Beberapa jam setelah artikel berjudul "Mengapa Kang Dedi Mulyadi Membuat Saya Patah Hati" saya mention ke akun Twitternya di @DediMulyadi71, Kang Dedi mengirimkan email secara personal kepada saya berisi hak jawabnya. Saya pribadi sangat mengapresiasi tindakan ini, karena menunjukkan kerendahan hati dan semangat berdialog.

Maka sebagai bentuk pertanggungjawaban dan rasa keadilan, serta atas izin yang bersangkutan, berikut ini saya sampaikan isi hak jawab Kang Dedi Mulyadi yang saya kutip dari email yang dikirimkan oleh beliau tanpa perubahan.

Dedi Mulyadi
Rabu, 30 November 2016 pk. 17.28 WIB


Sampurasun.

Saya memahami tweet saya di media sosial akan membuat banyak orang kecewa, yang kadung memahami saya sebagai sosok pluralis. Perlu dipahami bahwa saya lahir dari kultur tradisi, anak pedesaan yang hidup dalam dunia kebudayaan Sunda yang sarat dengan nilai-nilai keluhuran, budi pekerti, adat istiadat, yang bermuara pada puncak persenyawaan manusia dengan alamnya dan dikenal dengan ajaran papat kalima tunggal. Perspektif keteguhan itu membuat saya tumbuh menjadi manusia yang begitu mencintai tanah Sunda dari sisi dan dimensi apapun.

Saat ini ada kegelisahan yang cukup kuat dalam diri saya tentang menurunnya tata kelola lingkungan yang berbasis kesemestaan yang dilakukan oleh sebagian orang yang cenderung eksploitatif sehingga mengabaikan nilai-nilai keluhuran alam itu sendiri. Watak eksploitatif tersebut melahirkan kerusakan parah pada lingkungan, menurunnya daya dukung kehidupan yang berdampak pada kemiskinan terstruktur dan terkultur dalam kehidupan masyarakat Sunda.

Kesalahan pengelolaan dalam ritme alam Sunda melahirkan paham materialisme yang merusak sendi-sendi berpikir masyarakat. Tanpa disadari kesalahan dalam tata kelola beras di wilayah utara Jawa Barat melahirkan gelombang kawin muda, perceraian muda, dan berhijrahnya mereka pada berbagai belahan dunia yang mendegradasi kewibawaan perempuan Sunda.

Heroisme Citraresmi yang rela bunuh diri karena tak mau dianggap sebagai upeti adalah spirit yang terus bergelora dalam diri saya untuk membentuk karakter perempuan Sunda yang memiliki integritas di hadapan kelompok dan bangsa manapun. Citra yang selama ini terbentuk dalam watak berpikir sebagian masyarakat yang cenderung merendahkan martabat perempuan Sunda karena kecantikannya, kemolekannya dan kadang mereka menganggap perempuan Sunda seperti material, membuat hati saya terluka.

Proses degradasi tata berpikir kehidupan yang cenderung eksploitatif atas nama diri, kebebasan dan universalitas tidak sebanding dengan tingkat pendidikan, keahlian, jaminan dan perlindungan dari negara. Sehingga terjadi ketimpangan antara kita dengan barat.

Di barat perempuan bebas menggunakan pakaian apapun, tetapi negaranya memiliki perlindungan pada mereka secara ketat. Perempuannya cerdas, rata-rata memiliki keahlian, masyarakatnya sudah terbiasa dengan pandangan mata yang bebas. Ketika ada perilaku yang kurang senonoh terhadap kaum perempuan hanya dengan tatapan mata dan ucapan sekalipun, maka negara hadir untuk menjeratnya.

Apa yang terjadi dengan Indonesia, apa yang terjadi dengan tanah Sunda? Pendidikan yang masih rata-rata rendah, dia tinggal di pedesaan dengan kultur masyarakat tradisi, negara tidak memberikan jaminan terhadap masa depannya, tingkat keamanan sangat rentan baik siang maupun malam. Masalah berpakaian adalah hak individu yang patut dihormati, tetapi keselamatan, pandangan dan watak laki-laki yang eksploitatif, berpikiran ngeres dalam alam kehidupan di kota maupun di desa adalah hal yang patut mendapat perhatian secara sungguh-sungguh.

Jiwa saya terkoyak, hati saya tersayat karena beberapa bulan yang lalu di tempat tersebut terjadi sebuah peristiwa yang begitu mengoyak-ngoyak jiwa saya dan membuat saya depres dan tidak mungkin saya ceritakan peristiwa tersebut dalam tulisan ini. Peristiwa tersebut menimpa anak gadis yang sebaya dengan anak yang saya jumpai tadi, hanya karena anak tersebut keluar tanpa ijin orangtua pada waktu malam hari.

Sunda dalam peradabannya mengajarkan tentang tata berpakaian, maka dikenallah istilah samping jangkung gelung jucung. Cara berpakaian tersebut saya kampanyekan sebagai bentuk peradaban fashion tanah Sunda yang mungkin sikap saya itu terlalu kampungan.

Saya terinspirasi oleh perempuan Bali yang walaupun gempuran arus turis internasional mengunjungi dalam setiap saat, tetapi perempuan Bali tetap tampil dalam baju kebudayaannya, bahkan lebih jauh dari itu orang Bali berhasil membalikkan ajaran Hindu yang berasal dari India. Saya pun tetap menghormati orang Papua dengan cara berpakaiannya, karena itu adalah kebudayaannya. Saya menghormati seluruh perbedaan itu karena itulah kekayaan Indonesia yang sebenarnya.

Yang saya maksud terhadap anak itu, bukan persoalan celana sobeknya tetapi mazhab berpakaiannya. Kalau di atas pakai kerudung, pasti ke bawahnya harus rapi. Kalau celana sobek-sobek, mungkin tidak selaras dengan kerudung. Tetapi kalau tidak pakai kerudung, pakai bajunya ketat dan celananya sobek-sobek, saya juga memahami afiliasi dari mazhab pakaian tersebut.

Mungkin saya tidak akan menegurnya. Yang kedua, saya menegur anak itu karena saat itu jam sekolah, di mana yang lain mendampingi orangtuanya menekuni profesinya, sementara anak tersebut justru malah menggunakan kendaraan bermotor dan ketika ditanya dia tidak mau menjawab. Tapi sudahlah, itu memang saya salah tidak bersikap arif.

Saya memahami bahwa sikap saya menegur anak tersebut dan mempostingnya adalah sikap yang salah. Tetapi di balik itu ada sebuah kecintaan yang luar biasa terhadap anak-anak remaja di Purwakarta agar menjaga dirinya, menjaga martabatnya, menjaga kehormatan hidupnya. Hari ini puluhan ribu anak perempuan Sunda setiap hari menggunakan motor pada usia yang belum waktunya.

Mereka menggunakan gadget, berpakaian mengikuti perubahan mode, berdandan seiring dengan pertumbuhan keinginan dan harapan dirinya untuk tumbuh menjadi anak gaul yang mengikuti selera jaman. Tetapi di balik itu kemiskinan secara tersetruktur terus melanda, kaum ibu tak ada lagi teman di dapur, kaum bapak tak ada lagi teman di ladang.

Setiap hari anak merengek, membayar cicilan motor, membeli baju, membayar pulsa, dan berbagai kebutuhan lainnya. secara perlahan tanah dan ladang mulai tergadai, kampung-kampung mulai tergusur, sedagkan kebutuhan untuk perjalanan hidup masih teramat panjang. Apa yang harus dijual hari esok? Dari mana kita akan mendapatkan uang? Dari sinilah saya bangkit untuk melakukan perubahan. Tak boleh ada satupun di antara kita yang tergadai.

Untuk itulah saya melakukan hal yang tidak pernah orang lakukan. Saya menilang motor setiap hari bagi anak-anak di bawah umur, saya menegur mereka ketika keluyuran tengah malam, saya mengajak mereka mengikuti pendidikan vokasional untuk mendampingi orangtuanya bekerja pada setiap hari selasa dua minggu sekali.

Saya mengajarkan mereka untuk menenun, memasak makanannya sendiri, menekuni industri kreatif, dan berbagai pelajaran aplikatif lainnya yang menumbuhkembangkan imajinasi dan produktivitas. Saya memiliki impian, setiap keluarga memiliki kecukupan pangan, setiap keluarga memiliki kemampuan membuat sandang, setiap keluarga memiliki papan yang representatif.

Semua itu akan lahir dari tangan terampil anak-anak muda Sunda yang kreatif, mandiri, dan penuh dengan inovasi. Apapun kelak baju yang digunakan, gaya yang dipakai, kita akan tetap menjadi orang yang terhormat karena memiliki kemapanan ekonomi. Tak perlu menggadai bahkan menjual.

Mohon maaf, Teh Putri Widi Saraswati. Saya telah mengecewakan anda dan membuat anda menjadi patah hati. Tetapi apa yang saya lakukan adalah sebuah kecintaan dan kasih sayang saya pada anak-anakku di Purwakarta sebagai bagian dari tanah Sunda yang kini mengalami kegalauan jaman. setiap sikap pasti ada resikonya dan saya akan menanggung seluruh resiko itu walaupun tidak populer sekalipun.

Terima kasih atas saran dan kritiknya. Semoga seluruh apa yang diungkapkan akan memperbaiki cara saya yang kurang bijak.

Sampurasun
Rahayu.