Modernitas yang dianut oleh Barat mendorong perempuan untuk berjuang melawan masalah diskriminasi yang mereka alami. Perempuan di dalam masyarakat Barat mampu memanfaatkan ide sekularisme, termasuk penentuan hak individu untuk mencapai kepentingan mereka.

Hubungan antagonistik yang terjadi antara Islam dan Barat lantas memantik pertentangan antara feminisme dan Islam. Terdapat pemahaman universal mengenai feminisme yang menempatkan feminisme sebagai bagian dari budaya Barat. Menentang feminisme bukan hanya menentang Barat, namun pada dasarnya juga menentang nilai-nilai sekularisme yang ditawarkan oleh Barat. 

Feminisme yang berkembang di masyarakat umumnya dimengerti sebagai salah satu produk Barat. Dalam beberapa narasi, feminisme diasosiasikan sebagai ideologi yang mendukung kolonialisme dan kapitalisme. Di Indonesia, hal ini tergambarkan oleh kecenderungan kelompok Islam fundamentalis yang secara tegas menolak dan menentang feminisme. Sebaliknya, kelompok Islam progresif cenderung menilai bahwa feminisme memiliki beberapa persamaan terhadap nilai-nilai kesetaraan dalam Islam.

Kebebasan dan Otoritas Perempuan

Pertentangan mengenai feminisme dan Islam pada umumnya berkaitan dengan skala dan batas kebebasan perempuan muslim. Beberapa individu memahami feminisme sebagai pembebasan perempuan melalui penyetaraan hak dan kewajiban antara laki-laki dan perempuan baik di ranah privat maupun publik.

Dalam sudut pandang beberapa kelompok, penyetaraan hak dan kewajiban antara laki-laki dan perempuan merupakan bentuk penolakan atas fitrah perempuan. Pada akhirnya, beberapa muslim meyakini bahwa feminisme tidak diperlukan sebab Islam telah memberikan pedoman yang jelas terkait kedudukan perempuan di dalam tatanan masyarakat.

Tidak semua muslim di Indonesia menolak feminisme, pun tidak semua muslim di Indonesia menerima feminisme. Sebagian perempuan muslim di Indonesia memposisikan diri dalam posisi netral; menerima sebagian nilai dan semangat feminisme namun menganggap feminisme sebagai sebuah topik yang tabu untuk dibicarakan serta diperjuangkan.

Perbedaan posisi dan pengalaman yang dialami oleh perempuan menjadi salah satu penyebab adanya diversitas pandangan perempuan muslim terkait feminisme. Perempuan muslim di Indonesia pada dasarnya menghadapi situasi yang saling berbeda. 

Bagi kelompok fundamentalis, penting bagi mereka untuk mempertahankan nilai-nilai fundamental Islam yang mereka yakini terhadap perempuan. Mereka menyerukan agar muslim untuk kembali pada ajaran Islam yang asli. Menurut Ahmed (1994: 242), gagasan untuk kembali atau berpegang pada Islam yang “asli” merupakan respon terhadap wacana kolonialisme dan upaya kolonial untuk melemahkan Islam dan budaya Arab dan menggantinya dengan praktik serta kepercayaan Barat.

Prioritas yang berbeda oleh kelompok fundamentalis dan progresif pada akhirnya memicu penolakan terhadap subjek yang lebih besar. Kelompok fundamentalis terjun pada keyakinan bahwa feminisme dan Islam merupakan dua hal yang berbeda dan saling bertolak belakang. 

Melalui kritiknya terhadap feminisme, kelompok Islam fundamentalis menilai bahwa ide-ide feminisme merusak fitrah perempuan dan nilai-nilai dalam keluarga. Penilaian ini justru bertentangan dengan kelompok progresif yang memperjuangkan kebebasan dan pemberian otoritas bagi perempuan.

Selain memiliki prioritas yang berbeda, perempuan muslim di Indonesia juga memiliki upaya yang berbeda dalam menyelesaikan permasalahan yang dihadapi oleh perempuan.  Sebagian perempuan muslim menilai bahwa permasalahan yang dihadapi perempuan dapat diselesaikan dengan menggunakan prinsip-prinsip kontekstual yang terdapat di dalam Al-Quran.

Tantangan terbesar bagi perempuan saat ini adalah adanya kepercayaan tradisional yang dipegang oleh sebagian perempuan muslim mengenai otoritas perempuan. Legitimasi terhadap otoritas ini tak jarang membuat sebagian perempuan muslim membenarkan tindakan kekerasan terhadap perempuan.

Rachelle Fawcett dalam artikelnya The reality and future of Islamic feminism (2013) menulis bahwa dalam situasi tertentu, perempuan dapat melakukan perubahan di dalam komunitas atau kelembagaan yang menggunakan agama dan meninggalkan pemahaman sekuler mengenai hak asasi manusia. Oleh sebab itu, negara dapat memainkan peran besar dalam mendorong perubahan bagi perempuan.

Pertentangan yang terjadi antar perempuan muslim di Indonesia yang berkaitan dengan feminisme merupakan bentuk heterogenitas masyarakat. Dalam kondisi ini, lembaga negara memiliki andil yang besar terhadap kesejahteraan perempuan. Diperlukan sensitivitas lembaga negara terhadap tuntutan yang acap kali dimunculkan oleh berbagai komunitas perempuan. 

Lembaga negara memiliki otoritas untuk menetapkan kebijakan, oleh sebab itu kesejahteraan perempuan pada dasarnya sangat bergantung pada setiap kebijakan politik yang ditetapkan.