Sepenggal Tetralogi Buru karya sang maestro dunia, penerima nominasi Nobel Sastra, Pramoedya Ananta Toer, diangkat ke layar lebar. Belum berapa hari peluncuran, film Bumi Manusia telah menembus ke dalam sekurangnya satu juta pasang mata. Angka ini sekaligus menyaingi jumlah ledakan penonton sebagaimana saat pemutaran film Dilan dalam durasi hari yang sama.
Jauh ketika Bumi Manusia masih dalam tahap perhitungan sang sutradara, hingga ia di-bioskop-kan hampir ke seluruh penjuru nusantara, berbagai komentar telah muncul ke permukaan. Di sisi kiri, mencuat berbagai argumentasi yang bernada penolakan, sindiran, hingga keengganan. Sebaliknya, di sisi kanan, tidak sedikit yang menyuarakan harapan serta dukungan. Saya sendiri cenderung ke pihak yang pertama.
Sedikitnya ada tiga alasan mengapa saya tidak menonton Bumi Manusia. Pertama, sebagai hal yang paling mendasar, ialah soal pertanggungjawaban moral kepada almarhum Pram, dan, oleh sebab itu, menolak karyanya dikomodifikasi.
Kedua, saya melihat film tersebut sebagai penyempitan imajinasi dengan menunggalkan versi Hanung. Ketiga, menyadari kelemahan dan kekurangan akibat pemindahan medium dari teks ke gambar.
Pertama, siapa pun yang mempelajarai jejak langkah sosok di balik susunan ide dan narasi yang tinggi dalam novel Bumi Manusia akan mengerti bahwa ia telah melewati jalan penuh sesak dan belukar. Ia dipenjara oleh kaum kolonial dan lebih lama lagi di tangan bangsanya sendiri; kedua-duanya tanpa proses pengadilan. Ia juga dikenakan kerja paksa dan tahanan rumah, kendati yang terakhir ini setelah ia dinyatakan tidak bersalah.
Lebih dari itu, anak rohani—meminjam istilah Pram untuk menyebut karya-karyanya—dilarang beredar, dirobek, dan dibakar karena dituduh mengandung ideologi PKI, meski ia selalu memohon agar itu tidak dilakukan. Mereka yang kala itu kedapatan membaca dan atau menjualnya juga dipenjara.
Saya ragu, hingga hari ini, mungkin masih ada saja oknum maupun aparat yang alergi ketika melihat karya Pram, sebagaimana buku-buku yang dirazia belakangan.
Sampai Pram dikebumikan, tiga belas tahun yang lalu, tangan-tangan yang menghujat dan menindasnya masih kotor. Karya serta harta Pram yang hangus dan tidak kembali didiamkan tanpa pertanggungjawaban. Selain itu, fakta sejarah dan ide-ide yang ia kemukakan belum diterima dan dipelajari sepenuh hati. Wajar jika Max Lane menulis Pram tidak hadir di Bumi Manusia.
Padahal, setidaknya dalam pembacaan saya, tulisan Pram dipenuhi dengan semangat kemanusiaan di mana masa itu hanya kulit putih yang berhak. Gubahan Pram juga sarat dengan nyawa keadilan yang dirampas kolonial dari masyarakat pribumi. Terlebih coretan Pram membawa nyawa anti-kolonialisme dan cikal bakal berdirinya bangsa.
Sebab itulah mengapa kita masih berutang banyak pada Pram. Baik apa yang seharusnya menjadi haknya maupun ide-ide besarnya belum lagi dapat dibayar dan direalisasikan. Sebab itu jugalah mengapa saya tidak punya keinginan berada dalam kerumunan penonton yang membeli tiket untuk menyaksikan karya Pram bagai pagung hiburan teater murahan dan melewatkannya begitu saja setelah pentas selesai.
Perlu diketahui: Hanung sendiri mengakui bahwa dia pernah ditolak Pram ketika mengajukan izin untuk memfilmkan Bumi Manusia.
Kedua, dalam kajian hermeneutis, ada satu konsep yang menjelaskan tentang 'ketersituasian pembaca'.
Konsep ini hendak menjelaskan bahwa dalam proses pembacaan teks, seseorang sedang tidak berada pada posisi kesadaran hampa. Maksudnya, ada semacam pra-kondisi (latar belakang intelektual, pengalaman hidup, sisi emosional, serta kepentingan) yang memengaruhi setiap pembacaan hingga membuat pemaknaan teks menjadi unik.
Demikian, membaca novel Bumi Manusia tanpa disadari membuat si pembaca menghidupkan citra tersendiri yang unik sekaligus berbeda dari pembaca lain terkait tokoh, karakter, dan objek yang digambarkan teks. Hal itu berarti masing-masing pembaca dengan leluasa berimajinasi untuk membentuk model versi sendiri terkait; misalnya, rupa Annelis dan Minke serta kisah cinta yang dramatis antara keduanya, Nyai Ontosoroh yang tegar dan terpelajar, dan atau semangat kemanusiaan yang tersirat di dalamnya.
Ternyata hal itu tidak berlaku pada medium layar kaca meski merujuk alur cerita yang serupa. Sebab film menggiring penonton pada satu citra defenitif terkait objek, karakter, serta tokoh pemerannya. Semua telah dirangkai sedemikian rupa, menggunakan imaginasi sang sutradara, yang meruntuhkan bangunan imaginasi lain sekaligus. Hal itulah mengapa banyak orang, khususnya yang pernah membaca novel Bumi Manusia, setelah keluar dari bioskop berkata: di luar ekspektasi.
Ketiga, saya memang bukan ahli dalam dunia per-film-an. Tapi sepanjang pengalaman saya menonton film yang diadaptasi dari novel, selalu ada satu atau beberapa scene yang dipotong atau hilang untuk kebutuhan film.
Memang, perlu diakui, transfer medium dari teks ke film selalu bermasalah, karena keduanya memang berbeda. Hal ini juga disinggung sendiri oleh Hanung.
Mengetahui hal itu, awalnya Hanung berpikiran untuk membuat film Bumi Manusia menjadi dua bagian. Tetapi permintaan itu tidak dikabulkan produser, HB Naveen. Malah ada pikiran, kalau sempat film ini booming, mereka akan membuat spin off-nya (kisah Jean Marais, Nyai Ontosoroh, hingga Maiko, pelacur), lagi-lagi dalam semangat komodifikasi bukan hendak memvitalkan ide Pram.
Karena saya tidak menonton, di sini saya sertakan pengakuan Hanung sendiri terkait scene yang hilang:
"Pada saat saya membacanya (skrip), sejujurnya saya merasakan banyak momen yang hilang dalam novel. Tentang siapa Jean Marais, sahabat sekaligus guru Minke soal hidup. Lalu Robert Suurhoff si pengecut Indo, bocah Sanikem yang dijual bapaknya, Babah Ah tjong dan Maiko si pembunuh Herman Mellema."
Memang sedikit tidak adil kiranya jika kita membandingkan film Bumi Manusia dengan novel Bumi Manusia. Karena setiap produk hasil adaptasi (penyesuaian) selalu merupakan karya kedua; posisinya lebih rendah dari karya awal yang diadaptasinya. Perpindahan medium dari novel ke film menuntut kreasi yang mengakibatkan terjadinya pergeseran, perubahan, hingga pereduksian.
Saya sangat menyadari itu, dan atas dasar kesadaran itu juga saya enggan menonton film Bumi Manusia. Bukan karena semata idealis, hanya saya berpikiran bahwa novel Bumi Manusia punya bobot historis yang penting, dan, oleh sebab itu, perlu dipahami dengan serius dan benar.
Saya sendiri telah berulang kali membaca Tetralogi Buru itu, termasuk sosok Pramoedya Ananta Toer dan berbagai buku Sejarah Indonesia Alternatif.
Jika benar tujuan Hanung hendak memperkenalkan Pram kepada anak-anak muda Indonesia, maka biarlah itu tertuju kepada mereka yang malas membaca dan mendalami sejarah bangsanya sendiri. Di situ upaya Hanung mendapatkan nilai positif, saat banyak tokoh yang berharap agar Pram diajarkan di sekolah-sekolah dan dijadikan sebagai bagian dari kurikulum.