Sebagai seorang Katolik, menjelang demonstrasi 4 November 2016 hari ini, saya jadi iseng berspekulasi: jika umat Kristiani yang menjadi mayoritas di negeri ini dan mengalami hal yang sama, akankah mereka akan mengambil sikap yang juga sama?

Tentu saja itu pertanyaan yang tak bisa dijawab, karena faktanya memang umat Kristen Protestan maupun Katolik bukan mayoritas di Indonesia. Mungkin tak akan pernah jadi mayoritas. Dan saya pribadi, sih, tidak kepingin juga menjadi mayoritas. Toh iman (seharusnya) bukan MLM.

Sebenarnya, kalau memperhatikan karakter masyarakat kita dalam hidup sehari-hari, bisa dipahami mengapa isu agama gampang sekali membakar emosi kita. Bagi kebanyakan orang Indonesia, agama adalah sesuatu yang sudah ditempelkan pada diri ini sejak lahir dan sangat susah diganggu gugat.

Masih jadi janin saja sudah ketahuan akan diberi agama apa. Dan jarang sekali ada kesempatan untuk bisa memilih sendiri agama kita dengan kesadaran sendiri, tanpa konsekuensi yang (di)besar(-besarkan). Akibatnya, mutlak-isasi agama menjadi darah daging kita sejak pertama kali bisa berpikir.

Bukannya agama itu seratus persen jelek atau tak patut dibanggakan. Ia cuma diberlakukan dengan cara-cara yang terlalu arogan dan memonopoli. Banyak orang yang berbahagia dan merasa damai karena agamanya. Tapi banyak juga yang merisak orang lain karena agamanya.

Latar belakang keluarga saya adalah keturunan Tionghoa Jawa. Protestan dari keluarga Mama, Katolik dari keluarga Papa. Sampai hari ini, hal-hal yang berhubungan dengan sentimen rasisme terhadap Tionghoa (atau Kristen) masih cukup mengerikan bagi sebagian besar dari mereka. Hal ini mungkin dialami juga oleh teman-teman keturunan Tionghoa lain. Sesuatu yang bisa dipahami, meski menyedihkan, mengingat trauma karena peristiwa Mei 1998 dan sebagainya.

Harus diakui, di akar rumput, rasisme masih punya gigi. Sudah beberapa kali terjadi, menjelang peristiwa-peristiwa politik yang disisipi sentimen SARA, di grup Whatsapp keluarga saya berseliweran berbagai broadcast yang you know isinya macam apa.

Soal pengincaran, ajakan berhati-hati atau bahkan agar mengurung diri di rumah, razia Cina/Kristen, potensi rusuh, dan sebagainya. Termasuk menjelang demostrasi 4 November ini. Saya selalu sedih melihatnya. Kasihan tante-tante saya, yang selalu mudah khawatir.

Pagi hari ini, saya membuka lini masa Facebook. Dalam daftar pertemanan saya, memang hanya sedikit kenalan Muslim yang punya kecenderungan fanatik dalam beragama. Rata-rata bersikap moderat dan toleran. Tapi menarik dan miris juga memperhatikan apa yang dilakukan oleh sebagian teman-teman atau keluarga saya yang Kristen di media sosial mereka, atau di grup-grup internal, sebagai respon gonjang-ganjing kabar demonstrasi ini.

Di grup Whatsapp keluarga saya, beredar percakapan tentang bagaimana Ahok adalah orang beriman dan anak Tuhan yang pasti akan dilindungi Tuhan dari siapa pun yang ingin mencelakakannya. Tentu disertai ayat-ayat Alkitab.

Di Facebook pagi ini, beberapa teman mulai mem-posting meme mendukung Ahok, yang disertai gambar Yesus di sebelahnya atau Yesus sedang merangkulnya. “Yang terbaik,” kata salah satu meme itu. Oh, dan jangan lupa, selalu ada meme yang disertai kalimat “yang percaya klik LIKE dan katakan AMIN!”

Yang membicarakannya pun tak melulu yang punya KTP Jakarta.

Jujur, meski saya sendiri orang Kristen, dan terlepas dari harapan baik yang mungkin terkandung bagi keselamatan seorang Ahok sebagai manusia, saya terganggu melihatnya. Sama seperti saya terganggu melihat orang-orang menyerang Ahok sambil membawa ayat-ayat Alquran.

Saya terganggu melihat respon kedua umat yang berasal dari tradisi agama yang sama-sama besar. Sekian puluh tahun merdeka, belasan tahun reformasi, ratusan tahun hidup berdampingan, sehari-hari bertetangga. Tetap saja, mudah sekali keduanya didorong ke dalam sikap insecure dan penuh ketakutan, seperti per yang ditekan kemudian membal dengan cara yang sama.

Saya tidak mengatakan bahwa orang dilarang untuk memilih pemimpin karena agamanya. Dilarang, tidak. Memilih pemimpin mana pun berdasarkan alasan apa pun adalah hak politik. Tapi saya juga tidak mengatakan bahwa alasan-alasan itu tidak bisa diperdebatkan. Apalagi ketika ia sudah dilontarkan ke ruang publik dengan segala konsekuensinya.

Bagi saya, adalah sesuatu yang aneh memercayai Tuhan yang Mahakuasa, namun mati-matian membelanya di dunia dengan sikap “senggol, bacok!” atau "Dia memilih kita, kita tak akan kalah!" Kalau Tuhan sungguh ada, Mahakuasa, dan tidak berasal dari dunia yang fana, apa poinnya membela-Nya atau mencocok-cocokkan nama-Nya dengan urusan kita di dunia? Apalagi politik praktis, gelanggang kekuasaan antarmanusia, bukan antartuhan.

Ini sedang membela Tuhan, atau membela ego kita yang memosisikan diri sebagai umat pilihan-Nya? Sebab enak, memang, jadi umat pilihan dengan jaminan kebenaran. Ada privilege tersendiri.

Kata Gus Dur, Tuhan tak perlu dibela. Menurut saya, sih, kalau mau membela, belalah hak orang untuk meyakini (atau tidak meyakini) Dia. Konstitusi menjamin itu. Relevansi duniawinya sampai di situ saja. Sebab bagi saya, kalau Tuhan melampaui segalanya, level eksistensi-Nya jauh di atas hal-hal seperti ini.

Dan kalau Tuhan Maha Pengasih, dia tak akan melindungi satu orang hanya karena tulisan dalam kolom agama di KTP-nya. Dia akan melindungi semua, umat “pilihan” atau bukan. Saya, sih, menolak beriman pada Tuhan yang pilih kasih – meski saya percaya bahwa manusia bisa pilih kasih. Pilih kasih adalah salah satu cara memecah belah yang paling asyik. Yaa, kalau kata Alkitab, sih, iblis itu doyannya memang sama pertengkaran dan perselisihan.

Ah, saya kira sudah bukan masanya lagi kita bersikap seperti korban-korban politik pecah belah Hindia Belanda. Merasa berkuasa di sana, merasa terdzolimi di sini. Lalu muncullah sikap politik berdasarkan identitas agama yang diadu-adu dan ditonjol-tonjolkan, dan dilempar ke media sosial dalam situasi yang rawan provokasi. Lalu berantem sendiri. Masa iya, mau begitu terus sampai kiamat?

Saya ingin bercerita sedikit tentang menghadapi perbedaan iman dalam kehidupan sehari-hari. Teman-teman non-Kristiani sering bingung tentang apa bedanya Katolik dengan Protestan. Menjelaskannya memang agak susah. Tapi salah satu perbedaan praktisnya adalah Gereja Katolik menggunakan patung dan simbol untuk sarana beribadah, sedangkan Protestan cenderung menolaknya karena punya potensi diberhalakan.

Saya pernah mendengar suatu perdebatan tentang ini. Satu pihak Protestan menuduh orang Katolik menyembah berhala. Pihak Katolik yang dituduh sebenarnya bisa saja cari ribut dengan membalas sama kerasnya, mengatakan Protestan sesat dan sebagainya. Tapi yang dia lakukan tidak demikian.

Dia cuma menjelaskan sudut pandangnya, mengapa Gereja Katolik mengizinkan penggunaan patung dan berbagai devosi, apa tujuan dan maknanya, apa yang dilakukan agar tujuan dan makna itu tidak salah kaprah.

Ketika pihak Protestan tetap memprotes, he let it go. Mereka sepakat untuk beriman secara berbeda.

Iman memang tidak bisa disama-samakan. Pada hakikatnya, iman adalah pencarian pribadi lepas pribadi. Ia unik, sesuai dengan pribadi yang memilikinya. Dan karena itulah, dalam hidup sehari-hari, rasanya tak ada gunanya untuk membentur-benturkan iman.

Selain karena it has no point whatsoever, dengan keadaan masyarakat kita yang sensian soal agama seperti sekarang, potensi harm-nya malah bisa lebih besar. Padahal iman seharusnya membawa damai sejahtera untuk semua. Garam dan terang dunia. Bukan cuma garam dan terang umat anu.

You know¸ ada alasan kuat mengapa para imam Katolik tidak diizinkan terlibat dalam politik praktis. Gereja Katolik sudah banyak belajar dari masa-masa kegelapan mereka.

Having faith is good. Using it as our personal bullet is not that good. Jika ingin mendoakan bagi kebaikan, doakanlah. Tak perlu menyerang orang lain dengan doa kita. Seperti orang Farisi saja. Nggak kasihan sama Tuhan? Nama-Nya sudah terlalu sering disalahgunakan….